Custom Search

24 Januari, 2009

Tipologi Arsitektur Tradisional dan Kearifan Membangun Suku Mee Papua


Oleh: Yunus E. Yeimo

Siapa suku Mee itu? Suku Mee adalah salah satu suku dari 312 suku yang ada di Papua [Athwa, 2004: 7]. Suku Mee mendiami di wilayah Pegunungan Tengah Papua Bagian Barat. Ciri khas wilayah suku Mee adalah di sekitar danau Paniai, danau Tage, Danau Tigi, Lembah Kamu (sekarang Dogiyai) dan pegunungan Mapiha/ Mapisa [Boelaars, 1986:85, Koentjaraningrat, 1963]. Namun, kini secara administrasi pemerintahan suku Mee berada di sepuluh distrik dari Kabupaten Paniai dan empat Distrik dari Kabupaten Nabire [Bunai, 2007:1].
Kebudayaan universal suku Mee seperti, mata pencaharian, bahasa, sistem kekerabatan, teknologi tradisional, hukum adat, nilai-nilai budaya lainnya tidak disinggung dalam tulisan ini. Tetapi, pembahasan mengenai kebudayaan universal suku Mee ini telah banyak di bahas dan dapat dijumpai dalam Koentjaraningrat, “Penduduk Irian” (1963:300-320), Jan Boelaars, “Manusia Irian” (1986: 85-105), serta beberapa karya orang Mee itu sendiri yang telah dipublikasi seperti, Beny Giay “Zakheus Pakage and His Communities, Indegenous Religious Discourse, Socio-Political Resistance, and Ethnohistory of the Me of Irian Jaya” (1995), Yoseph Tanimotiyabi Bunai “Mobu dan Ayii Jalan Menuju Keselamatan Inisial dan Kekal Menurut Suku Mee di Papua” (2007), Titus Chist Pekei “Manusia Mee di Papua” (2008), Gotai Ruben Pigai “Mungkinkah Nilai-nilai budaya Hidup Suku Mee Bersinar Kembali? (2008).

Dalam tulisan ini penulis membatasi diri pada kajian [gambaran] mengenai, berapa tipe arsitektur tradisional dan bagaimana kearifan membangun yang dimiliki orang Mee. Dalam kaitannya dengan alam, masyarakat dan kebudayaannya.
Arsitektur tradisional adalah wujud suatu kebudayaan yang bertumbuh dan berkembang bersama dengan pertumbahan dan perkembangan suatu suku atau bangsa. Dalam arsitektur tradisional Suku Mee Papua terkandung secara terpadu wujud kebudayaan orang Mee seperti ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturann, pendangan hidup dan lain sebagainya (Koentjaraningrat, 2002:5) .
Arsitektur tradisional adalah wujud karya nyata leluhur. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah karya leluhur itu dapat di lestarikan atau dimusnahkan, karena mengangap “kuno, kampungan, ketinggalan, dan tradisional?”. Arsitektur tradisional merupakan suatu wujud kebudayaan yang bertumbuh dan berkembang bersama dengan pertumbahan dan perkembangan suatu suku atau bangsa. Dan merupakan wujud unsur kebudayaan yang bisa diraba/ dilihat [Koentjaraningrat [2002], dalam [Nurani, 2004:11-12].
Dalam arsitektur tradisional suku Mee Papua terkandung nilai-nilai budaya yang diperlihatkan melalui karya arsitektur tradisional. Arsitektur tradisional yang dapat kita lihat saat ini adalah hasil kesimpulan akhir atas pengujian alami yang di lakukan oleh leluhur orang Mee. Selain itu, yamewa merupakan kesimpulan dari apa yang dipikirkan oleh oleh Mee, dan “diwujudkan” [dibangun] sebagai tanggapan terhadap sekumpulan kondisi yang kadang-kadang hanya bersifat fungsional semata atau merupakan refleksi sosial, ekonomi, politik, perilaku atau tujuan-tujuan simbolis [Cing, 1996].
Arsitektur tradisional suku Mee Papua berikut ini adalah salah satu dari berbagai maacam suku di Papua yang memilki nilai-nilai, bentuk dan ukuran, serta ungkapan jiwa melalui arsitektur yang sangat berbeda. Tulisan berikut ini adalah salah suku yang berhasil dihimpun melalui suatu penelitian “survai” pada beberapa waktu laktu lalu. Dalam penelitian “survey” yang berjudul “Studi Tipologi dan Kearifan Arsitektur Tradisional Suku Mee Papua” itu berhasil dikumpulkan data dan fakta [gambar arsitektur] di lokasi penelitian yang dimaksud. Pada akhirnya menemukan beberapa tipe arsitektur tradisional yang dimiliki oleh suku Mee Paniai Papua yang di bahas berikut ini [baca: wikimu.com].
Tulisan berikut ini merupakan gambaran umum daripada hasil penelitian itu, yang di bahas dari sudut pandang arsitekturnya saja. Untuk, itu pembahasan yang lebih mendalam [lengkap] dengan kajian filosofi, antropologi budaya, sosial, dan lain sebagainya kita akan bahas di waktu dan lain tempat [waktu-waktu yang akan datang].

1.Tipologi arsitektur rumah tradisional
Ada 7 (tujuh) Tipe arsitektur rumah tradisional diantaranya adalah (1) Yame Owa Secara harafia Yame artinya laki-laki Owa artinya rumah. Yame Owa artinya (Rumah tinggal laki-laki). Rumah ini dibangun untuk tempat tinggal laki-laki dalam suatu kampung. Semua bangunan (Yame Owa) yang di bangun dengan pertimbangan-pertimbangan khusus.
Fungsi rumah Yame Owa bukan hanya merupakan suatu tempat tinggal laki-laki. Tetapi dalam rumah ini terjadi berbagai macam aktivitas yang perlu dilakukan oleh laki-laki secara turun-temurun. Selain sebagai tempat tinggal laki-laki, Yame owa adalah pusat komunikasi dan informasi aktual, tempat menyelesaikan persoalan (perang, maskawin), tempat menyimpang alat-alat perang (panah) pusat pembuatan alat perkebunan dan alat kesenian. Dan tempat mendapatkan pengetahuan, pengalaman, dan nasehat bagi semua laki-laki sejak usia 4/5 tahun.
Tidak ada ukuran standar yang diturunkan oleh nenek moyang. Tetapi dibangun dengan perkiraan atas kebutuhan akan ruang dan penghuni. Cara menentukan ukuran bangunan adalah dengan mengukur dengan tangan (jari-jari) atau kaki. Cara lain adalah memperkirakan dengan ukuran tinggi manusia dengan tinggi bangunan. Ukuran bangunan ini, yang telah dibangun adalah Panjang ±350cm. Lebar ±300cm. Tinggi lantai ±60cm. Dinding±150-200cm. Kemiringan Atap ±150-300. Ketinggian atap ±100-130cm.
Bahan bangunan yang dipakai pada Yame Owa adalah untuk penutup atap menggunakan kulit kayu. Panjang pohon ini diperkirakan sekitar ±30.000cm-50.000cm. Diameter pohon ini sekitar 30 – 70 centi meter. Ketebalan kulit kayu ini adalah 0,3 cm. Panjang ukuran yang sering dipakai untuk penutup atap adalah ± 60 - 200 cm. Panjang ini bukan standar yang dipakai, namun ditentukan serat pohan itu sendiri.
Jenis bahan yang di pakai untuk struktur bangunan adalah berupa tiang-tiang pancang. Pada dinding bangunan mempunyai tiga lapisan yaitu lapisan pertama dinding luar mengunakan tiang-tiang, lapisan kedua kulit kayu dan lapisan ketiga menggunakan papan cincang. Bahan yang dipakai untuk lantai terdiri dari tiang pondasi panggung, balok induk (mutaidaa), balok anak (yokaa mutaida), deretan kayu buah yang berukuran kecil yang di ikat dengan balok anak. (katage). Selanjutnya adalah lapisan paling atas yaitu kulit pohon kelapa hutan. (tibaa).
(2) Yagamo Owa, secara harafia kata Yagamo artinya perempuan Owa artinya rumah, Yagamo Owa artinya (Rumah tinggal perempuan). Fungsi rumah Yagamo Owa bukan hanya merupakan suatu tempat tinggal bagi perempuan, tetapi dalam rumah ini terjadi berbagai macam aktivitas yang dilakukan oleh perempuan secara turun-temurun. Selain sebagai tempat tinggal perempuan, fungsi lain dari Yagamo Owa adalah pusat komunikasi dan informasi aktual, serta tempat proses belajar bagi anak-anak perempuan. Tempat menyimpang alat-alat perkebunan (yadokopa), pusat pembuatan alat penangkap ikan.
Ukuran bangunan Yagamo Owa, adalah panjang 350cm. Lebar 300cm. Tinggi lantai ±60cm. Dinding ±150- 200 cm. Kemiringan atap ±150-300. Ketinggian atap ±100-130cm.
Bahan bangunan yang dipakai pada Yagamo Owa, untuk penutup atap menggunakan daun pandang dan alang-alang serta beberapa jenis bahan penutup atap lainnya. Penggunaan jenis bahan penutup atap ini disesuaikan dengan ketersediaan bahan di sekitarnya. Pada umunya, bahan penutup atap Yagamo Owa adalah yage dan widime. Kedua jenis bahan ini mampu bertahan sampai berpuluhan tahun. Secara struktural bangunan, Yagamo Owa hampir sama dengan Yame Owa. Namun, yang membedakan adalah pada ornamen-ornamen san bahan yang digunakan.
3. Tii-Daa Bega Owa (Rumah Honai), secara harafiah tii-da bega owa artinya sebuah bangunan yang membentuk gunung yang mempunyai ujung yang tajam.
Fungsi bangunan ini adalah dua yaitu difungsikan untuk tempat tinggal laki-laki dan tempat perempuan. Selain itu fungsi lain adalah tempat menyimpan barang-barang berharga dari laki-laki ataupun perempuan.
Lokasi bangunan ini berada di kampung-kampung, namun jarang di bangun dengan alasan bahwa rumah honai adalah rumah adat suku Dani (Wamena). Tetapi ada perbedaan yang dapat dilihat adalah ketinggian bangunan. Dimana bangunan rumah honai suku mee lebih tinggi dari pada dani (wamena).
Bahan yang digunakan untuk memdirikan banguan ini adalah sama dengan bangunan lain yang ada di suku mee. Tetapi pada bagian penutup atap menggunan alang-alang. Selain itu pada rangka atap banyak menggunakan kayu buah. Pada setiap dinding hanya mengunakan satu lapisan dinding. Sehingga pada malam hari terjadi kedinginan.
Ukuran bangunan ini adalah tinggi lantai 60cm, tinggi dinding 150-200cm, tinggi atap ± 100cm, lebar ± 250-300cm, panjang ± 250- ±300m. Bentuk bangunan ini sama dengan lingkaran dengan besar diameter ±250-300cm.
4. Yuwo Owa, secara harafiah dapat diartikan bahwa Yuwo artinya pesta Owa artinya rumah, sehingga rumah ini sering disebut rumah pesta adat suku Mee. Bila dipandang dari segi aktivitas dalam rumah ini, memiliki banyak “nama”. Aktivitas yang dilakukan pada saat puncak pelaksanaan pesta adat, sebelum aataupun sesudah sangat berfariasi.
Fungsi bangunan ini adalah pertama, tempat melakukan jual-beli dengan cara balter dan uang tradisional (kulit kerang). Kedua, tempat mencari jodoh, saat melakukan pesta adat laki-laki dan perempuan saling tukar gelang atau kalung sebagai tanda ungkapan cinta. Ketiga, tempat hiburan malam. Satu minggu satu kali mereka tentuykan sebagai malam hiburan, untuk mengekspresikan seni tari maupun seni suara dalam rumah ini. Untul mendirikan rumah ini perlu pertingan secara matang. Bangunan ini adalah bangunan yang paling besar yang dibangnun oleh suku Mee.
Ukuran bangunan ini adalah tinggi lantai ±40cm, tinggi dinding ±200cm, tinggi atap 150cm, lebar bangunan 1.300cm, panjang bangunan ± 2.100cm.
Bahan yang digunakan untuk mendirikan bangunan ini adalah sama dengan bahan bangunan lainya. Tetapi pada bagian penutup atap menggunakan daun pandang. Selain itu pada rangka atap banyak menggunakan tiang-tiang. Pada setiap dinding hanya mengunakan satu lapisan dinding (papan cincang). Sehingga pada malam hari terjadi kedinginan. Bentuk banguan ini sama dengan lain yaitu persegi empat.
(5) Daba Owa (Rumah Pondok), secara harafia kata Daba artinya Daba kecil Owa artinya rumah, Daba Owa artinya (Rumah pomdok kecil). Rumah pondok di bangun di kebun hutan.
Fungsi rumah Daba Owa bukan hanya merupakan suatu tempat istirahat pada siang hari, tetapi dalam rumah ini terdapat banyak fungsi yang meliputi pertama, tempat masak-masak hasil kebun. Kedua, tempat menyimpan kampak/ parang, alat-alat perkebunan, dan alat-alat perburuan. Ketiga, tempat berlindung dari hujan dan panas sinar matahari. Keempat, tempat menjaga binatang liar agar tidak mencungkil tanaman.
Ukuran bangunan Daba Owa, adalah panjang ±250cm. Lebar ±200cm. Tinggi dinding ±150-200cm. Kemiringan atap ± 150-300. Ketinggian atap ± 100-130cm.
Bahan bangunan yang dipakai pada Daba Owa, untuk penutup atap menggunakan daun pandang,alang-alang dan kulit kayu. Penggunaan jenis bahan penutup atap ini disesuaikan dengan ketersediaan bahan di sekitarnya. Secara struktural bangunan, Daba Owa tidak sebanyak lapisan seperti Yame Owa dan Yagamo Owa. Struktur dinding Daba Owa hanya satu lapisan. Deretan tiang-tiang yang membentuk dingding ini, juga berfungsi sebagai struktur utama bangunan ini.
(6) Ekina Owa (Kandang Babi), Babi merupkan jenis binatang piaraan yang sangat berharga dalam kehidupan suku Mee. Sehingga untuk menjaga agar babi itu tetap hidup dalam kandang yang aman dan nyaman maka dibangun sebuah rumah (kandang) sendiri. Bagi orang Mee babi merupakan salah satu penentu status sosial dalam kehidupan masyarakat, yang sering disebut tonawi. Seseorang bisa dikatakan tonawi karena dia memiliki kekayaan (babi banyak) dan mempunyai istri yang banyak serta mempunyai atau mengetahui hal-hal mistik.
Fungsi rumah ini adalah tempat tinggal/ kandang babi. Menurut cerita mitos, manusia (orang mee), hidup bersama dengan ekina dalam satu rumah. Sekarang lokasi rumah ini berada di pingir atau di dekat rumah laki-laki atau perempuan. Jarak antara rumah tinggal dengan ekina owa di batasi oleh pagar (wee eda). Ukuran bangunan ini adalah sekitar 1-2 meter, ukuran ini sangat berfariasi. Dan di tentukan oleh jumlah babi yang di milikinya.
Bentuk bangunan ini sama dengan bentuk-bentuk bangunan lain, yaitu persegi empat. Pada atap bangunan menggunan bentuk atap pelana, tetapi hanya sebagian.
Bahan-bahan yang di pakai untuk membangun rumah ini meliputi untuk struktur utama dan pendukung adalah kayu. Bahan penutup atap adalah kulit kayu dan alang-alang. Untuk pengikat antara struktur utama, pendukung maupun penutup adalah rotan dan beberapa jenis tali.
(7) Bedo Owa (Kandang Ayam). Orang Mee sampai saat ini meyakini bahwa ayam merupakang binatang piarahan pendantang, karana belum terdapat di daerah Paniai. Namun demikian, pada saat ini yaitu sekitar tahun 1970-an ayam dipelihara sebagai salah pemberi protein bagi tubuh manusia. Ayam hadir di daerah atas bantuan pemerintah dan di bawah dari luar daerah ini.
Sesuai dengan nama rumah ini, fungsinya adalah kandang ayam. Dalam rumah ini orang Mee memelihara ayam. Ayam-ayam akan tinggal dalam rumah ini hanya pada malam hari. Karena pada siang hari ayam-ayam tersebut berkliharaan di pinggir rumah atau kebun dekat ruamh tinggal. Sistem pemeliaraan ini memberikan kesempatan pada burung-burung pemakan daging misalnya elang untuk membunuh anak ayam.
Saat ini orang Mee mengetahui dan membedahkan bagaimana mendirikan sebuah rumah untuk kandang ayam ataupun bebek, atau jenis binatang piaraan lainya. Akan tetapi sampai saat ini belum mengenal cara dan sistem pemeliharaan yang baik dan benar.
Bentuk bangunan ini sama dengan bentuk-bentuk bangunan lain, yaitu persegi empat. Pada atap bangunan menggunan bentuk atap pelana, tetapi hanya sebagian. Ukuran kandang ayam ini, memiliki panjang ±200cm, lebar ±200cm.
Bahan-bahan yang di pakai untuk membangun rumah ini meliputi untuk struktur utama dan pendukung adalah kayu. Bahan penutup atap adalah kulit kayu dan alang-alang. Untuk pengikat antara struktur utama, pendukung maupun penutup adalah rotan dan beberapa jenis tali.

2.Tipologi Arsitektur Pagar Tradisional
Pagar merupakan suatu elemen arsitektur yang di gunakan untuk melindungi kenyamanan dalam rumah maupun kebun. Ada dua fungsi utama pagar bagi orang Mee adalah; pertama memagari rumah tinggal entah itu rumah tinggal laki-laki atau rumah tinggal perempuan. Kedua mengelilingi kebun agar babi atau pencuri tidak masuk kedalam kebun.
Babi merupakan binatang piarahan yang berharga, cara memelihara babi (orang Mee) adalah malam hari di masukan kedalam kandang (ekina owa). Tetapi pada siang hari dibiarkan untuk berkeliaran di sekitar kebun atau rumah. Orang Mee hingga saat ini masih belum mengenal cara memelihara ternak secara moderen (dalam kandang).
Sistem pemeliharaan babi seperti ini membuat orang Mee, harus berpikir untuk membuat pagar, agar makanan dalam kebun tetap tumbuh dengan baik, tanpa gangguan dari binatan liar, terutama babi (ekina).
Ada tiga jenis pagar yang di buat oleh masyarakat suku Mee yang di bedakan menurut bentuk, kualiatas bahan yang digunakan, ukuran, dan cara pembuatan dari setiap pagar yang ada diantaranya;
(1)Wee eda adalah pagar ini di tanam secara vertikal. Secara kualitas bahan, bila di banding dengan kedua jenis pagar, maka pagar ini memiliki kualitas yang cukup tinggi. Pemilihan jenis pohon untuk pagar ini tidak sembarang. Telah di tentutukan beberapa jenis pohon untuk membuat pagar. Jenis pohon yang pakai untuk membuat pagar ini antara lain, Yewo (kayu besi), Digi/ Didame, Obai, Duigi, Amo.
Selain kualitas bahan yang memiliki tingkat ketahanan yang cukup lama, pagar jenis ini juga sumber pendapatan uang (mege). Apabila suatu pohon ketika di tebang atau di belah keras maka jenis pohon ini memiliki kualitas ketahanan yang baik.
Pagar ini berfungsi sebagai, pertama pembatas tanah leluhur/ kebun, kedua pembatas rumah dengan rumah, ketiga mengelilingi kebun agar babi tidak mencungkil makanan. Keempat mendirikan kandang ayam (bedo owa) atau babi (ekina owa).
Lokasi pagar ini biasanya di dataran rendah, terutama untuk kebun-kebun di sekitas rumah. Untuk kebun hutan (kebun yang di buat dengan membersikan, menebang pohon disekitarnya) jarang di gunakan jenis pagar ini. Umumnya pagar ini di gunakan untuk memagari rumah dengan kebun di sekitar rumah yang terdapat banyak keliaran babi di sekitarnya.
(2) Petu Eda (Pagar Horinsontal). Secara kualiatas bahan pagar ini masig lebih rendah dibanding wee eda. Tidak tahan lama, karena menggunkan kualitas bahan rendah. Ukuran pagar lebar±2cm, panjang ±200-300cm. Bentuk pagar ini adalah merupakan susunan papan yaang disusun dari bawah keatas. Papan-papan ini diikat pada pagar yang ditanam secara vertikal. Pagar ini muda di buat, sehingga waktu pengerjaan membutuhkan waktu relatif singkat.
Pagar ini, dibuat pada lokasi tertentu yang ditentukan dari lingkungan sekitrarnya. Misalnya, kebun hutan (bukit), lembah. Pemilihan pagar jenis ini, yang digunakan pada kebun hutan dan lembah dengan pertimbangn. Pertama, mudah mendapat bahan untuk membuat pagar. Kedua, jenis pagar yang bersifat sementara. Ketiga muda disesuaikan dengan kontur tanah. Keempat, proses pengerjaan dan pembuatan yang muda dan gampang.
(3) Tege Eda (Pagar Tiang). Pagar jenis ketiga yang dibuat oleh masyakat suku Mee adalah tege eda. Secara kualitas bahan, serta ketahanan terhadap iklim sekitar sangat relatif singkat. Bahan pembuatan pagar ini, diambil dari kayu yang masih muda (baru tumbuh). Masyarakat Papua menyebut kayu buah.
Pagar ini digunakan untuk mengelilingi kandang ayam. Tetapi, biasa digunakan untuk mengelilingi kebun atau rumah. Ukuran ketinggiannya lebih tinggi.

3.Tipologi Arsitektur Jembatan Tradisional.
(1) Goo Koto, (Jembatan Gantung). Jembatan ini merupkan jmbatan sangat panjang. Fungsi jembatan ini adalah menyebragi ke kebun hutan atau luar kampung. Bentuk jembatan ini adalah model jembatan gantung. Namun yang menjadi persoalan atau bahaya adalah ketika menyebrang jembatan ini jatuh, maka manusia tersebut tidak di selamatkan, karna hanyut dalam air.

(2) Koma Koto, (Jembatan Model Perahu). Disebut jembatan model perahu karana bentuk dan cara pembuatan jembatan ini seperti perahu tradisional. Panjangnya jembatan ini ditentukan dari besar kecilnya kali atau sungai. Membuat jembatan ini, di buat di hutan seperti perahu tradisional. Kualitas bahan (kayu yang dipakai) adalah kayu besi (yeewo piya. Jenis kayu ini adalah salah satu jenis kayu yang kuat dan besar. Panjang satu pohon mencapai 70-100meter.

(3) Tege Koto (Jembatan Tiang). Tege koto, artinya jembatang tiang karena hampir semua kayu yang dipakai adalah tiang. Bahan-bahan untuk membuat jembatan ini dipilih beberapa jenis kayu berdasarkan kuliatas kayu. Kayu yang digunakan untuk jembatan ini adalah amoo piya, digi piya, yegou dan beberapa jenis kayu yang dianggap kuat dan bertahan terhap air.
Pada zaman dulu, pengikat antar tiang-tiang pada struktur utama, tiang penyangga maupun struktur pendukung adalah tali. Jenis tali yang dipilih adalah rotan dan beberapa jenis tali laninnya. Sesuai degnan perkembangan zaman, saat dapat sangat terlihat beberapa rumah pagar dan jembatan menggunkan paku dan kabel atau kawat besi.
(4) Piyauti Koto (Jembatan Darurat), Jembatan ini di buat pada saat air sungai pasang. Letak jembatan ini adalah di hutan karena memang di gunakan hanya untuk menyebrang saat air sungai banjir. Jembatan ini juga model perahu, namun bisa dikatakan jembatan darurat sebab sering terjadi banyak banjir saat musim hujan.

Kesimpulan
Bahwa arsitektur adalah simbol yang mencerminkan dasar hidup manusia. Arsitektur tradisional suku Mee adalah SIMBOL PEMERSATU ide, perasaan, perbedaan pandangan. Suku Mee memandang Arsitektur tradisional adalah tempat dan hasil budaya . Di situ mereka memaknai setiap fenomena alam dan masyarakat yang dihadapi dalam proses hidupnya.
Pembentukan ruang pada arsitektur Suku Mee terjadi dengan memertimbangkan tradisi masyaraakat dan penggunaan bahan-bahan lokal. Karena itu arsitektur suku Mee adalah salah satu contoh timbal balik antara alam dan budaya manusianya (nature and culture) yang bagus. Hal ini perlu dikemukakan karena, perkembangan mutakhir, arsitektur tidak lagi meningindahkan tradisi dan bahan, bentuk lokal sehingga banyak darinya kehilangan identitas.

Acuan pustaka
1.Athwa, Ali [2004]; Islam atau Kristenkah Agama Orang Irian, Pustaka Da’i; Jakarta.
2.Boelars, Jan [1986] Manusia Irian,Dahulu, Sekarang dan Masa Depan,Gramedia; Jakarta.
3.Basrowi, [2008] Pengantar Sosiologi; Galia Indonesia; Bogor.
4.Bunai, Tanimoyabi Yoseph, [2007] “Mobu dan Ayii, Jalan Menuju Keselamatan Inisial dan Kekal Menurut Suku Mee di Papua; Elmasme “Gaiya” dan Dewan Adat Paniyai.
5.Catanese, Anthony J. dan James C. Syder; 1995. Pengantar Arsitektur, Erlangga, Jakarta.
6.Effendhie, Machmoed, [1999] Sejarah Budaya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; Jakarta.
7.Gobay, D. Mekaa [2007] Perempuan Papua Barat, Dalam Kekerasan Militer, Budaya, Ekonomi dan Kesehatan, Sumbangsih Press; Yogyakarta.
8.Gobay, Jhon. 2001. Membangun Kabupaten Paniai dengan Konsep Budaya Emawa/ Yamewa (skripsi) STPMD “APMD” Yogyakarta
9.Pekei, Christ, Titus [2007] Manusia Mee di Papua, Proteksi Kondisi Masa Dahulu, Sekarang dan Masa Depan diatas Pedoman hidup, Galang Press; Yogyakarta.
10.Pigai, Gotai, ruben [2008] Mungkinkah Nilai-nilai Budaya Hidup Suku Mee Bersinar Kembali?, Deiyai/ Yakama; Jayapura.
11.Don, Richardson, [1977] Penguasa-Penguasa Bumi, Penerbit Kalam Hidup; Bandung.
12.Konetjaraningrat, [2002] Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Gramedia Pustaka Utama; Jakarta.
13.------------------------ [1963] Penduduk Irian Barat, Penerbit Universitas; Jakarta.
14.------------------------- dkk; 1994. Irian Jaya, Membangun Masyarakat Majemuk, Djambatan, Jakarta.
15.Yeimo, Yunus E. 2007 [laporan awal hasil penelitian] Studi Tipologi dan Kearifan Arsitektur Tradisional Suku Mee Papua. Yamewa-Papua, Yogyakarta.

seleNGKAPNYA......

17 Januari, 2009

Atasi Sampah Kota Timika; Tugas Siapa?


Oleh: Yunus E. Yeimo

Hadirnya sebuah kota dan wilayah akan selalu dibarengi dengan berbagai masalah hidup dan kehidupan perkotaan (urban life). Persoalan perkotaan itu sangat kompleks, dan semua stackholder memahami masalah-masalah itu. Sebab sebuah kota hadir dan berkembang bukan membawah dampak positif saja, tetapi banyak juga hal negatif. Salah satu masalah yang menjadi perhatian publik di hampir semua kota-kota besar maupun yang baru berkembang adalah “sampah”.
Pada umumnya masyarakat kota menganggap, sampah merupakan bahan buangan yang tak berharga. Padahal, sampah sangat berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan pupuk tanaman dan memiliki nilai ekonomis jika di kelola secara baik. Persoalan lain dengan mengolah sampah tersebut, akan mengurangi permasalahan yang terus meningkat seiring perjalanan waktu, terutama disebabkan oleh terus meningkatnya populasi dan kebutuhan manusia secara langsung maupun secara tidak langsung, tentunya juga akan menyebabkan semakin meningkatnya volume sampah (limbah) sehingga menjadi beban bagi lingkungan.

Kota Timika yang sering kali di juluki sebagai kota ”Indonesia Mini, Dapur Dunia, Kota Emas, Kota Industri” kini telah bertambah sebuah nama baru yaitu ”kota sampah” (baca: Radar Timika, Edisi Rabu 03/ 09/ 08). Nama baru itu, mamang tidak menghebohkan warga kota Timika, karena sedang ”membudaya” dan bukan sesuatu yang ”luar biasa”. Karena ia (sampah itu) menyerupai sebuah patung yang menarik dan sedap bauhnya, yang bertumbuh dan berkembang secara pesat di beberapa sudut kota Timika.
Tempat pembuangan akhir (TPA) Iwaka di palang Warga masyarakat yang tinggal di sekitar. Sementara itu, pihak pengelola pengangkutan sampah (kontraktor yang menangani) tidak mau urus warga yang palang TPA Iwaka. Lebih jauh lagi, pihak pemerintah melalui dinas terkait tidak ada kejelesan (ponsel belum bisa tersambung) kepada pihak media. Maka, sebuah pertanyaan yang perlu dijawab bersama bagi warga kota Timika dan sekitarnya adalah tugas dan tanggungjawab siapakah mengatasi tumpuhkan sampah ini? Siapa pun dia yang hidup dan tinggal di kota Timika, dialah yang paling bertanggungjawab untuk mengatasi masalah ini.
Menurut hemat saya, untuk mengatasi masalah sampah dan permasalahan lain yang ada di perkotaan adalah pertama, perlunya kedasaran masyarakat (penjual pribumi dan pedagang kaki lima) untuk memperjual-belikan barang dagangan dalam keadaan bersih, sebelum membawa ke pasar (pusat bisnis). Kedua, perlunya pengetahuan masyarakat luas tentang hidup dan kehidupan perkotaan. Terutama menjaga kebersihan lingkungan perumahan atau permukiman dimanapun kita hidup. Ketiga, perlunya (kejelasan) atau kerja sama antara masyarakat adat (Iwaka), pengelola pengangkut sampah dan pemerintah. Untuk bersama-sama duduk berbicara mencari solusi terbaik untuk mengatasi masalah ini. Keempat, perlunya sebuah tempat (pabrik) yang bisa mendaur ulang sampah-sampah itu agar di proses secara moderen dan ramah lingkunan. Kelima, pemerintah perlu menyiapkan tenaga kebersihan kota, melalui dinas tata kota atau dinas kebersihan dan lingkungan kota. Keenam, kurangnya fasilitas tempat pembuangan ”tempat sampah” di tingkat kelurahan atau rukun tetanga di sekitar kota Timika. Sebab, setiap keluarga perlu mengolah sampahnya sendiri, dengan demikian persoalan sampah kota Timika tidak separah sekarang ini. Karena penghasil sampah terbesar di perkotaan adalah sampah yang berasal dari rumah tangga. Ketuju, perlunya penelitian mendalam untuk mengetahui sumber-sumber datangnya sampah dan bagaimana mengatasinya.
Sebenarnya, sampa itu jika di kelola dengan baik maka dari sampah ini, menghasilkan pupuk organik yang murah, berkualitas, terjangkau, dan mempercepat terwujudnya sistem pertanian organik yang lestari berproduksi, ramah lingkungan dan menghasilkan produk pertanian yang sehat.
Dalam memanfaatkan dan mendaur ulang sampah menjadi bahan-bahan lain yang bernilai ekomonis, diperlukan perencanaan yang konseptual, menyeluruh dan penanganan dengan menggunakan teknology yang memadai, misalnya menggunakan bioaktivator atau efektive mikroorganism (EM4). Untuk menjadikan sampah menjadi kompos merupakan langkah yang paling positif, dengan menggunakan pengurai aktive (EM4) sehingga proses membuat kompos atau bokashi menjadi lebih cepat.
Permasalahan umum lain yang sering terjadi di kota-kota besar adalah ”banjir”. Masalah ini masih belum dirasakan oleh warga kota Timika secara umum. Namun di beberapa sudut kota seperti warga masyarakat yang tinggal di Gorong-gorong mulai berpikir dua kali, karena selalu menjadi langganan banjir (Radar Timika 08/09/08). Dan persoalan ini (banjir) jika tidak diatasi oleh semua pihak, maka akan bertambah lagi sebuah nama baru yaitu ”Kota Banjir”. Mengapa? Karena banjir terjadi diakibatkan oleh kurangnya penanganan sampah oleh semua pihak.
Selain itu, kota Timika di lalui oleh beberapa sungai yang dapat menguntungkan untuk dapat dimanfaatkan sebagai tempat rekreasi, cuci, dan untuk keperluan irigasi. Tetapi satu hal yang mengkhawatirkan dari sungai-sungai ini adalah menjadi ”tempat ideal” untuk membuang sampah yang merupakan “sumber banjir” di perkotaan. Selain itu, banyak drainase (parit) yang di penuhi (ditanami) sayur kangkung oleh warga masyarakat, sebagai sumber pendapatan mereka. Disisi lain parit di buat agar air hujan dan air limbah dari rumah bisa mengalir secara lancar ke sungai.
Untuk mengatasi masalah ini adalah tanggungjawab kita semua (masyarakat, pengelola pengangkut sampah dan pemerintah. Kalau hal ini tidak diatasi segera, persoalan akan semakin sulit dan baunya go internasional, sehingga sampah menjadi alasan untuk hidup dan mengisi waktu sepanjang hari dimanapun kita hidup.


Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di Koran Radar Timika pada Bulan September 2008.
Sumber foto: www.radartimika.com

seleNGKAPNYA......

13 Januari, 2009

PROTEKSI ATAU KOMERSIALISASI NILAI-NILAI BUDAYA HIDUP ORANG PANIAI PAPUA, DALAM 3 DIMENSI WAKTU [Dulu-Kini-dan Masa Depan]?1.


Oleh: Yunus E. Yeimo2

Siapa orang Paniai itu? Orang Paniai adalah manusia yang hidup di daerah Paniai yang dalam etnografi Papua disebut Suku Mee dan Migani [bukan Moni3. Menurut asal suku bangsanya, suku Mee dan Suku Migani berasal dari “Pupu Papa” Bagian Timur Pegunungan Tengah Papua Barat tepatnya di lembah Baliem. Dan diperkirakan mereka tiba dan menetap di daerah Paniai sejak tahun 1100 [900 tahun yang lalu]4. Ciri khas daerah Paniai [suku Mee dan Migani] adalah di sekitar danau-danau Wissel, Dataran Kamu dan Daerah Pengunungan Mapiha/ Mapisa (Boeraars 1986:85). Namun demikian, wilayah Paniai [paniai doko] bukan hanya di diami oleh suku Mee dan Migani tetapi, ada beberapa suku lain yang telah lama hidup di daerah Paniai yaitu suku Nduga, Suku Dauwa, Suku Wolani, dan lain-lain5.
Kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari “perubahan” di segala dimensi. Proses akulturasi dan asimilasi budaya merupakan awal dari pada proses perubahan tersebut. Tak terkecuali, suku Mee dan Migani [orang Paniai] terlibat dalam proses itu. Dimana telah terbukti bahwa orang Paniai, telah menerima budaya lokal maupun budaya moderen. Entah melalui ajaran gereja [agama] maupun pemerintah [Belanda-Indonesia]. Untuk itu, tulisan ini dimaksudkan memperjelaskan “pentas budya” yang dibawahkan oleh pelajar dan mahasiwa kota studi Yogyakarta. Untuk membuka cakrawala pemikiran kita akan “proses perubahan” yang telah, sedang dan akan terjadi di Paniai secara khususnya dan Papua pada umumnya berdasarkan nilai-nilai budaya hidup orang Paniai.

Semuanya ada dan masih utuh [sebelum, tahun 1932,1940]
Bila kita telusuri sejarah dan budaya leluhur kita pada masa sebelum Misionarisi [1932] dan pemerintah Belanda [1940] semua itu masih utuh, dan begitu indah dan kaya dengan kebudayaan asli mereka. Gotai Ruben Pigai [2008] dalam buku “mungkinkah nilai-nilai budaya hidup suku Mee bersinar kembal6”? menjelaskan bahwa Ayah dari Ruben Pigai adalah generasi ke 7 dari dari silsilah keturunannya. Sedangkan, Ruben Pigai adalah generasi ke 8 dan anak dari bapak Ruben Pigai adalah generasi 9. Dan Ayah dari bapak Ruben Pigai tidak menyebutkan suatu masa [generasi] yang ke 10, sebab generasi ke 10 telah tiba “hari kiamat”7. Menurut Ayah dari Gotai Rubaen Pigai bahwa generasi ke 10 [generasi sekarang] tidak akan hidup semakmur seperti budaya hidup sebelumnya, yaitu beternak [ekina muni], berburu [woda ubai], bertani [taikeitai iyee] dan lain sebagainya8
Orang Paniai [Suku Mee dan Migani] disebut manusia karena mereka hidup diatas dua telapak kakinya sendiri dan tidak tergantung pada orang lain. Dan mereka memiliki struktur kehidupan yang jelas dan tersendiri yaitu pertama, mempunyai tatanan sosial yang jelas. Kedua, mempunyai tradisi yang tersusun rapi. Ketiga, tidak tergantung kepada siapapun dan menciptakan suasana hidupnya sendiri. Keempat, mempnyai rasa percaya diri yang sangat menonjol. Kelima, mempunyai kehidupan sosial yang sangat tinggi. Keenam, mempunyai identitas diri dan nilai-nilai budaya yang sangat jelas.
Bila ditinjauh dari kaca mata antropologi, tujuh jenis unsur kebudayaan secara umum dan tiga jenis wujud kebudayaan yang disebutkan oleh Koentjaraningrat, [2002] dalam buku Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Unsur-unsur dan nilai-nilai hidup budaya orang Paniai itu misalnya pertama, adanya sistem religi [kepercayaan] akan Tuhan [ugatame] sang pencipta. Kedua, sistem organisasi dan kemasyarakatan, seperti orang kaya [tonawi], dan mempunyai membina relasi yang baik dengan orang lain. Ketiga, sistem pengetahuan [epi dima mana] seperti, tahu membedahkan baik dan buruk. Keempat, bahasa [Mee mana ma Migani mana ma] kita [suku Mee dan Migani] mempunyai bahasa daerah [bahasa ibu]. Kelima kesenian, seperti wiyani, uga, kaido dan lain lain. Keenam, sistem mata pencahariahn hidup seperti beternak, bertani dan berburu kukus dan mencari ikan di danau. Ketujuh, sistem teknologi, dan peralatan seperti yika [kapak batu], yado/ kopa.
Orang Paniai, tidak mengenal tulisan [bentuk huruf]. Tetapi, secara lisan mereka [leluhur] telah menurunkan nilai-nilai budaya dalam bentuk bahasa lisan. Masa muda [yokaga ga] adalah masa dimana puncak kejajahan, keistimewaan, kebolehan. Sehingga, dalam kehidupan kehidupan orang Paniai [suku Mee dan Migani], menyebut masa muda adalah masa siang hari [agapi tadi/ agapi gaa]. Disisi lain, masa ini adalah masa yang diselimuti dengan perasaan “kehati-hatian” karena masa ini gampang melewati batas-batas nilai moral budaya setempat [teritory culture]. Sebagai contoh, orang tua Mee mengatakan “yoka gaga kou peukaiko tibigi koyaka gai” [hati-hati pada masa muda sebab masa itu, masa yang gampang jatuh kedalam pencobaan].
Anak muda laki-laki dan perempuan Paniai pada saat itu sangat mematuhi aturan adat. Karena, jika ada yang melanggar, akibatnya adalah dihukum sesuai dengan perbuatannya masing-masing. Sebagai contoh, perbuatan zina [mogai tai], hukuman yang diberikan adalah mencabut nyawa dengan cara digantungkan diatas pohon lalu dipanah dari berbagai arah. Mencuri, bila ada yang kedapatan melakukan pencurian, atau mengaku melakukan pencurian, maka akibatnya adalah jari-jari tangan dibelah [gane yapetai]. Sehingga setiap perbuatan dari kecil sampai besar memunyai hukuman yang berbeda berdasarkan atas perbuatannya masing-masing. Pemberian hukuman yang dianggap melanggar norma-norma budaya ini dimaksudkan untuk menyelamatkan generasi selanjutnya atau menjadi peringatan bagi orang lain yang belum melakukan “perzinahan atau pencurian”.
Nilai dan aturan maskawin, adalah salah satu nilai budaya yang berlaku di hampir tiap suku di Papua. Orang Paniai sejak dulu tidak menentukan nilai minimal dan maksimal dari harga maskwin. Besar kecilnya, ukuran untuk menentukan nilai harga maskawin adalah berdasarkan atas “perilaku hidup/ karakter” para calon suami atau istri. Misalnya, seorang laki-laki muda dituntut untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang layak dilakukan oleh para laki-laki. Sebagai contoh, mencari kayu bakar, membikin kebun, membuat pagar, dan lain sebagainya. Bila seorang pemuda mampu melakukan pekerjaan seperti diatas, maka harga/ nilai maskawin menjadi tidak mahal. Karena pihak perempuan menilai dia sebagai laki-laki bertanggung jawab, dan dengan harapan akan membantu saat melakukan pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan banyak orang dari pihak perempuan.
Dalam mencegah terjadinya perang, suku Mee, suku Mee mengenal berbagai upacara adat. Salah satu upacara adat perang [ritual perang] adalah upacara yang dilakukan pada saat peperangan [yape kamu/ yape kabo]. Dalam upaya mendamaikan peperangan itu, suku Mee mengenal dua upacara adat [ritual perang] agar perang damai atau melindungi dari bahaya perang. Kedua upacara itu diantaranya, pertama, upacara yang dilakukan dengan menggunakan batu yang disebut paikeda [paikeda mogo]. Kedua, upacara dengan menggunakan ikatan anak panah [ida boda]. Kedua upacara ini diselenggarakan pada saat perang, perkara-perkara besar, dengan tujuan agar tercipta damai, aman dan selamat [Bunai, 2007: 60-63]9.
Untuk menghidupi keluarganya, diperlukan lahan [kebun] sebagai sumber penghidupan bagi keluarganya, maka dilakukan berbagai upaya. Misalnya, memagari kebun untuk mencegah hama tikus atau babi yang sering merusak tanaman. Pada saat itu setiap keluarga dibutuhkan 3-4 lahan kebun. Orang-orang yang dulu kuat bekerja tidak seperti saat ini. Mereka membuat pagar ratusan hektar, lalu membagi petak-petak kemudian dibagikan kepada masing-masing keluarga dalam kampung itu. Ada juga kebun di sekitar [pekarangan] rumah sebagai kebun persiapan untuk dipetik [ambil hasil kebun] pada saat hujan atau sakit. Menurut Jan Boeraars [1986], orang Mee sangat kaya dengan ikatan-ikatan sosial dan ekonomi. Kemudian, setelah ia mengadakan penyelidikan lebih mendalam, maka ternyata dibalik latarbelakannya yang “miskin”10, dan dibalik kegiatan “dagang”11 yang amat tenang ini, tersembunyi suatu kehidupan rohani, yang mampu mengungkapkan nilai-nilai kemanusiaan yang mendalam dengan pemberian bentuk simbolik yang sangat kaya.

Awal perubahan budaya orang Paniai [1933, 1940]
Kontak pertama orang Paniai dengan dunia luar terjadi dengan seorang penerbangan bernama F.T. Wessel secara kebetulan yang menemukan tiga danau [Tigi, Tage, Paniai] yang terletak di pegunungan Tengah Papua, tepatnya tanggal 31 Desember 1933, merupakan kontak pertama orang Mee dan Migani dengan dunia luar. Kemudian direalisasikan melalui darat oleh para misionaris katolik dan protestan. Namun setahun sebelumnya [tahun 1932], Pastor Tilemans seorang misionaris katolik sudah mengadakan kontak awal dengan seorang tokoh orang Mee asal Mapia bernama Auky Tekege di Kokonau Mimika 12.
Orang Paniai melihat orang Barat [Waltel Post-Misionaris Kinggmi] lalu mereka heran, seketika melihat kulit putih karena mengira bahwa mereka anak kecil sebab kulitnya putih licin seperti anak bayi yang baru lahir. Begitupun sebaliknya, para Misionaris heran karena melihat kesejahteraan serta kemakmaran rakyat. Masyarakat hidup sehat karena selalu memakan makanan bergizi, yaitu daging babi, 14 jenis udang di danau dan kali, kus-kus pohon, segala macam jenis sayur mayur serta petatas dan keladi. Dan tidak ada penyakit hanya ada penyakit kulit [Frambusya]13.
Motivasi awal perubahan budaya orang Paniai, terjadi ketika orang Paniai merasa tertarik dengan benda-benda logam seperti kapak, parang, pacul, dan skop sebagai tanda awal terjadinya kontak dengan dunia luar. Selain itu para pendatang juga memperkenalkan alat masak seperti garam, kuali dan lain-lain, kepada masyarakat setempat. Dan pada saat itu muncullah istilah tuan “ogai”14. Kemudian pengawai lokal pun disebut juga disebut ogai. Sejak itulah para misionaris dan pemerintah Belanda mulai memperkealkan budaya baru 15.

Kini “budaya” orang Paniai tiba di persimpangan jalan “kebingungan” [1990-2000-an]
Dulu sebelum agama dan pemerintah Belanda, orang Paniai mengadakan pesta “yuwo” [yuwo duwai], itu bukan sebagai ajang untuk menguji dan mengukur kemampuan ekonomi dan serta jabatan. Tetapi pada saat itu pesta adat [yuwo] dilaksanakan sebagai awal menumbuhkembangkannya ekonomi rakyat [masyarakat kampung]. Orang Paniai menyelenggarakan yuwo sebagai arti bahwa menjadi “orang kaya” [tonawi16] adalah bukan barang warisan yang diturunkan oleh klen, atau totem, marga, dan keluarga. Tetapi setiap orang bisa menjadi tonawi, syaratnya adalah “bekerja keras”.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kini zaman telah berubah, sehingga semua lini kehidupan manusia pun ikut berubah, tak tekecuali budaya hidup orang Paniai. Sebagai contoh, pesta yuwo saat ini masih dilaksanakan. Tetapi, menjadi pertanyaannya adalah apakah pesta yuwo sekarang, sama makna dengan pesta yuwo dulu? Kenyataan bahwa pesta yuwo, yang dilaksanakan saat ini telah berubah arti yang sebenarnya, ia [pesta yuwo itu] merupakan awal dari kasih sayang, solider, mobu, ayii dan nilai-nilai hidup budaya lainnya.
Perubahan zaman yang berdampak pada kehilangan eksistendi budaya dan norma-norma adat menurut Yakobus F. Dumupa [2006] dalam buku Berburu Keadilan di Papua Barat, Mengungkap Dosa-dosa Politik Indonesia di Papua Barat, disebut “penyakit sosial” yang dikirim oleh Indonesia tanpa kendali. Beberapa “penyakit sosial” itu diantaranya seperti, lupa adat dan lupa diri, KKN tumbuh dengan pesat, perebutan jabatan, induvidualisme, pelacuran, budaya malas kerja, mabuk-mabukan dan kriminalitas, maraknya ijazah dan gelar palsu, bergaya hidup mewah, budaya proposal17.
Kini menurut hemat saya [Yunus Yeimo], semua kekayaan kebudayaan, nilai-nilai hidup budaya orang Mee yang pernah ada dan yang menghantar manusia Mee sampai pada saat ini telah hilang. Penyebabnya adalah kita [generasi sekarang], telah mengidap virus “ikut-ikutan”, kemudian kitalah yang menghakimi budaya kita sendiri dengan dalil budaya itu, “kuno, ketinggalan, tradisional, kampungan, primitif, masa bodoh, zaman batu” dan sebainya dan seterusnya. Disini diperlukan suatu kesadaran diri akan pentinnya, faktor budaya dalam segala aspek kehidupan manusia. Karena saat ini dimana, mana telah kehilangan diri sebagai manusia berbudaya, yang pernah ada yang dimiliki oleh setiap suku bangsa yang ada di dunia.
Lalu bagaimana dengan masa depan nilai-nilai unsur budaya yang dari setiap suku bangsa? Karena budaya adalah dasar hidup, ciri khas/ identitas, pedoman, sumber inspirasi dan lain sebagainya. Sebuah pertanyaan untuk kita [pelajar dan mahasiswa] adalah apakah kita ingin jadi pelestari budaya atau justru jadi pemusnah budaya? Karena mengangap budaya itu, “ketinggalan, kuno, tradisional, kampungan, primitivf ajaran zaman batu”, dan sebagainya dan seterusnya. Jawabanya kembali pada setiap insan sebagai orang yang menganut budaya itu apapun jenis suku dan budayanya. Aki kida/ koda gayake gai ma dou ma tai, ekowai beugakouya. “Halabok... for my culture and nature...Paniai....!!!???”

Catatan Akhir

1. Materi “Pentas Budaya” pada Acara Perayaan Natal Bersama Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Paniai-Nabire Se-Jawa, Bali dan Sulawesi, yang diselenggarakan Oleh Kota Studi Semarang, dari tanggal 28- Desemeber 2008 s/d 01 Januari 2009. Cerita [pentas budaya] yang dibawahkan oleh Kota Studi Yogyakarta itu menceritakan bahwa bagaimana eksistensi nilai-nilai hidup budaya orang Paniai itu mengalamai perubahan dan berdasarkan perkembangan zaman.
2.Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Teknik Arsitektu, Kuliah di Yogyakarta, dan Pemilik blogsite “Yamewa-Papua”
3. Disebut “Migani” layak untuk sebutan nama suku [Moni] karena Migani artinya Manusia. Istilah Migani adalh merupakan hasil diskusi yang diselenggarakan oleh IPMAPAN Yogyakarta, pada tanggal 18 April 2008.
4. Gotai Ruben Pigai, Mungkinkah Nilai-nilai Budaya Hidup Suku Mee Bersinar Kembali? [Jayapura, 2008], hal. viii.
5. Titus Christ Pekei, Manusia Mee di Papua, proteksi kondisi masa dahulu, sekarang dan masa depan diatas pedoman hidup, [Yogyakarta, 2008], hal. 206.
6. Misionaris adalah sebutan bagi para penginjil/ pendeta Kristen, yang datang dari Belanda di tanah Papua, untuk menginjili kabar keselamtan. Kontak pertama orang Mee dengan dunia luar pada tanggal 31 Desember 1933.
7. “Hari kiamat” yang dimaksud disi adalah masa hidup generasi ke 10.
8. Pigai, Op. Cit. hal.1
9. Yunus E. Yeimo [Materi Diskusi dan Nonton Film Dokumenter “Batu Paikeda”], yang diselenggarakan oleh Panitia Natal, Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Paniai-Nabire Yogyakarta. Yogyakarta, 15 Desember 2008.
10. Disebut “miskin” karena penulis adalah orang yang telah lama mengenal teknlogi, rumah mewa, mobil dan sebagainya, sehingga ia membandingkan kehidupan di dunia barat dan orang Mee. Dan dapat diakui bahwa pada saat itu kehidupan orang Mee masih primitif, tetapi bagi orang Mee tidak mengenal yang namanya pritif.
11. Orang Mee sejak dulu mengenal sistem perdagangan dengan suku lain, seperti Amungme dan Kamoro di Timika. Suku Migani di bagian timur daerah Paniai.
12. Menurut Ruben Pigai, kontak awal Auki Tekege dengan Pastor Tilemans pada tahun 1938. hal 30-31
13. Pigai, Op. Cit. hal. 29-37
14. Istilah tuan atau disebut “ogai” sendiri awalnya dipakai untuk penyebutan orang misionaris, dan pemerintah Belanda.
15.Ibid. hal 261-262.
16. Tonawi artinya sebutan bagi orang yang telah kaya secara ekonomi, dan memahami hal-hal mistik. Tetapi, bukan hanya itu, tetapi ada beberapa nama tonawi seperti, mana tonawi, dimi tonawi, agiyo tonawi, ipa tonawi dan lain-lain.
17. Dumupa F. Yakobus [2006] Berburu Keadilan di Papua Barat, Mengungkap Dosa-dosa Politik Indonesia di Papua Barat. hal.233-261.
18. Sumber foto: Yeri Degei/ Dokumen Selangkah

Acuan Kepustakaan
Adii, Geradus [2002] Bebas Dari Kuasa Kegelapan di Tanah Papua, Gereja Kemah Injil Indonesia [GKII] Wilayah Irian Jaya; Jemaat Zebaoth Jayapura.
Boelars, Jan [1986] Manusia Irian,Dahulu, Sekarang dan Masa Depan,Gramedia; Jakarta.
Bunai, Tanimoyabi Yoseph, [2007] “Mobu dan Ayii, Jalan Menuju Keselamatan Inisial dan Kekal Menurut Suku Mee di Papua; Elmasme “Gaiya” dan Dewan Adat Paniyai.
Dumupa F. Yakobus [2006] Berburu Keadilan di Papua Barat, Mengungkap Dosa-dosa Politik Indonesia di Papua Barat. Pilar Media, Yogyakarta.
Gobay, D. Mekaa [2007] Perempuan Papua Barat, Dalam Kekerasan Militer, Budaya, Ekonomi dan Kesehatan, Sumbangsih Press; Yogyakarta.
Pekei, Christ, Titus [2007] Manusia Mee di Papua, Proteksi Kondisi Masa Dahulu, Sekarang dan Masa Depan diatas Pedoman hidup, Galang Press; Yogyakarta.
Pigai, Gotai, Ruben [2008] Mungkinkah Nilai-nilai Budaya Hidup Suku Mee Bersinar Kembali?, Deiyai/ Yakama; Jayapura.
Koentjaraningrat, [2002] Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Gramedia Pustaka Utama; Jakarta.
------------------------ [1963] Penduduk Irian Barat, Penerbit Universitas; Jakarta.

seleNGKAPNYA......

06 Januari, 2009

Laporan dari Bologna; RUMAH ADAT PAPUA UNTUK ITALIA


Oleh: Eddi Santosa - detikNews

Bologna - Setelah diplomasi kebudayaan dengan angklung dan folklore, KBRI Roma menyumbangkan rumah adat Papua dalam bentuk miniatur kepada Museum Antropologi, Universitas Bologna, Italia.

Benda seni dan budaya itu diserahkan oleh Sekretaris Pertama Politik merangkap Koordinator Benda–Benda Seni dan Budaya Pramudya Sulaksono kepada Kepala Laboratorium Bio-arkeologi dan Osteologi Forensik Museum Antropologi Universitas Bologna Prof Maria Giovanna Belcastro di museum tersebut, Kamis (24/7/2008) pukul 11.00 waktu setempat.

"Sumbangan benda-benda seni budaya Indonesia tersebut dimaksudkan agar masyarakat Italia khususnya mahasiswa Universitas Bologna dapat mempelajari seni budaya Indonesia," ujar Pramudya saat diterima Wakil Rektor Universitas Bologna Urusan Hubungan Luar Negeri Prof. Roberto Grandi, seusai penyerahan.

Di samping itu, tambah Pramudya, sumbangan tersebut juga diharapkan dapat lebih mempererat hubungan persahabatan antara Indonesia dengan Italia.

Selain miniatur rumah adat berbentuk panggung, diserahkan juga tifa (instrumen perkusi sejenis gendang) dan tas tradisional Papua berbentuk anyaman. Ketiga benda seni Papua tersebut berasal dari kelompok kesenian 'Sampari Manokwari' (Irian Jaya Barat), saat mereka berkunjung ke KBRI Roma bertepatan dengan peringatan HUT RI 17/8/2006 lalu.

Universitas Bologna merupakan univeritas tertua di dunia yang berdiri sejak 1088. Saat ini Universitas Bologna mempunyai sekitar 13 museum. Ketiga benda seni budaya daerah Papua itu merupakan benda-benda Indonesia pertama yang akan tersimpan di dalam Museum Antroplogi tersebut.

Sebelumnya pada 5/12/2007, KBRI Roma juga telah menyerahkan benda-benda seni Indonesia kepada bakal Museum Regional Immigrasi dan Emigrasi di Marsala, Pulau Sicilia, Italia.

Benda-benda seni itu berupa seperangkat angklung lengkap berukuran kecil sumbangan dari Sanggar Angklung Saung Mang Udjo, Bandung (Jawa Barat), tifa dari kelompok Sampari Manokwari (Irian Jaya Barat), serta kain ikat dari Lombok, Nusa Tenggara Barat, hadiah dari Noam Lazuardy, peserta magang Deplu RI Angkatan XXXI.

Benda seni Indonesia tersebut telah diserahkan langsung kepada Wakil Walikota Pemda Marsala Michele Milazzo dan Pejabat Bidang Imigrasi Domenica Miceli. Indonesia merupakan negara pertama yang merespon memberikan sumbangannya untuk pembukaan museum tersebut.(es/es)

__________________________________________________
Sumber: http://www.detiknews.com./Minggu, 27/07/2008 18:26 WIB

seleNGKAPNYA......

02 Januari, 2009

ATASI ANAK MALAS BELAJAR, DENGAN DESAIN ARSITEKTURAL

Oleh: Yunus E. Yeimo

Dunia anak adalah dunia yang penuh dengan keunikan. Setiap anak mempunyai keunikan dan pengalaman tersendiri. Dimana ia tinggal? Dengan siapa ia bermain atau belajar? Apa jenis permainan atau perlengkapan belajar yang ia sukai? Apakah ia lebih suku belajar didalam rumah ataukah lebih suka bermain diluar rumah? Ini adalah pertanyaan penting yang kita jawab bersama atas terbentuknya karakter (perilaku) dan perkembangan anak. Ada dua penyebab yang membuat anak malas belajar dalam rumah (desain arsitektural) diantaranya:
Pertama, perancangan konstruksi bangunan rumah (desain arsitektural). Banyak keluarga jarang memperhatiakan (memerdulikan) hal ini. Mereka masih menganggap rumah sebagai “benda mati”. Padahal, rumah pada hakekatnya bukan hanya tempat tinggal belaka, melainkan juga tempat terbinanya kasih-sayang diantara keluarga, tempat dibinanya anak-anak menjadi manusia, tempat berkembangnya generasi muda harapan masa depan bangsa. Oleh sebab itu, sesuai fungsinya, orang tua harus mampu menjamin seluruh penghuni agar betah di rumah, terutama anak-anak.

Itulah sebabnya, konstruksi-desain-tata-ruang-dan corak warna dalam suatu rumah perlu diperhatikan dengan seksama. Rancangan rumah secara tak langsung mempengaruhi jiwa penghuninya. Bahkan, kalau memungkinkan, sangat baik bila disediakan pula ruang belajar khusus anak, yang ditata sedemikian rupa (mulai dari penataan kamar, ornamen, bentuk, warna dan perlengkapan lainya) agar si anak bisa betah bertahan belajar di rumahnya atau diruangnya sendiri.
Ruang belajar itu tak perlu mewah, dalam arti luas serta diisi perabot yang mewah. Cukup sederhana saja. Secara psikologis ini akan membuat anak terbiasa dengan kesederhanaan hidup. Letaknya tentu tidak boleh sembarangan. Usahakan, sedapat mungkin. Hindarilah kondisi fisik yang gelap, pengap, dan tidak menyegarkan, serta jangan terlampau dekat dengan kamar atau pun tempat tidur.
Ruang belajar ini dapat bermacam-macam ragamnya, tergantung kondisi keluarga yang bersangkutan. Bagi yang mampu, barangkali baik jika disediakan kamar khusus tempat belajar. Di tempat ini anak diberi keleluasaan untuk berkreasi dan mengembangkan potensi diri. Berilah mereka hak otonomi penuh atas ruangan itu, tak seorang pun dapat turut campur mengaturnya. Orang tua hanya mengarahkan, membimbing, serta mengontrol saja. Hal ini akan mendewasakan diri sang anak, karena sejak kecil ia terbiasa bertanggung jawab serta memikul akibat-akibatnya yang terjadi pada saat bermain atau belajr.
Di samping itu, dibuat ukuran ruangan besar, dengan masing-masing anak memiliki otonomi atas meja belajarnya sendiri. Barangkali seperti suasana kantorlah, cuma harus dijaga juga ketentraman belajarnya. Selain itu, bisa juga meja belajar dipakai bersama, termasuk kedua orang tua. Di sini peran ayah ataupun ibu sangat  menentukan.
Kedua, tata perangkat lunaknya, yakni perangkat-perangkat pengisi yang memperlancar proses belajar. Misalnya, pengaturan cahaya lampu atau sinar matahari. Sekalipun tampaknya memang kurang berarti, namun kenyataannya hal itu sangat berpengaruh. Hal ini dapat kita mengerti dari fakta yang dapat kita jumpai setiap hari. Buku-buku misalnya, kebanyakan warna dasar kertasnya putih, yang cenderung kuat memantulkan cahaya. Karena mata harus bekerja keras untuk mengimbangi energi kuat yang dipantulkan dari kertas putih tersebut. Tentu anak tak akan tahan belajar lama-lama. Begitu pula sebaliknya. Cahaya lampu yang terlalu lemah akan menyebabkan mata lelah dan cepat berair, kepala lekas pusing dan tegang, lalu akhirnya timbul rasa malas belajar. Cahaya lampu perlu diatur sedemikian rupa agar mata bisa bekerja normal, tak berkontraksi atau pun menegang. Bagaimana pun juga hal ini sangat penting, paling tidak salah satu faktor telah dapat kita kendalikan.
Perangkat lunak lainnya misalnya kedisiplinan, ketertiban, dan suasana kasih sayang. Yang dimaksud disiplin di sini bukan berarti otoriter dan bersikap keras terhadap anak-anak. Karena sikap seperti itu hanya akan menyebabkan si anak selalu merasa rendah diri, senantiasa salah dalam melakukan apa saja, dan sebagainya. Padahal, potensi kreatif anak hanya bisa tumbuh dalam suasana kebebasan yang terarah, bukan otoriter yang dipaksakan.
Begitu pula ketertiban, yang termasuk di dalamnya kebersihan dan keindahan. Pendek kata keharmonisan. Lingkungan rumah yang nyaman, senantiasa bersih, dan rapi pasti akan menimbulkan hasrat “menyenangkan”. Si anak akan betah berlama-lama di rumah. Siapa yang tidak senang berada dalam lingkungan yang selalu bersih dan menyenangkan?
Namun demikian, semua itu tidak berarti sama sekali jika suasana di dalamnya serba menakutkan, serba hitam. Sementara anak-anak lebih menyukai, warna-warna terang (aneka warna terang). Rumah, bagaimanapun jeleknya, tetap bukan pabrik tempat “memproduksi” manusia-manusia dan setelah itu dibiarkan begitu saja. Rumah juga bukan sekadar tempat pengistirahatan.
Pada dasarnya, anak-anak tidak mau belajar bukan karena dia malas. Kemalasan hanyalah akibat kekeliruan orangtua dalam merancang rumah. Intinya sebelum membangun (mendirikan rumah) faktor-faktor yang disebutkan diatas sangat penting menjadi pertimbangan utama agar si anak betah belajar dan bermain di dalam rumah.

Sumber: Majalah Selangkah/ Edisi: Januari-Maret 2008


seleNGKAPNYA......
Template by : kendhin x-template.blogspot.com