Custom Search

02 Januari, 2009

ATASI ANAK MALAS BELAJAR, DENGAN DESAIN ARSITEKTURAL

Oleh: Yunus E. Yeimo

Dunia anak adalah dunia yang penuh dengan keunikan. Setiap anak mempunyai keunikan dan pengalaman tersendiri. Dimana ia tinggal? Dengan siapa ia bermain atau belajar? Apa jenis permainan atau perlengkapan belajar yang ia sukai? Apakah ia lebih suku belajar didalam rumah ataukah lebih suka bermain diluar rumah? Ini adalah pertanyaan penting yang kita jawab bersama atas terbentuknya karakter (perilaku) dan perkembangan anak. Ada dua penyebab yang membuat anak malas belajar dalam rumah (desain arsitektural) diantaranya:
Pertama, perancangan konstruksi bangunan rumah (desain arsitektural). Banyak keluarga jarang memperhatiakan (memerdulikan) hal ini. Mereka masih menganggap rumah sebagai “benda mati”. Padahal, rumah pada hakekatnya bukan hanya tempat tinggal belaka, melainkan juga tempat terbinanya kasih-sayang diantara keluarga, tempat dibinanya anak-anak menjadi manusia, tempat berkembangnya generasi muda harapan masa depan bangsa. Oleh sebab itu, sesuai fungsinya, orang tua harus mampu menjamin seluruh penghuni agar betah di rumah, terutama anak-anak.

Itulah sebabnya, konstruksi-desain-tata-ruang-dan corak warna dalam suatu rumah perlu diperhatikan dengan seksama. Rancangan rumah secara tak langsung mempengaruhi jiwa penghuninya. Bahkan, kalau memungkinkan, sangat baik bila disediakan pula ruang belajar khusus anak, yang ditata sedemikian rupa (mulai dari penataan kamar, ornamen, bentuk, warna dan perlengkapan lainya) agar si anak bisa betah bertahan belajar di rumahnya atau diruangnya sendiri.
Ruang belajar itu tak perlu mewah, dalam arti luas serta diisi perabot yang mewah. Cukup sederhana saja. Secara psikologis ini akan membuat anak terbiasa dengan kesederhanaan hidup. Letaknya tentu tidak boleh sembarangan. Usahakan, sedapat mungkin. Hindarilah kondisi fisik yang gelap, pengap, dan tidak menyegarkan, serta jangan terlampau dekat dengan kamar atau pun tempat tidur.
Ruang belajar ini dapat bermacam-macam ragamnya, tergantung kondisi keluarga yang bersangkutan. Bagi yang mampu, barangkali baik jika disediakan kamar khusus tempat belajar. Di tempat ini anak diberi keleluasaan untuk berkreasi dan mengembangkan potensi diri. Berilah mereka hak otonomi penuh atas ruangan itu, tak seorang pun dapat turut campur mengaturnya. Orang tua hanya mengarahkan, membimbing, serta mengontrol saja. Hal ini akan mendewasakan diri sang anak, karena sejak kecil ia terbiasa bertanggung jawab serta memikul akibat-akibatnya yang terjadi pada saat bermain atau belajr.
Di samping itu, dibuat ukuran ruangan besar, dengan masing-masing anak memiliki otonomi atas meja belajarnya sendiri. Barangkali seperti suasana kantorlah, cuma harus dijaga juga ketentraman belajarnya. Selain itu, bisa juga meja belajar dipakai bersama, termasuk kedua orang tua. Di sini peran ayah ataupun ibu sangat  menentukan.
Kedua, tata perangkat lunaknya, yakni perangkat-perangkat pengisi yang memperlancar proses belajar. Misalnya, pengaturan cahaya lampu atau sinar matahari. Sekalipun tampaknya memang kurang berarti, namun kenyataannya hal itu sangat berpengaruh. Hal ini dapat kita mengerti dari fakta yang dapat kita jumpai setiap hari. Buku-buku misalnya, kebanyakan warna dasar kertasnya putih, yang cenderung kuat memantulkan cahaya. Karena mata harus bekerja keras untuk mengimbangi energi kuat yang dipantulkan dari kertas putih tersebut. Tentu anak tak akan tahan belajar lama-lama. Begitu pula sebaliknya. Cahaya lampu yang terlalu lemah akan menyebabkan mata lelah dan cepat berair, kepala lekas pusing dan tegang, lalu akhirnya timbul rasa malas belajar. Cahaya lampu perlu diatur sedemikian rupa agar mata bisa bekerja normal, tak berkontraksi atau pun menegang. Bagaimana pun juga hal ini sangat penting, paling tidak salah satu faktor telah dapat kita kendalikan.
Perangkat lunak lainnya misalnya kedisiplinan, ketertiban, dan suasana kasih sayang. Yang dimaksud disiplin di sini bukan berarti otoriter dan bersikap keras terhadap anak-anak. Karena sikap seperti itu hanya akan menyebabkan si anak selalu merasa rendah diri, senantiasa salah dalam melakukan apa saja, dan sebagainya. Padahal, potensi kreatif anak hanya bisa tumbuh dalam suasana kebebasan yang terarah, bukan otoriter yang dipaksakan.
Begitu pula ketertiban, yang termasuk di dalamnya kebersihan dan keindahan. Pendek kata keharmonisan. Lingkungan rumah yang nyaman, senantiasa bersih, dan rapi pasti akan menimbulkan hasrat “menyenangkan”. Si anak akan betah berlama-lama di rumah. Siapa yang tidak senang berada dalam lingkungan yang selalu bersih dan menyenangkan?
Namun demikian, semua itu tidak berarti sama sekali jika suasana di dalamnya serba menakutkan, serba hitam. Sementara anak-anak lebih menyukai, warna-warna terang (aneka warna terang). Rumah, bagaimanapun jeleknya, tetap bukan pabrik tempat “memproduksi” manusia-manusia dan setelah itu dibiarkan begitu saja. Rumah juga bukan sekadar tempat pengistirahatan.
Pada dasarnya, anak-anak tidak mau belajar bukan karena dia malas. Kemalasan hanyalah akibat kekeliruan orangtua dalam merancang rumah. Intinya sebelum membangun (mendirikan rumah) faktor-faktor yang disebutkan diatas sangat penting menjadi pertimbangan utama agar si anak betah belajar dan bermain di dalam rumah.

Sumber: Majalah Selangkah/ Edisi: Januari-Maret 2008


0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com