Custom Search

08 Juli, 2009

Mencari Wajah Kota dan Bangunan “ke-Papua-an”, Tugas Siapa?


[RUANG YAMEAW-PAPUA] Identitas suatu suku atau bangsa bukan terlihat dari pakaian adat atau lagu daerahnya. Tetapi, arsitektur sangat berperan dalam ketahanan identitas dan ciri khas pada proses perubahan sosial dan jaman yang pada akhirnya melahirkan anak yang namanya ”krisis identitas”.
Sejak jaman dulu orang Papua, tahu membangun rumah adat (arsitektur tradisional). Hasil karya itu adalah setiap suku dari 312 suku di Papua (Kompas, 2002) telah lama memiliki rumah adat masing-masing. Yang membedakan itu, bukan karena beda suku, tetapi beda bentuk “arsitekturnya”. Bukan hanya rumah rumah, tetapi didalamnya berbagai macam (tipologi) arsitektur lainnya, seperti jembatan, pagar, ukiran, dan lain sebagainya. Mengapa keterampilan ini kita (generasi muda Papua) tidak dikembangkan?
Arsitektur dan kota, ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan yang melambangkan atau mencerminkan masyarakat penghuninya. Bahkan arsitektur dan kota menggambarkan citra suatu kota atau bangsa. Kota Roma misalnya, sangat terkenal dengan arsitek bangunannya yang kokoh, megah yang umurnya sudah berabad-abad, merupakan warisan sejarah kejayaan bangsa Romawi. Bangunan yang kokoh dan megah itu, melambangkan citra orang Italia yang pada masa jayanya terkenal sebagai bangsa yang memiliki prajurit atau bala tentara yang tangguh tak terkalahkan di medan perang, yang berhasil menaklukkan dunia pada saat itu.

Kenyataan bahwa, saat ini kota-kota di Papua hidup dan berkembang bagaikan sebuah peluru rudal “tanpa kendali”. Pejabat dan penguasa (pihak berwenang) hanya berpikir dan mengendalikan kunci rudal “dompet rakyat”, yang berisikan hasil jualan pasar tradisional (bukan pasar moderen seperti, mall, swalayan, hypermarket dll). Tanpa memperduli rudal itu akan meledak entah kapan dan dimana. Penataan dan perencanaan kota dan kampung ini tidak pernah mendapat perhatian serius. Apa lagi proyek itu dilaksanakan oleh pemimpin (gubernur-bupati-camat) yang sebelumnya berbeda orang (pemimpin). Sehingga diperlukan suatu acuan pembangunan perencanaan kota (master plan city) yang berjangka panjang yang mengacu pada perwujudan identitas diri kota dan arsitektur ke-papua-an.

Wajah kota dan arsitektur Papua sedang menuju kemana?
Arsitektur pada umumnya “dipikirkan” (dirancang) dan “diwujudkan” (dibangun) sebagai tanggapan terhadap sekumpulan kondisi yang kadang-kadang hanya bersifat fungsional semata atau merupakan refleksi sosial, ekonomi, politik, perilaku atau tujuan-tujuan simbolis (F.D.K. Ching). Pendapat Ching, sangat relevan dengan kenyataan yang terjadi di Papua. Dimana arsitektur itu dibentuk (dibangun) seperti “karakter” penguasa/ perancang. Dirancang dan diwujudkan, dengan pertimbangan tujuan-tujuan tertentu (simbolis).
Disisi lain, pendapat Ching sangat bertolak belakang dengan kenyataan bangunan di Papua saat ini. Dimana hampir 90% nama-nama jalan, di kota-kota besar dan kampung kota di Papua adalah sebutan (nama) pahlawan orang Indonesia Bagian Barat (misalnya, Jl. Yos Sudarso, Jl. Budi Utomo, Jl. Kusbini, Lapangan Suharto dan seterusnya dan sebagainya). Pertanyaan penting untuk orang Papua (pengambil kebijakan) adalah apakah orang atau tanah Papua tidak memiliki catatan sejarah penting, yang dapat dijadikan sebagai nama jalan atau gedung? Tetapi semua itu bukan salah kita (manusia Papua) Mengapa? Karena arsitektur itu dirancang oleh manusia (penguasa), lalu dibangun dengan segala sumber daya (arsitek, uang dan tenaga kerja) dengan satu paket peraturan dan undang-undang.
Bentuk dan bahan bangunan baru belum tentu menjawab kebutuhan masyarakat (kenyaman, keamanan) dalam rumah atau kota sekali pun. Mengapa? Karena pengujian alamia yang dilakukan oleh leluhur kita memakan waktu yang sangat panjang. Mulai dari pengujian bahan bangunan, pola kampung, iklim di sekitar rumah, panas atau dingin. Rumah tradisional yang kita lihat saat ini kesimpulan daripada riset yang mereka (leluhur orang Papua) lakukan itu.
Menurut hemat saya, tidak salah bila kita (pemerintah daerah), memberikan penghargaan kepada “orangtua” yang umurnya mencapai stengah abad (50 tahun) “jika ada saat ini”. Karena, merekalah pelestari (sumber informan) budaya dan keterampilan membangun rumah. Tetapi, sebaiknya bukan hanya rumah, tetapi dari semua unsur budaya yang ada di Papua.
Dalam menata lingkungan dan menatap masa depan yang lebih baik. Rumah adat (arsitektur tradisional) dibangun atas kesepakatan semua pihak (lingkungan alam, manusia, alam mistic dan ugatame; pencipta). Mengapa? Karena, keempat unsur ini adalah dasar dan pedoman hidup manusia yang tidak dapat dipisahkan. Walaupun manusia mengelola, alam tetapi ia harus meminta kesepakatan dengan unsur yang lain. Tidak boleh salah satu unsur dirugikan atau diuntungkan.

Arsitektur sebagai pesan politik yang permanen
Arsitektur tidak hanya mampu memenuhi hasrat dasar berkegiatan manusia dalam batas ruang yang dihasilkannya, tetapi juga mampu menyampaikan makna apabila para pemakai mampu menafsirkannya. Karya arsitektur dan ruang perkotaan mudah menjadi media penyampaian pesan politis seorang penguasa (pemimpiin). Sejarah mencatat bahwa kaisar, diktator, dan penguasa mendirikan bangunan dan ruang kota monumental untuk membangkitkan suasana khusus dalam menjaga wibawa, membina semangat, atau bahkan mengancam rakyatnya.
Kebiasaan ingin meninggalkan suatu proyek sebagai prestasi selama menjabat hingga kini masih menghantui para penguasa di Indonesia. Arsitektur dan ruang perkotaan itu hasil tata olah sosial budaya suatu masyarakat dengan arsitek berada di dalamnya. Arsitek, pada gilirannya “terbingkai” di dalam keadaan politik masyarakat saat dia berkarya. Arsitek Indonesia boleh saja menempatkan diri sebagai profesional yang tak berpolitik, namun mereka tak ”berdaya” melepaskan diri dari iklim politik penguasa meski berupaya kuat untuk menghindar dari pengaruh kepentingan pemerintah.
Gedung Bandar Udara Enarotali, ibu kota Kabupaten Paniai, Kantor PDAM Kabupaten Nabire, Mesdjid Agung Timika, Gedung DPRD Papua di Jayapura adalah contoh-contoh pesan politik bangsa dalam arsitektur di Papua. Dengan jelas pada beberapa bangunan ini memperlihatkan bangunan dengan bentuk rumah adat Jawa (Joglo). Dalam UUD 1945 mengatakan “yang menjadi presiden adalah orang Indonesia asli”. ”Indosesia asli” adalah orang Jawa, karena sejak Indonesia merdeka sampai saat ini yang menjadi presiden adalah orang Jawa (bukan; Sumatra, Sulawaesi, Kalimantan, Papua).
Ini berarti bahwa pejajahan atas rakyat telah terjadi di Indonesia. Lebih jauh dari itu, daerah yang ingin memisahkan diri (Aceh, Poso, Maluku, dan Papua) dari NKRI penguasa betul-betul akan pembangunan dengan maksud meninggalkan pesan politik dalam arsitektur dan ruang kota. Sehingga semua bangunan ataupun perencanaan ruang perkotaan tidak memperdulikan kondisi dan lingkungan setempat. Satu program, satu konsep, satu arsitek untuk semua daerah di Indonesia adalah moto pembanguan dalam pesan politik arsitektur dan ruang kota.

Pesan untuk wilayah pemekaran baru
Pemekaran kota dan wilayah adalah menata ruang kota dan citra bangsa (penguasa). Namun yang menjadi pertanyaan adalah menata bangsa apa? Apa konsep perancangan dalam perencanaan kota dan bangunan? Mengapa harus berawal dari gagasan bangsa? Bukankah setiap daerah memiliki kultur (letak geografis) yang berbeda? Karena ia merupakan suatu jawaban atas persoalan politik.
Produk yang akan dihasilkan dari konsep perancangan dan perencanaan (arsitektur maupun ruang kota) akan terbentuk seperti orang (desainer) yang akan merencanakan itu. Entah siapa, arsitek, politikus, antropolog, atau pun dengan konsep kearifan lokal. Produk itu adalah ruang kota dan wilayah yang didalamnya hadir berbagai ”ciri” dan ”bentuk arsitektur”. Kota itu akan berbicara dan berdiri sebagai identitas suatu bangsa untuk membedakan “kami” dari “kamu”.
Romo Y.B. Mangunwidjaya (almarhum) salah seorang pakar arsitek nasional, mengemukakan dua hal pokok yang perlu diperhatikan dalam merencanakan dan merancang karya yang bernilai arsitektur; yaitu guna dan citra. Guna menunjukkan pada keuntungan, pemanfaan dan pelayanan yang dapat kita peroleh dari bangunan. Guna dalam arti aslinya, tidak hanya bermanfaat tetapi juga punya daya yang menyebabkan kita bisa hidup lebih nyaman. Sedangkan citra menunjukkan suatu gambaran (image), suatu kesan penghayatan yang mempunyai arti bagi seseorang.
Pada masyarakat tradisional, kegiatan merencana, merancang, melakukan dan mengelola lingkungan buatan merupakan kegiatan swadaya dan swakarsa lokal dari penduduknya. Dengan demikian, lingkungan fisik yang terbentuk betul-betul secara wajar dan pas mewadahi aktivitas manusia yang menghuninya dengan segenap tata cara dan adat istiadatnya.
Keselarasan, keserasian dan keseimbangan ekologis pun lantas muncul dengan sendirinya secara spontan tanpa kehadiran perencana formal. Karya arsitektur dan kota lebih merupakan karya komunal dari penduduknya yang saling kenal dan memiliki warisan norma, tata nilai, dan tradisi yang disepakati bersama.
Selain itu, pemekaran kota, dan wilaya dalam sebuah kabupaten adalah penataan ruang wilayah, dan membangun manusia yang ada dalam wilayah itu. Penataan ruang wilayah, bukan sekedar menarik garis “merencanakan” untuk membongkar gunung, menggusur rumah-rumah. Dan lebih jauh dari itu adalah penyerahan tanah secara cuma-cuma (gratis) yang dilakukan oleh masyarakat setempat demi pembangunan.
Pertanyaannya adalah apa yang diterima oleh rakyat setelah tanah ulayat mereka diberikan kepada pemerintah atas nama pembangunan? Pembagunan dalam konsep penataan ruang kota adalah penataan tanah dan manusia yang punya tanah. Walaupun ada nasehat yang mengatakan “maki akukai, kaa ko tetai” (tanah adalah mama, jangan dijual), siapapun orang Papua, yang menjual tanah akan menghadapi masalah (hukum karma).
Unutk itu, bagi daerah yang baru dimerkarkan dari Kabupaten Nabire (Kabupaten Dogiyai) dan dari Kabupaten Paniai (Kabupaten Intan Jaya dan Diyai) perlu dipikirkan baik-baik sebelum semuannya itu terlambat. Sebaiknya sebagai usulan saya untuk kantor kantor-kantor pemerintahan menggunakan konsep bangunan lokal (arsitektur tradisional) misalnya, Yamea owa atau Yuwa owa. Mengapa? Karena kedua bangunan ini memiliki nilai-nilai budaya orang Mee dan Migani (Moni), sejak dulu. Dan perlu diperlukan sebuah produk hukum semacam peraturan daerah (PERDA).
Manfaat yang akan kita peroleh setelah kita (para perencana kota dan bangunan) menggunakan konsep lokal (Yame Owa dan Yuwa Owa) adalah selain melestarikan wujud budaya hasil karya orang Mee dan Migani yang tersimbol dalam Yame Owa dan Yuwo Owa, kita juga akan mendapat julukan “kota budaya” dan akan menjadi tujuan wisata yang menarik sebagai aset pendapatan asli daerah (PAD) bagi Kabupaten tersebut. Enaimo Ekowai.

Catatan: Tulisan ini pernah dibuat di Harian Pagi Papua Pos Nabire/ Edisi 05 Juli 2009. Keterangan Foto..Kota Enarotali, Paniai Papua. Gambar di Ambil oleh Yunus Amopiya Yeimo.pada tanggal 28 Juni 2009.

0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com