Custom Search

24 Desember, 2008

Menata Permukiman Tradisional, Pola Baru Transmigrasi di Papua


KEPALA Dinas Permukiman dan Kependudukan Ir Mackbon mengatakan, Dinas Permukiman dan Kependudukan adalah dinas yang sangat strategis dalam menata dan membangun kawasan tertinggal di Papua. Tetapi, dinas ini perlu mendapat dukungan dari dinas-dinas dan badan lainnya.
Kalau kami bangun perumahan penduduk, maka Dinas Pekerjaan Umum harus mendukung kami termasuk membangun lokasi, jalan menuju permukiman/perumahan, dan pengairan. PLN tidak boleh tinggal diam namun harus bersedia mensuplai listrik. Demikian pula dinas kesehatan dan pendidikan segera membangun kantor pelayanan dan menempatkan tenaga di tempat itu," kata Mackbon.
Mekanisme jaring kerja serumpun tersebut mutlak diperlukan. Keseluruhan stake-holder yang tergabung dalam penataan permukiman tradisional memahami arti pembangunan permukiman tradisional itu.
Empat lembaga yang sangat erat hubungan kerjanya dengan dinas kependudukan dan permukiman adalah Bapedalda, Dinas Pendidikan dan Pengajaran, kesehatan, dan Dinas Tenaga Kerja. Pekerjaan dari empat instansi ini sangat terkait dengan pembangunan pemukiman dan kependudukan di Papua.
Namun, selama ini setiap instansi bekerja sendiri-sendiri, sehingga hasilnya tidak pernah dirasakan masyarakat. Masing-masing instansi membuat program kerja terpisah yang tidak saling terkait.
Satu sasaran proyek kadang-kadang diprogramkan dua atau lebih instansi, namun ini malah tidak pernah tuntas. Misalnya, pembuatan jalan menuju permukiman penduduk, baik dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota memiliki proyek yang sama di lokasi itu.
Hanya saja, sampai hari ini belum ada tindakan konkret dari Pemda setempat untuk mengatasi persoalan ini. Tiap instansi berjalan dengan cara, gaya, tradisi, dan teknik tersendiri.
***
RENCANA teknis satuan permukiman (RTSP) dalam rangka merehabilitasi desa-desa tradisional di Papua sebagai upaya menggantikan program transmigrasi yang dulunya lebih tertuju pada pengerahan penduduk dari luar provinsi Papua. Kegiatan ini melibatkan semua instansi pemerintah terkait.
Sampai dengan 31 Agustus 2001 jumlah pencadangan areal yang telah mendapatkan Surat Keputusan (SK) Gubernur sebanyak 2.100.760 hektar (ha) tersebar di sembilan kabupaten di Papua.
Rinciannya adalah, Kabupaten Jayapura dengan areal yang dicanangkan 201.150 ha dengan delapan RTSP, Manokwari 598.500 ha dengan 13 RTSP, Sorong 214.550 ha dengan enam RTSP, Nabire 135.610 ha dengan sembilan RTSP, Jayawijaya 1.500 ha tetapi belum ada RTSP, Merauke 155.000 ha dengan 10 RTSP, Fakfak 534.100 ha dengan 13 RTSP, Biak Numfor 100 ha dengan 100 RTSP, dan Yapen Waropen 260.250 ha dengan 260.250 RTSP.
Tahun anggaran 2002 dengan dukungan dana APBN, pemda merehabilitasi permukiman penduduk tradisional sebanyak 1.100 keluarga dan dari dana APBD Provinsi sebanyak 1.600 keluarga. Kabupaten Jayapura 250 keluarga, Manokwari 250, Sorong 130, Fakfak 130, Merauke 125, Nabire 225, Yapen Waropen 130, Biak Numfor 135, Kota Jayapura 130, Jayawijaya 30, dan Paniai 40 keluarga.
Namun, menurut Mackbon, program tersebut belum tentu bisa direalisasi dalam tahun 2002 sebab program penataan permukiman tahun 2001 belum selesai. Sekitar 2.400 unit perumahan belum dibangun karena persoalan hak ulayat, kemauan masyarakat yang berbeda-beda, dan kondisi geografis yang sangat sulit dijangkau.
Selain pembangunan perumahan juga ada lahan usaha. Pembagian lahan sesuai pola transmigrasi dengan luas lahan antara dua hektar sampai 2,5 hektar untuk pola usaha tani, tanaman pangan. Luas lahan yang dibagikan adalah dua ha per keluarga terdiri dari lahan pekarangan 0,5 ha, lahan usaha I seluas 0,5 ha, dan lahan usaha II dengan luas satu ha.
Sedangkan untuk pola usaha perkebunan, luas lahan yang dibagikan adalah 2,5 ha per keluarga, terdiri dari lahan pekarangan 0,5 ha dan kebun plasma 2,0 ha.
Setiap keluarga nantinya akan mendapat jatah satu unit bangunan rumah (RSS) tipe 36 dan di setiap UPT dilengkapi dengan fasilitas umum berupa balai desa, dua unit rumah ibadah berupa gereja.
Untuk menghubungkan UPT-UPT dengan kampung-kampung sekitar dan distrik (kecamatan) bahkan Kabupaten maka dibangun jalan poros maupun jalan-jalan penghubung, termasuk jembatan maupun gorong-gorong di sepanjang jalan yang dibangun.
Rasio penempatan yang selama ini telah ditetapkan sebesar 80 persen untuk TPA (transmigrasi penduduk asal) dan 20 persen untuk TPS (transmigrasi penduduk setempat). Kegiatan untuk transmigrasi penduduk setempat yakni penyuluhan, pendaftaran, seleksi, dan penempatan.
Proses distribusi penduduk lokal diawali dengan penyuluhan, pendaftaran, seleksi, dan pengiriman. Rasio penempatan sesuai kebijakan gubernur yakni untuk pola tanaman pangan 60 persen TPS dan 40 persen TPA. Sebelum ditempatkan, mereka perlu dibina. Seluruh calon TPS sebelumnya mengikuti pembinaan, kedudukan pelatih dalam pelatihan sebagai fasilitator.
Metode partisipatif sangat dibutuhkan dalam pembinaan, di mana terjadi komunikasi dua arah, terjadi pertukaran sikap dan pendapat, kebiasaan, pengetahuan, dan pengalaman antara pelatih dengan peserta atau antara peserta. Kegiatan belajar mengajar di luar kelas lebih ditingkatkan.
Dalam menempatkan peserta di lokasi permukiman, infrastruktur harus dibangun lebih awal karena merupakan kebutuhan vital dalam rangka pembangunan daerah. Terutama nantinya untuk mendukung mobilisasi manusia dan barang ke pusat kota.
Sarana fasilitas umum yang harus dibangun adalah kantor unit, gudang, balai desa, gedung ibadah, balai pengobatan, rumah kepala UPT, rumah petugas, dan pembimbing. Setiap pembangunan 100 unit rumah penduduk harus dibangun satu unit rumah ibadah yakni gereja.
Pengerahan calon peserta, lebih diarahkan pada pemberdayaan putra daerah. Bila dimungkinkan adanya TPA maka rationya 70 persen TPA dan 30 persen TPS.
Pola penempatan sesuai dengan desain tata letak, keinginan masyarakat dan tidak harus dipindahkan dari akar budayanya. Diupayakan agar minimal 50 keluarga per kampung untuk mempermudah pembinaan dan pendampingan.
Program penataan rumah penduduk lokal tahun anggaran 2001 sebanyak 1.052 keluarga tersebar di delapan kabupaten. Kabupaten Jayapura sebanyak 150 keluarga, Mimika 50 keluarga, Sorong 100, Manokwari 200, Merauke 200, Yapen Waropen 113, Nabire 100 dan Fakfak sebanyak 139 keluarga.
Dinas Permukiman dan Kependudukan terus melakukan studi identifikasi dan evaluasi terhadap wilayah-wilayah kumuh di semua kabupaten dan kota di Provinsi Papua, dalam rangka pembangunan permukiman sosial di wilayah perkotaan. Melakukan identifikasi, registrasi dan administrasi kependudukan pada semua kabupaten dan kota di Papua.
Mengatasi masalah hak ulayat, menurut Mackbon dilakukan dengan cara penempatan dan pembangunan permukiman sesuai suku-suku sehingga tetap berada di hak ulayat mereka. Dan, selama ini desa-desa tradisional terdiri dari satu atau dua suku. Mereka tidak saling campur aduk antara suku yang satu dengan lainnya, kecuali di dalam kota kabupaten.
Menjadi persoalan, apakah suku yang hanya memiliki hak ulayat di wilayah paling terpencil dan sulit dilalui, pemerintah tetap membangun di lokasi itu. Ini perlu kerja sama antara beberapa suku sehingga mereka dapat menerima keadaan, untuk ditempatkan di lokasi yang dapat dijangkaui kendaraan roda empat.
Pemda tetap harus melakukan studi kelayakan terpadu terhadap wilayah dan kampung penduduk potensial yang akan dilakukan pembangunan permukiman baru, pemugaran, penataan, dan pembinaan penduduk. Studi dan analisis dampak perubahan penduduk.
Perlu diperhatikan pula akurasi data kependudukan, peta penyebaran penduduk, penetapan potensi permukiman kota, kampung, dan transmigrasi. Peningkatan sumber daya manusia melalui pendidikan kependudukan.
Pembinaan penataan penduduk lokal dan UPT yang ada berupa pembinaan bantuan Jadup (jaminan hidup) beras dan nonberas untuk 2.150 keluarga, pemberian paket pertanian untuk 2.150 keluarga, pembinaan sosial budaya, pembinaan sosial ekonomi, pembinaan kelembagaan, dan pemerintahan kampung serta pelatihan keterampilan penduduk setempat.
***
TUGAS yang paling berat adalah bagaimana menjadikan lokasi permukiman yang dikembangkan itu menjadi sentra produksi pertanian seperti lokasi transmigrasi yang ada. Bagaimana sistem ini segera mensuplai kebutuhan hidup seperti sayur mayur, buah-buahan, bumbu masak, dan lain-lain yang dikembangkan di lokasi transmigrasi selama ini, ke pusat kota kabupaten (provinsi).
Agak sulit memaksakan penduduk yang tadinya hidup bergantung dari hasil alam dan berpindah-pindah tempat, kemudian harus memulai menata hidup baru dengan sistem pertanian terpadu dan menetap. Mereka tidak memiliki dasar bertani secara modern dan menghasilkan produk yang memuaskan.
Pemda harus menunggu waktu antara 10-15 tahun kemudian, lokasi permukiman itu dapat menghasilkan produksi pertanian yang dapat dinikmati hasilnya untuk masyarakat Papua. Ini pun perlu pendamping dan bimbingan terusmenerus.
Menurut Kepala Badan Pusat Statistik Papua, Mansur Siradz, sangat sulit merubah mental masyarakat tradisional dalam waktu singkat menjadi petani yang memiliki keterampilan pertanian modern, pengusaha, pedagang, dan menggerakkan ekonomi kerakyatan seperti yang dijalankan para peserta transmigrasi sebelumnya. Kita butuh waktu puluhan tahun dan puluhan generasi baru untuk merubah semua pola dan tradisi hidup masyarakat saat ini.
"Jangan pikir, dengan perbaikan desa-desa tradisional di Papua lalu masyarakat akan maju dengan sendirinya. Rumah yang baik, listrik, transpotrasi, dan pendidikan diperbaiki tetapi kalau mental masyarakat tidak berubah, ya sama saja," katanya.
Rehabilitasi desa tradisional menjadi desa semikota seharusnya diikuti dengan aktivitas masyarakat setempat di bidang perdagangan, transportasi, dan berbagai kegiatan bernilai ekonomis. Ini, tidak mungkin dijalankan penduduk asli dalam waktu singkat.
Mental santai, minum-minuman keras dan mabuk-mabukan, cepat puas dengan apa yang diperoleh, ingin mendapatkan sesuatu secara gampang, masih kuat mengakar di dalam masyarakat Papua.
Karena itu, perlu dipikirkan kehadiran warga pendatang yang sudah lama berdomisili di Papua terutama di dalam kota menuju lokasi itu. Tetapi, kehadiran mereka pun harus diatur sehingga tidak lagi muncul unsur monopoli perekonomian dan pertanian di daerah itu.
Menurut Siradz, pembauran pendatang dengan penduduk asli tidak menimbulkan persoalan kalau diatur dengan perda. Pemda jangan secara tegas menolak kehadiran pendatang. Bagaimana pun, Papua itu bisa maju, salah satunya memang karena andil pendatang. (KOR)


Sumber: Kompas/ Senin, 4 November 2002

seleNGKAPNYA......

22 Desember, 2008

Harga Bahan Bangunan di Manokwari Melonjak Tajam


MANOKWARI, KOMPAS  Berbagai macam bahan bangunan kini semakin tak terjangkau masyarakat di Manokwari, Papua Barat. Pada awal Maret ini harga semen mencapai Rp 65.000 per zak, besi lima milimeter Rp 23.000 per buah, pasir Rp 450.000 per truk, dan gamping/kapur Rp 900.000 per truk. Kondisi ini sangat memberatkan para kontraktor maupun pemilik usaha pembuatan batu tela/batako.
Di toko bahan bangunan Teguh Manokwari, Selasa (11/3),  sejak awal Maret harga semen dari Rp 62.000 menjadi Rp 65.000 per zak. Kenaikan harga juga dialami besi ukuran 12 milimeter yang kini menjadi Rp 77.500 per satuan atau naik Rp 2.500.
Weriyanti, pengawas toko Teguh mengatakan awal Maret menjadi titik kenaikan harga berbagai bahan material. Ia juga menyebutkan cat merek Ariesta ukuran 50 kilogram melonjak dari Rp 95.000 menjadi Rp 105.000 per buah.
Kenaikan harga terpaksa dilakukan karena agen penjual di Surabaya Jawa Timur terlebih dahulu menaikkan harga. ”Awalnya banyak pelanggan yang komplain. Untungnya, jumlah barang yang mereka beli tidak berkurang. Bahkan permintaan semakin tinggi karena cuaca di Manokwari yang mulai jarang hujan,” ujar Weriyanti yang mengaku sehari rata-rata mampu menjual 1.000 zak semen.

Seorang pelanggan yang mengaku sebagai kontraktor bangunan, Ita mengatakan kenaikan material lain yaitu plafon seng. Semula harga Rp 32.000 per lembar, kini menjadi Rp 42.000. Lonjakan tajam lebih dari 100 persen, ia rasakan pada besi ukuran lima milimeter yang naik dari Rp 12.000 per satuan menjadi Rp 26.000. Wanita setengah baya ini bingung lantaran harga proyek telanjur memakai harga lama dan kenaikan tidak sesuai dengan perkiraan.
Pemilik usaha pembuatan batu tela/batako, Simon Sampe (75) mengatakan lonjakan harga sangat dirasakan karena tiap hari usahanya membutuhkan berbagai bahan bangunan. Ia mengatakan harga pasir mencapai Rp 450.000 per truk bahkan Rp 450.000 dari harga semula Rp 400.000.
Material batu kapur dibeli Rp 900.000 per truk dari harga semula Rp 850.000. ”Kemarin saya diberitahu katanya harga batu kapur mau naik lagi jadi Rp 1,1 juta. Bah, bagaimana kita bisa kerja kalau harga-harga mahal macam begini,” ujar pria asal Tana Toraja ini. Kenaikan harga material ini berimbas pada kenaikan harga batu batako yang kini dijual Rp 2.000 per buah. Padahal, pada Februari masih dijual Rp 1.850 per buah. ICH

Sumber: Kompas/ http://elshamnewsservice.wordpress.com/2008/03/12


seleNGKAPNYA......

MEMBANGUN “BANGUNAN” DI PAPUA; BERSAMA ”KULI BANGUNAN LOKAL”....MUNGKINKAH? Catatan untuk para pengusaha jasa konstruksi


Oleh: Yunus E. Yeimo*)

Sejak jaman dulu orang Papua, tahu membangun rumah (arsitektur tradisional). Hasil karya itu adalah setiap suku di Papua telah memiliki rumah adat masing-masing. Yang membedakan itu, bukan karena beda suku, tetapi beda bentuk “arsitekturnya”. Mengapa keterampilan ini kita (generasi muda Papua) tidak dikembangkan? Mengapa hampir semua proyek fisik di Papua, “harus” (selalu) di tangani oleh orang luar Papua? Sebenarnya kita (orang Papua) “bangga” punya heterogenitas “arsitektur tradisional” dengan bentuk dan ciri khas yang berbeda. Lebih jauh dari itu, arsitektur tradisional adalah hasil pengujian (penelitian) alamiah yang dilakukan oleh nenek moyang, (leluhur orang Papua).
Pembangunan model apapun yang direncanakan (programkan) oleh pemerintah, pada setiap tahun terutama pembangunan fisik ada ditangan “kuli bangunan”. Tanpa kuli bangunan, semua program pemerintah tidak akan terwujud. Untuk itu, pada saat ini kuli bangunan sebenarnya “bangga” karena sebuah kota atau pun bangunan bertingkat rendah sampai bertingkat tinggi merupakan buah karya (tangan) mereka. Walaupun dibalik itu ada pihak lain, seperti pemerintah, arsitek, kontraktor, perencana kota dan wilayah. Lebih jauh lagi bahwa, untuk membangun sumber daya manusia orang Papua di bidang pendidikan non formal terutama tenaga profesional di bidang pembangunan fisik, perlu bermula dari “kuli banguanan”. Pekerjaan (sebagai pekerja-kuli bangunan) membutuhkan keterampilan dasar (basic skill). Sehingga perlu ada lembaga pelatihan keterampilan (LPK), yang membidangi pertukangan (kayu, batu, besi, dan lain-lain).

Bentuk dan bahan bangunan baru belum tentu menjawab kebutuhan masyarakat (kenyaman, keamanan) dalam rumah atau kota sekali pun. Mengapa? Karena pengujian alamiah yang dilakukan oleh leluhur kita memakan waktu yang sangat panjang. Mulai dari pengujian bahan bangunan, pola kampung, iklim di sekitar rumah, panas atau dingin. Rumah yang kita lihat saat ini kesimpulan daripada riset yang mereka (leluhur orang Papua) lakukan itu. Menurut hemat saya, tidak salah bila kita (pemerintah daerah), memberikan penghargaan kepada “orangtua” yang umurnya mencapai stengah abad (50 tahun) “jika ada saat ini”. Karena, merekalah pelestari (sumber informan) budaya dan keterampilan membangun rumah. Tetapi, sebaiknya bukan hanya rumah, tetapi dari semua unsur budaya yang ada di Papua.

Mengapa harus “kuli bangunan” lokal?
Membangun Papua, terutama pembangunan fisik, harus bermula dari “kuli bangunan lokal”. Mengapa? Karena berdayakan kuli bangunan lokal, berarti mensejahterakan rakyat Papua. Dengan demikian, kita (pemeritnah) untung, masyarakat (kuli bangunan lokal) untung. Sehingga uang (APBD) yang dikeluarkan itu tidak “lari” ke kantong-kantong pendatang. Kuli bangunan lokal, tidak pernah membutuhkan alat-alat (pertukangan) yang modern. layaknya kuli bangunan pendatang.
Orang Papua, mengapa tidak ingin “jadi” kuli bangunan? Mengapa pemerintah daerah tidak “buka mata” untuk melihat mereka (kuli bangunan lokal). Sebenarnya, pemerintah “bangga” memiliki “kuli bangunan. Mengapa? Karena pembangunan akan nampak (terwujud) atas kerja keras mereka. Begitu juga sebaliknya (kuli bangunan) harus “bangga” karena maju dan tidaknya sebuah kota ada di tangan anda (kuli bangunan). Tetapi, sebuah pertanyaan penting yang layak kita ajukan bersama adalah mengapa kuli bangunan lokal (orang Papua) tidak pernah nampak? Ataukah kurang fasilitas (peralatan pertukangan) untuk jadi kuli bangunan? Menurut hemat saya, kuli bangunan lokal jauh lebih memahami (pintar) dari pada kuli bangunan pendatang. Karena, mereka (kuli bangunan lokal), sejak nenek moyang mereka menetap mereka mengerti tentang iklim setempat, teknologi tradisional, bahan bangunan dan bentuk yang cocok dengan perilku kehidupan manusia Papua dan lingkungan setempat.
Untuk itu, membangun ‘bangunan” di Papua, bersama “kuli bangunan lokal” adalah salah satu pekerjaan rumah (PR) bagi kita semua. Yang mungkin sampai saai ini masih belum di jawab. Karena orang Papua, saat ini tidak tahu, atau malas tahu untuk mendengar kata “kuli bangunan” karena menggangap perkerjaan yang menjihjihkan. Memang benar, jadi kuli bangunan berarti menjemur badan di panas terik matahari, taruhan nyawa, dan masih banyak resiko yang lain. Apalagi orang Papua, jika telah menyandang gelar sarjana, (entah sarjana benar/ bayaran) tidak mau ketinggalan dengan mengejar gelar yang lebih tinggi yaitu “gengsi”. Sementara, kalau kita belajar dari orang lain (orang Jawa), sarjana D3, S1 lulusan perguruan tinggi terkenal bekerja sebagai penjaga toko (mall), penjahit sepatu, penarik becak, dan lain-lain.
Keuntungan sebagai pekerja “kuli bangunan” adalah anda bisa memborong (mencari pekerjaan) sendiri, atau melamar di sebuah perusahan “jasa konstruksi”. Mengapa, karena pekerjaan kuli bangunan, adalah pekerjaan sepanjang tahun. Dan tidak akan habis lahan pekerjaannya. Setiap tahun kira-kira dana APBD 30% adalah untuk pembangunan fisik. Itu berarti anda (kuli bangunan) tidak akan kehilangan pekerjaan. Belum lagi pekerjaan membangun (mendirikan) rumah tinggal. Yang dibangun dengan cara tradisional (mencari tukang/ pemborong sendiri oleh pemilki proyek) yang dianggap berpengalaman dalam mengerjakan pekerjaan membangun rumah.
Masyarakat Papua yang dulunya, telah ada sistim pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Saat ini, laki-laki orang Papua berada di persimpangan jalan “kebingungan” (baca: Widarmi 2007). Karena, banyak laki-laki perkotaan (pemuda-kota) menghabiskan waktu mereka dilorong-lorong kios, terminal dan toko milik pendatang, sebagi penontong. Selain itu, banyak bapak-bapak (dipegunungan-pedalaman) menghabiskan waktu mereka di balai desa. Lebih jauh dari itu, laki-laki (orang Papua) telah kehilangan identitas diri sebagai seorang laki-laki untuk menghidupi keluarganya. Karena, semua kebutuhan keluarga dipenuhi oleh ibu (mama). Mengapa laki-laki Papua bisa berubah (akulturasi) semacam ini? Untuk mengatasi hal ini, tugas siapa? Menurut hemat saya, berdayakan, laki-laki (orang Papua) dari persimpangan “kebingungan” melaui “membangun kuli bangunan” adalah salah satu solusi yang tepat. Karena orang Papua tahu membangunan bangunan rumah tinggal, tetapi kurang pemberdayakan mereka sebagai (kuli bangunan lokal).

Menghargai otak (dimi) dan tangan (gane) leluhur
Membangun “bangunan” di Papua bersama “kuli bangunan lokal” berarti menghargai otak (Dimi:Mee) dan tangan (Gane:Mee) leluhur. Dalam kehidupan masyarakat Mee menyebut “utoma agiyo kouko Mee ka gane duba keiya topai” (artinya; segala sesuatu “kekeyaan” yang diperoleh manusia bersumber dari tangan). Itu berarti bahwa jika tangan manusia bergerak dan untuk melakukan suatu perbuatan (pekerjaan) pasti ada hasil. Gane ka gota, (atas perbuatan tangan). Semua pekerjaan yang dilakukan oleh manusia, entah perbutan yang baik atau perbuatan yang buruk, semua itu merupakan atas perbuatan tangan. Sebelum tangan melakukan (ekowai:Mee), jangan lupa proses pertama yang harus kita lalui yaitu “dimi gai” (berpikir) dengan otak.
Makna-makna filosofis telah terkandung dalam setiap suku di Papua. Makna filosofis Suku Mee yang telah disebutkan diatas adalah hanya salah satu contoh. Orang Mee melihat bahwa segala sesuatu itu ada didalam tangan manusia. Sehingga tangan manusai harus bekerja (melakukan) sesuai tugas dan tanggungjawab masing-masing. Bukan hanya suku Mee, setiap suku yang ada di Papua mempunyai makna filosofis yang berbeda. Dalam menata lingkungan dan menatap masa depan. Rumah adat (arsitektur tradisional) dibangun atas kesepakatan semua pihak (lingkungan alam, manusia, alam mistic dan ugatame; pencipta). Mengapa? Karena, keempat unsur ini adalah dasar dan pedoman hidup manusia yang tidak dapat dipisahkan. Walaupun manusia mengelola, alam tetapi ia harus meminta kesepakatan dengan unsur yang lain. Tidak boleh salah satu unsur dirugikan atau diuntungkan.
Semua otak (dimi) dan tangan (gane) dari unsur yang terkait harus membuat kesepakatan kemudian mendirikan rumah. Mulai dari pemilihan lokasi untuk mendirikan bangnunan sampai pada tahap menghuni dalam rumah itu. Jangan salah berpikir bahwa alam itu, tidak punya dimi (otak) dan gane (tangan). Buktinya, banyak terjadi gempa bumi dimana-mana. Tanah lonsor sampai memakan korban jiwa. Ombak dan angin mengungcang rumah-rumah di sekitar pantai dan pohon-pohon tumbang, memakan korban jiwa. Ini adalah akibat (ulah) manusia. Karena menganggap memiliki “akal budi”. Sementara, alam dan alam yang lain merasa tidak punya kekuatan apa-apa. Untuk itulah, diperlukan pelestarian alam dan lingkungan secara kearifan lokal. Serta, menghargai dimi dan gane dari alam yang terkait.
Otak (dimi) leluhur orang Papua benar-benar telah memahami “otak yang lain” (lingkungan alam, iklim, panas sinar matahari, angin, hujan, dan lain-lain). Selain itu, leluhur kita (orang Papua), tahu benar tentang kapan, dimana, dengan siapa, bagaimana “otak” dan “tangan” alam yang lain itu bertindak. Entah bertindak (perbuatan) baik atau jahat. Untuk memahami semua itu, leluhur kita (orang Papua), membutuhkan waktu yang sangat panjang (ratusan bahkan jutaan tahun). Bukan hanya di Papua. Manusia di dunia ini, menghadapi masalah yang sangat “global”. Pemanasan global, yang sedang dibicarakan saat ini, adalah awal kemarahan, yang dilakukan oleh alam. Karena manusia, merasa diri lebih “pintar” dari pada alam yang lain.
Untuk itu, membangun “bangunan” di Papua bersama “kuli bangunan lokal” adalah keputusan (kebijakan) yang cocok. Mengapa? Karena mereka (orang Papua asli) tidak perlu membutuhkan waktu untuk mempelajari keadaan lingkungan sekitar (terutama mempelajari otak dan tangan alam). Tidak seperti “kuli bangunan” orang pendatang. Dimana meraka dituntut untuk mempelajari “otak” dan “tangan” alam Papua. Karena, otak alam Papua tidak sama dengan otak alam di daerah Indonesia lainnya. Mengapa? Karena banyak data (buku) yang bisa dapat untuk mempelajari tentang alam di daerah lain di Indonesia. Tetapi alam Papua, selain kurangnya data (buku) tentang itu, alam Papua sangat misterius, sehingga membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk mempelajarinya.

Membangun SDM Profesional orang Papua
Membangun kuli bangunan lokal, berarti membangun sumber daya manusia profesional orang Papua. Mengapa? Karena, membangun rumah berarti membangun kehidupan. Setiap orang perlu merencanakan kehidupan masa depan bermula dari membangun rumah sebagai sebuah infestasi masa depan bagi keluarganya. Terutama anak cucu mereka. Rumah menjadi harta waris yang sangat berharga. Untuk itu, membangun rumah berciri khas Papua, membutuhkan tenaga dan manusia berkarakter Papua yang memiliki keterampilan dan kealihan dan “pertukangan” sebagai kuli yang profesional. Mengapa? Karena rumah adalah jati diri dan identas pribadi pemilik. Untuk itu, dalam membangun rumah sebagai infestasi masa depan, persoalan-persoalan yang sering terjadi perlu menjadi perhatian ”khusus”. Misalnya, pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB), persoalan tanah dimana rumah itu akan dibangun (sertifikat tanah), bencana alam (gempa bumi), kesediaan bahan bangunan (material yang akan dipakai), kemampuan finansial atau rencana anggaran biaya (RAB), dan yang tidak kalah penting adalah tukang atau ”kuli bangunan” yang akan dibangun atau mengerjakan rumah itu. Mengapa? Persoalan kuli bangunan menjadi maslah utama saat ini di Papua? Karena orang Papua telah mengidap budaya malas kerja, dan menggangap “kuli bangunan” adalah suatu pekerjaan memalukan. Yang pada gilirannya banyak orang Papua tidak mau jadi kuli bangunan.
Merencanakan rumah tahan gempa adalah upaya menata masa depan, dan menyelamatkan harta waris bagi anak cucu. Untuk itu, sebelum mendirikan rumah, faktor-faktor yang disebutkan diatas adalah hal-hal yang perlu dipikirkan. Selain itu, penataan ruang (kamar-kamar), perlu disesuaikan dengan penghuni (orang yang tinggal dalam kamar itu), agar beta tinggal di rumah (kamar). Misalnya, kamar tidur anak, memberi berbagai warna, dan dilengkapi dengan mainan dalam kamar tersebut. Hal ini membantu ”mengatasi” anak balas belajar dan bermain dengan teman sebaya di lingkungan sekitar rumah itu berada.
Mengurangi dan membayar biaya listrik secara hemat, dilakukan dengan cara memanfaatkan pencahaayaan alami (siang hari/ pencahayaan matahari). Banyak rumah-rumah (orang Papua) lebih banyak yang menggunakan batu batako dengan pelesteren dinding dan memberi jendela apa adanya. Tanpa memikirkan kenyamanan, dan kesehatan dalam rumah. Terutama dalam pemanfaatan pencahayaan alami. Dengan kita memberi banyak bukaan (jendela) yang menghadap ke timur atau barat, akan memberikan kenyamanan dalam rumah. Ukuran jendela disesuaikan dengan besar kamar yang akan menerangi. Dengan memanfaatkan pencahayaan alami ini, maka kita sudah dapat “mengatasi” (mengurangi) dan menghemat biaya listrik.
Banyak rumah di Papua, lebih cenderung menggunakan pencahayaan buatan (listrik) pada siang hari. Sehingga, ini akan berdampak pada pemborosan, dan pembengkakan biaya pembayaran listrik (rekening tagihan listrik). Lebih jauh dari itu, selalu terjadi pemutusan listrik secara bergiliran. Di Paniai pada bulan Maret 2008, hampir satu minggu mati listrik (kehabisan solar). Mengapa? Karena banyak rumah yang ada jaringan listrik memasan listrik pada siang hari. Sementara, di Paniai adalah kondisi alam yang sangat baik untuk memasukan pencahayaan alami dan penghwaan alami (angin). Pencahayaan alami (siang hari) itu gratis (tanpa bayar) tidak seperti pencahaayaan buatan. Sehingga, kita dapat memanfaatkan dengan desain arsitektural dalam merancang bangunan rumah tinggal atau pun bangunan jenis lainnya (misalnya, kantor-kantor pemeritnah dan swasta).
Tanah Papua adalah tanah yang kaya (dipenuhi) dengan hutan rimba, dengan beragam jenis pohon. Satu pertanyaan yang layak diajukan bagi orang Papua adalah mengapa orang Papua lebih sering atau “suka” menggunakan batu/ batako dengan dinding masif (tertutup). Apakah itu yang disebut dengan bangunan modern? Mengapa kita (orang Papua) tidak mau atau malas tahu dengan hutan kita? Sementara, orang China (insfestor asing) berusaha mati-matian untuk mendapat kayu-kayu itu, dengan berbagai cara. Belum terlambat karena hutan kita masih banyak, yang kita bisa manfaat untuk segala keperluan, terumata dalam penggunaan bahan bangunan (rumah). Lalu pertanyaan lainnya adalah apakah sumber daya manusia sudah siap untuk mengelola hutan itu? Karena orang Papua tidak ada orang yang “mau” jadi kuli bangunan (tukang kayu).

Menghargai bentuk ciri khas Papua
Setelah kita mengatur manusia dan lingkungan sekitar, langkah selanjutnya adalah membentuk arsitektur berciri khas Papua. Setiap suku bangsa di dunia memiliki arsitektur dengan bentuk dan ciri khas masing-masing. Bentuk-bentuk yang berbeda ini di dipengaruhi oleh kondisi lingkungan setempat (sosial budaya, geografis, ikllim dan lain sebagainya). Sehingga rumah (arsitektur) yang mereka (leluhur) hadirkan juga sesuai dengan kondisi lingkungan ini. Untuk itu, dalam membangun dan membentuk arsitektur Papua, tidak perlu mengadopsi bentuk-bentuk dari daerah lain (luar Papua). Seringkali manusia Papua saat ini menggangap bentuk-bentuk rumah baru “moderen” itu yang terbaik, aman, nyaman. Tetapi, satu kekawatiran (bagi saya) adalah manusia Papua sedang kehilangan bentuk dan ciri khas arsitekturnya. Hal ini, diperparah dengan belum adanya upaya pendokumentasian oleh semua pihak terkait (pemerintah, masyakarat, LSM). Lebih jauh dari itu adalah mahasiswa asal Papua yang kuliah di jurusan teknik arsitektur, tidak pernah berpikir tentang hal ini.
Satu pekerjaan rumah (PR) yang sampai saat ini kita (orang Papua) belum jawab adalah kurangnya kesadaran diri untuk menghargai (terima dengan apa adanya) terhadap hasil karya nenek moyang kita (arsitektur tradisional Papua). Selain itu, setiap suku yang ada di Papua mempunyai bentuk dan ciri kahs arsitektur yang beragam. Sehinga ini adalah kekayaan orang Papua yang perlu di jaga dan dilestarikan (bukan sama sekali bentuk tradisional secara menyeluruh). Tetapi, yang perlu dipertahankan disini adalah bentuknya. Karena kita tidak dapat dipungkiri bahwa, perkembagnan jaman menutut perubahan segala aspek kehidupan manusia (termasuk didalam adalah perubahan bentuk/ atau justru kehilangan bentuk arsitektur).
Perkembangan tekonologi informasi, membawa dampak positif dan negatif. Dampak positif yang dimaksud disini adalah dengan hadirnya berbagai software (AutoCAD, 3D max, Sketh-up, map-info, dll). Perangakat lunak berbasis IT ini memudahkan kita (para arsitek, perencana kota dan pengambil kebijakan) untuk tetap menghargai bentuk-bentuk arsitektur tradisional. Dengan tetap menggunakan bahan bangunan yang modern sekalipun. Dengan bantuan software semacam ini. Sementara itu, dampak negatif yang memegaruhi kehilangan arsitektur Papua saat ini adalah anggapan manusia akan suatu bentuk arsitektur ”baru” yang selalu dianggap ”baik dan benar”. Dan lebih jauh dari itu, suatu bentuk ”penjajahan” dan ”hegemoni” negara untuk menghilangkan bentuk-bentuk arsitektur Papua.
Satu hal yang perlu diketahui orang Papua (generasi muda) adalah perlunya, kesadaran diri untuk menghargai dan mencintai hasil karya leluhur. Mengapa? Karena bentuk-bentuk arsitektur tradisional merupakan ”jati diri dan indentitas” bagi yang memilikinya (bangsa Papua). Menurut hemat saya, orang Papua saat ini telah mengidap virus budaya ”ikut ikutan” tanpa memerdulikan (memikirkan atau menanyakan) asal usul bentuk arsitektur yang baru dibangun itu.

*). Adalah Mahasiswa Jurusan Teknik Arsitektur. Penghuni, Asrama Mahasiswa Papua ”Kamasan I”, Yogyakarta.

seleNGKAPNYA......

19 Desember, 2008

MEMBANGUN PERMUKIMAN; MEMBANGUN KEHIDUPAN RAKYAT PAPUA?

catatan refleksi terhadap berbagai proyek pembangunan penyediaan sarana “permukiman rakyat di Papua”,sebagai upaya pemerintah untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat kurang mampu,berdasarkan kearifan lokal (alam, budaya dan masyarakat).

Oleh: Yunus E. Yeimo*)

Rumah merupakan kebutuhan manusia yang prima setelah sandan dan papan terpenuhi. Rumah tradisional pada jaman dulu dibangun untuk melindungi diri dari gangguan binatang buas. Dengan konsep (desain) bangunan atau rumah menaikan lantai (panggung) dibangun diatas danau, misalnya rumah-rumah suku Sentani (Hasselt, 2002:13-14). Rumah-rumah yang dibangun di atas tanah dengan memanfaatkan kondisi alam dan ketersediaan bahan bangunan). Dengan memanfaatkan ranting dan dahan sebagai struktur rangka dan dinding (Boelaars, 1986: 85-86). Semakin tinggi pohon yang dipilih sebagai struktur utama dan sekaligus berfungsi sebagai pondasi bangunan, maka semakin terjamin pula tingkat keamanannya. Bahkan menebang pohon-pohon disekitar rumah agar memandang lingkungan sekitar dengan jelas. Bomneri laki-laki Arfak mendirikan rumah dengan pertimbanagan “utama” pada keamanan lingkungan sekitar (Hasselt, 2002:47-49). Sehingga dalam rumah-rumah inilah leluhur kita (orang Papua) melakukan segala aktivitas kehidupan mereka.
Mengapa untuk membangun kehidupan orang Papua harus “bermula” dari membangun rumah (permukiman)? Bukan berarti orang Papua itu tidur di bawah jembatan (seperti sebagian masyarakat kurang mampu secara ekonomi di Jakarta). Justru orang Papua memiliki beragam jenis bentuk arsitektur tradisional yang disesuaikan dengan alam dan manusia dari 312 suku yang ada di Papua (Kompas, 31/07/2002). Tetapi, kini keunikan rumah-rumah itu telah, dan sedang, “menuju kepunahan” karena dianggap, kuno, ketinggalan, primitif, tradisional, kampungan dan sebagainya dan seterusnya.
Membangun rumah berarti mendirikan sebuah patung yang menggambarkan identitas diri manusia (pemilik). Mengapa? Karena, rumah akan berbicara kepada orang lain dengan apa adanya. Dan ia (rumah itu) akan menunjukkan bahwa secara fisik dan psikologi pemilik itu seperti ”ini” dan ”itu”. Dengan membangun rumah, hati pemilik akan merasa tentram. Secara status sosial pemilik akan dinilai atau disebut sebagai orang dewasa (meeibo-Mee) karena telah mendirikan rumah. Membangun rumah berarti mendirikan sebuah patung yang menggambarkan identitas diri manusia (pemilik). Mengapa? Karena, rumah akan berbicara kepada orang lain dengan apa adanya. Dan ia (rumah itu) akan menunjukkan bahwa secara fisik dan psikologi pemilik itu seperti ”ini” dan ”itu”. Dengan membangun rumah, hati pemilik akan merasa tentram. Secara status sosial pemilik akan dinilai atau disebut sebagai orang dewasa (meeibo-Mee) karena telah mendirikan rumah.
Rumah adalah nafas kehidupan, dimana hati pemilik berdiam. Dalam rumah manusia melangsungkan hidup atau menciptakan keturunan. Dengan rumah kita dapat mengetahui, baik secara fasad (tampak) maupun interior (ruang dalam) rumah terlihat status sosial secara ekonomi dan pendidikan pemilik. Penggunaan bahan, dan ukuran (luasan) bangunan menjadi salah satu contoh yang menjelaskan kepada lingkungan sekitar dimana rumah itu dibangun. Selain itu, rumah adalah penjaga dan pelindung setia atas segala isi rumah. Dan sebagai dompet yang paling besar dan dan permanen yang tidak dapat dipindah-pindah.

Membangun “permukiman” berarti mengatur
Romo Mangun (Y.B. Mangunwijaya) adalah salah satu arsitek (ahli bangunan) Indonesia yang paling dikenal oleh masyarakat Yogyakarta, khususnya masyarakat di pinggir kali Code. Dia dikenal dengan konsep tektonikanya. Tektonika adalah pengembangan struktur yang digunakan untuk menghadirkan ruang dan sebagai pengolahan sistem bangunan pada konstruksi yang meningkatkan ekspresi bangunan dengan menggunakan nilai seni (Canagama, 2002). Romo Mangun, bukan hanya membangun arsitekturnya, tetapi lebih pada pembangunan manusia yang hidup dibawah garis kemiskinan.
Selain Romo Mangun, adalah Eko Prawoto seorang arsitek dan pengajar (dosen) yang banyak berhubungan dengan Romo Mangun, sehingga banyak orang menyebut sebagai “murid” nya. Menurut Eko Prawoto, “arsitektur, seharusnya tidak memisahkan diri dari ekosistem. Ia harus menjadi bagian integral dari alam sekitarnya karena rumah bukan entitas otonom. Sedangkan inti dari desain arsitektur ada dua hal, sebagai produk engineering atau juga produk budaya”. Itu tergantung pada paradigmanya. Dan arsitektur kita tidak terlepas dari akar budayanya. Tapi juga bukan berarti hanya sekadar memoles dan mengambil dari masa lalu. Harus ada kompromi, menjadi modern, tapi masih tertancap pada akarnya. Metodenya adalah nilai – nilai lokal yang masih bisa diambil”. (Kompas, 5/11/ 2006).
Konsep yang digunakan oleh Romo Mangun dan Eko Prawoto, merupakan konsep pembangunan (arsitektur dan SDM) berbasis lokalitas budaya dan sosial. Seringkali, pemerintah “mengabaikan” kedua konsep ini. Misalnya, pemerintah menyediakan (membangun) permukiman rakyat, selalu mengutamakan sisi arsitektur (membangun rumahnya saja) sedang sisi membangun kehidupan (penghuni/ sosialnya) diabaikan. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa contoh kasus, seperti di Timika, masyarakat suku Kamoro, meninggalkan rumah (permukiman) yang dibangun oleh pemerintah melalui Depatermen Sosial pada tahun 1988 di dekat sungai Manajerwi namun di landa banjir. Kemudian tahun 1994, atas permintaan pemerintah PT. Freeport Indonesia membangun rumah tinggal “permukiman” bagi orang Nawaripi di lokasi Nawaripi Baru. Pertimbangan pemilihan lokasi ini adalah pada dekatnya akses pasar, lapangnan kerja, dan berbagai sarana kota. Namun upaya memukimkan mereka (orang Nawaripi) ini gagal, karena tidak dipertimbangan latarbelakang budaya masyarakat suku Kamoro sebagai “peramu”. Karena lokasi ini sulit menjangkau tanah leluhur sebagai sumber kehidupan mereka. Lebih ekstrim lagi adalah bahwa sistem kekerabatan sosial (taparu- satu keluarga besar) menjdi tercerai-berai. (Baca: laporan penelitian Yayasan Sejati Jakarta, 1997). Bukti lain adalah di sepanjang jalan ”trans” Nabire-Paniai, banyak permukiman (rumah-rumah) kosong (tidak ada penghuni) (Baca: Majalah Selangkah).
Untuk itu, selain membangun rumah (permukiman rakyat) perlu juga pertimbangkan membangun kehidupan manusia (latarbelakang kebudayaan). Membangun kehidupan, adalah tanggung jawab semua pihak pemerintah, LSM dan masyarakat itu sendiri. pihak LSM menyebut membangun kehidupan masyarakat sebagai ”bina sosial, bina lingkungan dan bina usaha”. Sehingga kita (pemerintah/ para donatur) tidak hanya menyediakan (membangun) rumah tetapi lebih terpenting adalah membangun kehidupam manusia (sosial) menyediakan fasilitas lingkungan (air bersih, pembersihan sungai/ parit, menyediakan fasilitas olahraga,dan lain–lain). Sementara, membangunan usaha adalah menyediakan modal (uang) bagi masyarakat untuk membuka koperasi atau usaha-usaha lain yang lebih cocok (menurut mereka) untuk melakukan usaha itu.
Selain itu, pemekaran kota, dan wilaya dalam sebuah kabupaten adalah penataan ruang wilayah, dan membangun manusia yang ada dalam wilayah itu. Penataan ruang wilayah, bukan sekedar menarik garis “merencanakan” untuk membongkar gunung, menggusur rumah-rumah. Dan lebih jauh dari itu adalah penyerahan tanah secara cuma-cuma (gratis) yang dilakukan oleh masyarakat setempat demi pembangunan. Lalu pertanyaannya adalah apa yang diterima oleh rakyat setelah tanah ulayat mereka diberikan kepada pemerintah atas nama pembangunan? Pembagunan dalam konsep penataan ruang kota adalah penataan tanah dan manusia yang punya tanah. Walaupun ada nasehat yang mengatakan “maki akukai, koyoka kaa ko tetai” (tanah adalah mama, maka, jangan dijual), siapapun orang Papua, yang menjual tanah akan menghadapi masalah (hukum karma) orang Mee.

Membangun rumah berarti mempertahankan ciri khas
Setelah kita mengatur manusia dan lingkungan sekitar, langkah selanjutnya adalah membentuk arsitektur berbasis lokalitas Papua. Setiap suku bangsa di dunia memiliki arsitektur dengan bentuk dan ciri khas masing-masing. Bentuk-bentuk yang berbeda ini di dipengaruhi oleh kondisi lingkungan setempat (sosial budaya, geografis, ikllim dan lain sebagainya). Sehingga rumah (arsitektur) yang mereka (leluhur) hadirkan juga sesuai dengan kondisi lingkungan ini. Untuk itu, dalam membangun dan membentuk arsitektur Papua, tidak perlu “mengadopsi” bentuk-bentuk dari daerah lain (luar Papua).
Seringkali manusia Papua saat ini menggangap bentuk-bentuk rumah baru “moderen” itu yang terbaik, aman, nyaman. Tetapi, dipihak lain (bagi penulis) muncul suatu kekawatiran bahwa manusia Papua sedang kehilangan bentuk dan ciri khas arsitekturnya. Hal ini, diperparah dengan belum adanya upaya pendokumentasian oleh semua pihak terkait (pemerintah, masyakarat, LSM). Lebih jauh dari itu adalah para peminat budaya, terutama mahasiswa asal Papua yang kuliah di jurusan teknik arsitektur, tidak pernah berpikir tentang hal ini.
Menurut hemat saya, satu pekerjaan rumah (PR) yang sampai saat ini kita (orang Papua) belum jawab adalah kurangnya kesadaran diri untuk menghargai (terima dengan apa adanya) terhadap hasil karya nenek moyang kita (arsitektur tradisional Papua). Selain itu, setiap suku yang ada di Papua mempunyai bentuk dan ciri kahs arsitektur yang beragam. Sehinga ini adalah kekayaan orang Papua yang perlu di jaga dan dilestarikan (bukan sama sekali bentuk tradisional secara menyeluruh). Tetapi, yang perlu dipertahankan disini adalah bentuk-ciri kahsnya. Karena kita tidak dapat dipungkiri bahwa, perkembangan jaman menutut perubahan segala aspek kehidupan manusia (termasuk didalam adalah perubahan bentuk/ atau justru kehilangan bentuk arsitektur itu).
Satu hal yang perlu diketahui orang Papua (generasi muda) adalah perlunya, kesadaran diri untuk menghargai dan mencintai hasil karya leluhur. Mengapa? Karena bentuk-bentuk arsitektur tradisional merupakan ”jati diri dan indentitas” bagi yang memilikinya (bangsa Papua). Menurut hemat saya, orang Papua saat ini telah mengidap virus budaya ”ikut ikutan” tanpa memerdulikan (memikirkan atau menanyakan) asal usul bentuk arsitektur yang baru dibangun.

Membangun rumah berarti menghuni
Perumahan pemerintah, permukiman rakyat, serta rumah dinas, yang dibangun dengan miliran rupiah adalah tempat (bangunan) untuk manusia tinggal dan hidup sesuai dengan fungsi bangunan tersebut. Sesuai dengan peraturan pemerintah No.15/2004, menyebutkan bahwa ”Permukiman dan perumahan, selain berfungsi sebagai wadah pengembangan sumber daya manusia juga kawasan yang ditata secara fungsional sebagai kesatuan sosial, ekonomi dan fisik. Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan”. Selain itu, dalam GBHN 1993, pada penjabarannya tertuang pola dasar pembangunan daerah tingkat I dan tingkat II khususnya pembangunan perumahan dan permukiman. “Di arahkan untuk meningkatkan kualitas kehidupan keluarga, masyarakat, serta terciptanya suasana kerukunan hidup keluarga, kesetiakawanan sosial masyarakat”. Tata ruang perumahan dan permukiman dilengkapi dengan prasarana lingkungan, sarana umum dan fasilitas sosial sebagai suatu kesatuan yang utuh, dengan membudidayakan sumber-sumber dana dan daya yang ada, serta pengelolaan lingkungan yang ada digunakan untuk mendukung kelangsungan dan peningkatan mutu kehidupan manusia, Suparno dan Marlina (2006).
Namun, pertanyaanya adalah mengapa banyak perumahan pemerintah, permkiman rakyat, serta rumah dinas, selalu kosong tanpa penghuni? Misalnya, Masyarakat Kamoro Timika, meninggalkan rumah bantuan dari dana 1% PT.Freeport Indonesia (Sejati 1997). Masyarakat di sepanjang jalan ”trans” Nabire-Paniai, meninggalkan permukiman yang dibangun oleh PEMDA Kabupaten Nabire. Kedua contoh ini mewakili hampir semua pembangunan permukiman dan perumahan di Papua yang disebut sebagai “rumah rakyat” kecamatan/ desa, “rumah dinas” (kabupaten) dan ditingkat provinsi disebut “perumnas”. Untuk itu, terbukti bahwa program pembangunan semacam ini masih belum menjawab kebutuhan masyarakat.
Menurut hemat saya, gejala perubahan sosial maupun perubahan bentuk arsitektur yang terjadi pada permukiman, perumahan, rumah dinas dan perumnas (di Papua), ini sangat menarik untuk dikaji lebih mendalam. Hal ini dikarenakan untuk mengetahui faktor-faktor yang terjadi dalam permukiman, perumahan, rumah dinas dan perumnas yang semakin lama semakin berubah bentuk sosial maupun arsitekturalnya. Sehingga disini diperlukan studi kelayakan bagi calon penghuni atau masyarakat mengenai arsitektur dan perilaku manusia Papua sebagai obyek penelitian (sebagai calon penghuni).

Membangun rumah berarti, menata masa depan
Membangun rumah membangun kehidupan adalah tugas setiap orang. Setiap orang perlu merencanakan kehidupan masa depan bermula dari membangun rumah sebagai sebuah infestasi masa depan bagi keluarganya. Terutama anak cucu mereka. Rumah menjadi harta waris yang sangat berharga. Dan rumah sering menjadi sebuah tempat yang menimbulkan masalah. Mengapa? Karena rumah adalah jati diri dan identas pribadi pemilik. Untuk itu, dalam membangun rumah sebagai infestasi masa depan, persoalan-persoalan yang sering terjadi perlu menjadi perhatian ”khusus”. Misalnya, pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB), persoalan tanah dimana rumah itu akan dibangun (sertifikat tanah), bencana alam (gempa bumi), kesediaan bahan bangunan (material yang akan dipakai), kemampuan finansial atau rencana anggaran biaya (RAB), dan yang tidak kalah penting adalah tukang atau ”kuli bangunan” yang akan dibangun atau mengerjakan rumah itu. Mengapa? Persoalan kuli bangunan menjadi maslah utama saat ini di Papua? Karena orang Papua telah mengidap budaya malas kerja, dan menggangap “kuli bangunan” adalah suatu pekerjaan memalukan. Yang pada gilirannya banyak orang Papua tidak mau jadi kuli bangunan (lihat: www.yamewapapua.blogspot.com/kuli bangunan)
Merencanakan rumah tahan gempa adalah upaya menata masa depan, dan menyelamatkan harta waris bagi anak cucu. Untuk itu, sebelum mendirikan rumah, faktor-faktor yang disebutkan diatas adalah hal-hal yang perlu dipikirkan. Selain itu, penataan ruang (kamar-kamar), perlu disesuaikan dengan penghuni (orang yang tinggal dalam kamar itu), agar beta tinggal di rumah (kamar). Misalnya, kamar tidur anak, memberi berbagai warna, dan dilengkapi dengan mainan dalam kamar tersebut. Hal ini membantu ”mengatasi” anak balas belajar dan bermain dengan teman sebaya di lingkungan sekitar.
Mengurangi dan membayar biaya listrik secara hemat, dilakukan dengan cara memanfaatkan pencahaayaan alami (siang hari/ pencahayaan matahari). Banyak rumah-rumah (orang Papua) lebih banyak yang menggunakan batu batako dengan pelesteren dinding dan memberi jendela apa adanya. Tanpa memikirkan kenyamanan, dan kesehatan dalam rumah. Terutama dalam pemanfaatan pencahayaan alami. Dengan kita memberi banyak bukaan (jendela) yang menghadap ke timur atau barat, akan memberikan kenyamanan dalam rumah. Ukuran jendela disesuaikan dengan besar kamar yang akan menerangi. Dengan memanfaatkan pencahayaan alami ini, maka kita sudah dapat “mengatasi” (mengurangi) dan menghemat biaya listrik.
Tanah Papua adalah tanah yang kaya (dipenuhi) dengan hutan rimba, dengan beragam jenis pohon. Satu pertanyaan yang layak diajukan bagi orang Papua adalah mengapa orang Papua lebih sering atau “suka” menggunakan batu/ batako dengan dinding masif (tertutup). Apakah itu yang disebut dengan bangunan modern? Mengapa kita (orang Papua) tidak mau atau malas tahu dengan hutan kita? Sementara, orang China (insfestor asing) berusaha mati-matian untuk mendapat kayu-kayu itu, dengan berbagai cara. Belum terlambat karena hutan kita masih banyak, yang kita bisa manfaat untuk segala keperluan, terumata dalam penggunaan bahan bangunan (rumah). Lalu pertanyaan lainnya adalah apakah sumber daya manusia sudah siap untuk mengelola hutan itu? Karena orang Papua tidak ada orang yang “mau” jadi kuli bangunan (tukang kayu)
Pemanasan global (global warming) adalah salah satu penyebabnya adalah kejahatan arsitektural. Dimana, perancang (arsitek) tanpa memerdulikan apa yang akan terjadi pada bangunan (hasil rancangan) itu akan dibangun. Hutan rimba Papua adalah “paru-paru” bagi dunia untuk mengatasi pemanasan global saat ini. Lebih jauh dari itu, menurut hemat saya orang Papua (terutama pengambil kebijakan pembanguanan) perlu “hati-hati” dalam menerima tawaran-tawan hasil rancangan para arsitek yang tidak memerdulikan budaya “arsitektur tradisioan Papua” sebagai jati diri dan identitas orang Papua dan ramah lingkungan. Mengapa? Karena, kadang banyak arsitek muda (perancang bangunan) mendesain bangunan dengan “konsep” atau “ide” awal yang tidak jelas sebagai acuan desain (suka-suka, asal jadi, semau gue dll).
Banyak perumahan dan permukiman, entah yang dibangun oleh LSM atau pun pemerintah masih belum memikirkan lingkungan sosial, lingkungan hidup, dan lingkungan pembuangan air kotor (limbah). Lebih jauh lagi, bangunan yang dibangun oleh pihak swadaya (bangun sendiri). Mengapa? Karena, membangun rumah dengan swadaya jauh lebih mementingkan diri (egoisme) dari pada lingkugnan sekitar. Tidak memikirkan saluran pembuangan air hujan, saluran pembuangan air kotor (limbah), dan kadang tidak memikirkan WC. Water closed, cukup memanfaatkan air sungai atau rumput di sekitar rumah. Mengapa hal ini terjadi sampai saat ini? Apakah ini sebuah cara hidup yang telah membudaya?
Tidak cukup sampai disini, lebih menarik lagi adalah hampir dipingir kota di Papua sedang berkembang bangunan “liar” milik pendantang untuk menjual barang dagangan. Misalnya, di Enarotali, Desa Aikai, sekitar danau Paniai (pinggir dermaga). Bangunan “liar” semacam ini perlu kita atasi. Karena, berdampak pada lingkungan akan sangat berpotensi untuk kerusakan ekosistem danau Paniai. Selain itu, bangun “liar” semacam ini secara ekonomi mematikan usaha masyarakat lokal. Ini sebagai salah satu contoh kasus dan mungkin hampir seluru Papua terjadi hal semacam ini. Sehingga, program penyediaan permukiman, dan perumahan perlu memikirkan ruang-raung publik, ruang semi publik sebagai pusat interaksi sosial dalam kawasan perubahan atau permukiman atau bahkan satu kampung sekalipun. Selain itu, penyediaan sarana dan prasana (lapagnan sepak bola, bola voli, pasar tradisional dan lain-lain), agar masyarakat dapat mengembangkan bakat yang telah lama mereka miliki.
Banyak rumah tinggal tinggal di Papua tidak pernah memikirkan utulitas bangunan (perlengkapan bangunan). Utilitas bangunan yang perlu di lengkapi adalah penyediaan air bersih, saluran pembuangan air kotor, penangkal petir, penghawaan alami (pemanfaatan angin), pencahayaan alam dan buatan (listrik), perancangan sistim plambing (pipa), pencegahan kebakaran, telepon, transpotasi dalam bangunan.
Utilitas (kelengkapan) dalam bangunan kadang menjadi pertimbangan yang terakhir “bagi bangunan di Papua”. Yang mereka (orang Papua) pikirkan adalah “yang penting rumah jadi”. Mengapa utilitas menjadi satu “kebutuhan” bahkan dikatakan “pelengkap” bangunan? Karena, rumah mewah, dengan desain arsitek yang berpengalaman, rumah tanpa utilitas bangunan tidak akan berfungsi secara maksimal.


Acuan Kepustakaan:
Frick, Henz (1996) Arsitektur dan Lingkungan, Kanisius, Yogyakarta
Hariyono, Paulus, (2007) Sosiologi Kota Untuk Arsitek, Bumi Aksara, Jakarta
Boelars, Jan (1986) Manusia Irian, Dahulu, Sekarang dan Masa Depan; Gramedia, Jakarta
Laurens Joyce Marsella, (2004) Arsitektur dan Perilaku Manusia, Grasindo, Jakarta
Konetjaraningrat, (2002) Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Pemerintah Kabupaten Mimika, (2006) Mimika Dalam 3 Dimensi Waktu, Dahulu, Kini dan Mada Datang, Kantor Bappeda Kabupaten Mimika, Timika.
Suparno Sastram M, Marlina Endy, (2006) Perencanaan dan Pengembangan Perumahan, Sebuah Konsep, Pedoman, dan Strategi Pengembangan Perumahan, Penerbit Andi, Yogyakarta
Sudarman, dkk, (laporan penelitian 1997) Menelusuri Tanah Leluhur Orang Nawaripi; Dilema dan Tantangan Kebudayaan dalam Pembangunan, Yayasan Sejati, Jakarta
Snyder, C. James, Catanese, J. Antony ; Pengantar Arsitektur, Erlangga, Jakarta


*). Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Teknik Arsitektur. Penghuni, Asrama Mahasiswa Papua ”Kamasan I”, Yogyakarta.

seleNGKAPNYA......

ARSITEKTUR TRADISIONAL SUKU TOBATI


Oleh. Abdul Muis

Letak lokasi desa Tobati dan Engros yang dekat dengan pusat Kota Jayapura berpengaruh dalam perkembangan permukimannya. Apa yang dikatakan oleh Rapoport (1997) bahwa kedekatan dengan hal khusus, prasarana dan sarana, iklim mikro dan kondisi topografi akan berpengaruh terhadap pemukiman. Sehingga apa dapat dilihat dari pengaruh lokasi terhadap perkembangan suku Tobati antara lain terkait dengan prasarana dan sarana, pendidikan, perniagaan, hiburan, fasilitas social merupakan hal pokok yang memicu terjadinya perubahan suku Tobati disamping pada perubahan fisik pemukimannya.
Suku Tobati yang bermukim di Pesisir Teluk Yotefa seluas 1675 ha yang termasuk di wilayah kecamatan Jayapura Selatan Kotamadya Jayapura, membangunpemukiman di atas air laut. Salah satu pokok yang dihadapi penduduk asli Papua (Irian Jaya) adalah hal yang menyangkut hubungan antara manusia dengan tempat tinggalnya yang tidak terlepas pula dengan alamnya. Dapat dikatakan rumah atau tempat tinggal tidak terlepas dari alamnya dikarenakan pandangan orang Papua secara umum yang dimaksud dengan rumah adalah alam sekitarnya dimana mereka hidup.
Rumah sebagai kebutuhan dasar manusia, pen’ujudannya ternyata bervariasi meflurut s1apa yang menghuninya, hal ni dikemukakan oleh Maslow sebagai suatu jenjang kebutuhan/hirarki kebutuhan berdasarkan tingkat intensitas dan arti penting dari kebutuhan dasar manusia, yaitu : Psychological needs, Safety or Security needs, and social needs.
Tinjauan tentang adat di sini, lebih mengarah pada perspektif ilmu antropologi yang secara garis besar terdapat dua aliran yang berpolarisasi dalam teori kebudayaan yaitu aliran kognitivisme dan behaviorisme serta di dalamnya teriapat beberapa tinjauan semacam simbolisme, fungsionalisme, strukturalisme dan lainnya.
Seperti yang diukatakan oleh John F.C. Turner dalam bukunya Freedom To Build, bahwa “Rumah adalah bagian yang utuh dari pemukiman, dan bukan hasil fisik sekali jadi semata, melainkan merupakan suatu proses yang terus berkembang dan terkait dengan mobilitas social ekonomi penghuninya dalam suatu kurun waktu. Yang terpenting dari rumah adalah dampak terhadap penghuni, bukan wujud atau standar fisiknya. Selnjutnya dikatakan bahwa interaksi antara rumah dan penghuni adalah apa yang diberikan rumah kepada penghuni serta apa yang dilakukan penghuni tehadap rumahnya”.
Sebagai perangkum berbagai pendapat tentang rumah, Johan mengemukakan konsep rumah total, yakni rumah harus selalu satu, utuh dan imbang antara manusia, rumah dengan alam sekitarnya. Selanjutnya secara tersistem konsep tersebut dijabarkan sebagai berikut :
1.Gagasan, perumahan bukan rumah karena tak dapat berdiri sendiri, saling membutuhkan dan adanya prasarana dan sarana.
2.Fungsi, produktif bukan hanya hunian rumah hanya dipakai sebagai hunian sulit dipertahankan sampai lama eksistensinya.
3.Pendekatan, beragam dimensi dinamis rumah hanya dipengaruhi oleh satu dimensi (teknik), tetapi ada dimensi lain yang sama pentingnya.
4.Wadah, menyatu dengan lingkungan saling tergantung dengan sekitarnya.
5.Kajian, dialog dengan gagasan dan keadaan perumahan dipahami dengan baik bila ada masukan timbale balik dari lapangan.
Sedangkan tinjauan tentang adat di sini, lebih mengarah pada arah perspektif ilmu antropologi yang secara garis besar terdapat dua aliran yang berpolarisasi dalam teori kebudayaan yaitu aliran kognitivisme dan behaviorisme serta didalamnya terdapat beberapa tinjauan semacam simbolisme, funsionalisme, strukturalisme dan lainnya.

Jenis Arsitektur Papua (Suku Tobati)
Pola penataan pemukiman masyarakat Tobati berbentuk linier, yakni rumah-rumah dibangun sejajar dalam formasi dua deret yang saling berhadapan, dimana jembatan yang dibangun diantara dua deret ini merupakan satu kontak pandang dari anggota keluarga yang sedang bersantai di beranda rumahnya. Maksudnya bila ada orang baru, dia akan selalu jadi perhatian bagi orang kampong karena gerak langkahnya yang kaku, belum terbiasa dengan jembatam kayu. Selain itu, jembatan ini merupakan penghubung antara satu rumah dengan rumah lainnya. Pada bagian tengah jembatan dibuat panggung yang lebih luas , didebut “para-para adapt”. Pada bagian ini merupakan tempat musayawarah adat dan pertemuan-pertemuan khusus yang membicarakan kepentingan bersama masyarakat kampung.
Pada awalnya bangunan didirikan dengan konstruksi yang sangat sederhana. Rata-rata atap bangunan adalah pelana. Tata ruang dalam pada bangunan jenis ini telah telihat walaupun sangat sederhana yaitu sebagian besar untuk tidur/istirahat. Sedangkan aktivitas lainnya dilakukan di luar bangunan, atau di teras luar, material yang digunakan diperoleh dari apa yang tersedia di alam sekitarnya.
Dalam perkembangannya masyarakat Tobati mulai mengenal tingkatan/nilai-nilai aktivitas dalam bangunan, sehingga mulailah pembedaan penggunaan bangunan. Kemudian ada bangunan yang hanya untuk rumah tinggal (Sway) dan ada bangunan yang digunakan khusus sebagai tempat pemujaan dan upacara adat inisiasi (Mau/Kariwari) dan juga tempat untuk mencari atau menagkap ikan yang terletak di bawah rumah (Keramba)

1. Rumah Tinggal (Rumah Sway)
Rumah tinggal atau yang biasa disebut dengan rumah Sway merupakan pengembangan dari bentuk bangunan awal, dengan agdanya pembagian ruang (ruang tamu, ruamg makan, ruang tidur). Atapnya pun mengakami perubahan menjadi limas an atau bentuk perisai. Sedangkan bangunan untuk pemujaan berbeda dengan rumah tinggal. Peruangan dalam bangunan ini hanya sart dengan fungsi untuk tempat inisiasi. Atapnya pun berbentik limasan yang disusun tiga. Sedangkan bahan yang digunakan tetap mempertahankan bahan yang ada di sekitarnya.
Tata letak bangunan Rumah Sway adalah di pinggir/di tepi-tepi jalan utama pada pemukiman masyarakat Tobati, dengan orientasi bangunan kea rah jalan utama, sehingga rumah saling berhadap-hadapan.
Tata letak ruang dalam bangunan Rumah Sway terdiri dari:
1.Bilik/kamar tidur
2.Ruang tamu (teras penerima tamu)
3.Dapur (ruang kerja para wanita)
4.Teras belakang

Ada pembagian ruangan menurut pembedaan gender pada pada rumah tinggal di Tobati yaitu :
- Sebelah laut : selalu tempat kaum laki-laki
- Sebelah darat : tempat kaum wanita
Tiap rumah memiliki pembagian kamar-kamar besar dan kamar-kamar kecil selain serambi muka atau teras yang menghadap ke jalan. Serambi depan untuk menerima tamu, dan juga sebagai tempat bekerja kaum laki-laki. Selanjutnya rumah itu terdapat dapur yang merupakan tempat kaum perempuan. Selain itu juga terdapat ruangan yang dipergunakan sebagai kamar mandi fan jamban.

2. Rumah Adat (Rumah Mau)
Rumah adat masyarakat Tobati adalah Rumah Mau yang berfungsi sebagai tempat upacara-upacara adapt ini, berbentuk segi empat atau segi delapan. Bagian utama dari rumah adat ini terdiri dari tiga bagian yaitu kaki, badan dan kepala. Filsafah bangunan/Rumah Mau yang paling menonjol adalah terletak pada berbentuk limasan yang bersusun tiga, bahan atap yang terbuat dari daun sagu serta konstruksi atap yang bertumpu pada tiang utama dalam bangunan. Hirarki untuk ruang Mau hanya terdiri dari satu ruangan yang luas tanpa batas antar ruang.
Fungsinya adalah sebagai tempat untuk :
1.Pesta adat
2.Ruang inisiasi/pendewasaan anak laki-laki
3.Penyimpanan benda-benda pusaka
4.Kandang Ikan Terapung (Keramba)

Keramba (kandang ikan terapung) terbuat dari batangan bamboo, jarring dan tali-temali. Keramba ini biasanya terletak dibawah rumah dengan jarring-jaring mengelilingi tiang-tiang rumah dan ada juga yang membuatnya terpisah. Fungsi dari keramba adalah untuk membudidayakan beberapa jenis ikan seperti ikan Bobara dan Samandar, maksudnya untuk persediaan pada saat tidak musim ikan. Keramba mempunyai fungsi lain sebagai tempat kurungan jenis-jenis ikan kecil yang kemudian akan mengundang predatornya berkeliaran disekeliling kandang. Kesempatan inilah yang digunakan untuk menangkap ikan.

1. Pola Pemukiman, Tata Letak Rumah dan Denah
Pola pemukiman secara umum telah disebutkan di atas, yakni adalah pola linear, hal itu merupakan pertimbangan terhadap tekanan angin, karena terletak di sepanjang pantai. Bentuk linear tadi dibuat tegak lurus dengan arah angin dan gelombang yang ada. Juga selain tanggapan terhadap terhadap iklim, bentuk dua deret dimaksudkan untuk mempermudah pengawasan. Rumah-rumah dibangun sejajar dalam formasi dua deret yang saling berhadapan, dimana jembatan yang dibangun diantara dua deret ini merupakan suatu kontak pandang dari anggota keluarga yang sedang bersantai di beranda rumahnya. Maksudnya, bila ada wang baru, dia akan selalu menjadi perhatian bagi orang kampung karera gerak langkahnya yang kaku, belum terbiasa dengan jembatan kayu. Selain itu, jembatan ini juga merupakan penqhubung antara satu rumah dengan rumah lainnya. Pada bagian tengah jembatan dibuat panggung yang tebih luas, disebut "para­-para adat". Bagian ini merupakan tempat musyawarah adat dan pertemuan-pertemuan khusus yang membicarakan kepentingan bersama masyarakat kampung.
Tata ruang dalam atau denah pada bangunan Rumah Sway terbagi atas bilik, ruang tamu, dapur dan teras belakang. Hampir semua semua kegiatan dilakukan di luar rumah sehingga rumah hanya menjadi tempat peristirahatan, tidak ada kegiatan yang sifatnya penting dilakukan di falam rumah.

2. Identitas Lingkungan
Jika dipandang secara sepintas, memang hamper tidak ada perbedaan antara rumah orang Tobati dengan rumah orang bukan Tobati. Satu hal yang menunjukkan masih adanya gambaran mempengaruhi mereka dalam penyesuaian antara tempat tinggal dengan lingkungannya yang berkaitan erat pula dengan sosio cultural psikologi yang dianut oleh masyarakat suku Tobati seperti mengenai letak dan arah rumahnya membentuk kelompok-kelompok kekerabatan.
Menurut Repoport (1977), bahwa lingkungan terbangun menggambarkan berbagai petunjuk /tanda bagi perilaku penghuninya, karena hal itu dapat dilihat sebagai suatu bentuk komunikasi non verbal. Maka berdasarkan pola kognisi yang dipunyainya (seperti tertulis diatas), masyarakat Tobati mempunyai cara berkomunikasi melalui tatanan permukimannya. Dimana tujuan dasar dari permukimannya adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar, sedangkan kognisi diatas adalah adalah untuk kebutuhan rohani ( keselamatan dan rejeki/kemakmuran).
Lingkungan ( neighbourhood) mereka adalah homogenous sifatnya, ini dikarenakan sesuai dengan kriteria sebagai homogenous neighbourhood, yaitu:
1.Batas-batas wilayah yang luas,merupakan suatu kumpulan dari rumah-rumah dan ruangg-ruang dengan kualitas yang sama.
2.Level dari interaksi social adalah rendah, tetapi kebanyakan dari penghuni menyadari/mengetahui antara satu dengan yang lainnya.
3.Lingkungan keluarga begitu kuat dan familiar, orang-orang hidup dalam rumah yang sama. (exented family)

Bentuk keluarga Tobati ini adalah keluarga inti (nuclear family). Sifat virilokal begitu kuat, dimana dimana biasanya keluarga baru ikut atau menetap atau bertempat tinggal dengan keluarga pihak suami.
Pemilihan lokasi tempat tinggalselain yang disebutkan di atas, pada dasarnya adalah dekat dengan keluarga dari keret masing-masing, ini dimaksudkan dengan kedekatan rumah tinggal dengan anggota keluarga yang lain maka keamanan (safet needs) dan kebersamaan (togetherness) serta solidaritas (solidarity) diantara mereka tetap terjaga.

Teknologi Konstruksi dan Material Bangunan

Material Bangunan
Bahan-bahan yang digunakan pada rumah tradisional Papua merupakan bahan-bahan yang sudah tersedia di alam. Masyarakat Papua masih menggunakan rumah sebagai kebutuhan berteduh dan bukan tempat tinggal menetap karena hidup mereka masih nomaden untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Bahan-bahannya antara lain :
* Bambu Kayu
* Jerami/talas sebagai atap
* Pelepah pohon pinang hutan atau nibung
* Pelepah pohon sagu dan daun pohon sagu sebagai atap

Konstruksi
- Pengikat konstruksi berupa tali
- Tidak ada struktur yang terkait secara kuat, semuanya bergantung pada kekuatan tali pengikat
- Tidak membutuhkan pondasi (karena letaknya sebagian rumah terletak di laut (menjorok ke pantai)
- Ada sebagian rumah menggunakan kuda-kuda sebagai penahan atap, dan sebagian lain menggunakan sistem rangka untuk menahan rangka.



Teknologi
Teknologi yang digunakan sangat sederhana dan bisa dibilang masih primitiv karena selain yang bahan-bahannya juga alat yang digunakan masih sangat sederhana. Seperti :
* Untuk mengikat struktur masih menggunakan tali yang bahannya dari bahan alami
* Dikerjakan secara manual dengan tangan tanpa adanya alat bantu yang memadai
* Keluarga mendirikan sendiri rumahnya
* Anyaman digunakan pada pembuatan atap jerami atau atap yang terbuat dari daun-daunan

Cara Pembuatan
Dalam membuat rumah dibantu oleh semua penduduk disekitar dan juga seluruh anggota keluarga. Langkah-langkahnya adalah :
* Membuat kerangka rumah dari kayu atau bamboo yang diikat dengan tali tanpa pondasi-untuk rumah suku tertentu alas rumah ditinggikan sampai lebih dai 1 m atau bahkan diatas pohon.
* Membuat dinding pelepah pohon sagu atau nibung untuk dinding yang kemudian dipasang dengan mengikatkan pelepah atau nibung tersebut pada rangka.
* Membuat atap dengan daunt alas, daun sagu atau jerami dan sejenisnya yang di sambung satu persatu dengan tali kemudian dijepit oleh 2 buah bambu atau kayu menjadi satu deret.
* Setelah terkumpul banyak deret daun untuk atap kemudian dipasang sebagaimana memasang dinding.
* Ada sebagian yang memasang atap langsung tanpa disambung dulu

Aspek Kosmologi
Adat ritual merupakan perwujudan atau symbol dari adat yang berlakudi dalam suatu masyarakat. Sedangkan adat itu sendiri dapat hadir karena tradisi yang telah berlangsung dalam masyarakat tersebut.
Berbicara mengenai pemukiman tradisional tentunya selalu dikaitkan dengan makna yang lebih dalam di balik bentukan yang terjadi. Dari bentuk atap ini dapat menjadi gambaran dari bentuk utuh bangunan yang terdiri dari kaki, badan dan kepala, yang secara keseluruhan berarti menggambarkan hubungan harmonis antara alam raya sebagai makrokosmos dengan pencipta, juga alam raya dengan manusia.
Sejak kedatangan bangsa Eropa khususnya bangsa Belanda, rumah Mau dianggap berhala dan tidak sesuai dengan ajaran Kristen sehingga Rumah Mau dibinasakan, namun yang terlihat saat ini adalah sisa-sisa tiang-tiang yang tertinggal.
Komunikasi menjadi sesuatu yang sangat ditekankan begitu juga privasi, hal itu terlihat dari peruntukan bangunan hanya untuk tempat tinggal, sedangkan upacara pendewasaan anak laki-laki upacara inisiasi sudah tidak ada dengan hilangnya rumah adat Mau.
Masyarakat Tobati terdiri dari beberapa keret yang mengikuti garis keturunan ayah (patrilineal). Namun meskipun demikian, perbedaan keret tidak harus diwujudkan dalam fisik bangunan, hanya yang membedakan adalah ornament-ornamen yang menghiasi bangunan yang umumnya ornament tersebut berupa hiasan dari laut.
Untuk acara yang sifatnya sakral biasanya masyarakat Tobati menempatkan pada tempat yang disebut dengan Para-para adat. Para-para adat menjadi hal yang pokok dikarenakan lenyapnya rumah Mau yang berfungsi sebagai tempat inisiasi anak laki-laki yang merupakan salah satu bentuk kegiatan adat ritual pokok yang telah lenyapseiring masuknya agama Kristen Protestan yang melarang dilakukannya inisiasi serta mengarah pada praktek-praktek homoseksual terhadap anak-anak, serta adanya diskriminasi terhadap pembedaan gender terhadap kaum perempuan. Para-para adapt dianggap sebagai tempat yang disucikan yang dalam arti simbolis saja. Oleh karena itu di dalam hal perawatan, perbaikan, pembongkaran, serta pembangunannya diawali dengan musyawarah adapt yang dipimpin secara langsung oleh Ondoafi.
Tingkatan sosial dalam Kehidupan Suku Tobati yang mana di dalamnya termasuk identitas sosial and status. Masyarakat Tobati terdiri dari beberapa keret yang mengiktrti garis keturunan ayah (patrilineal). Menurut struktur adat, pimpinan masyarakat Tobati, Ondoafi Besar adalah dari keret Hamadi. Namun dalam masing­masing keret terdapat pimpinan keret yang disebut kepala suku. Selain Kepala Suku Besar atau Ondoafi Besar, dalam masyarakat Tobati terdapat keret utama yang antara lain Hamadi dan Ireuw. Keret-keret lain yang dianggap sebagai golongan bawah antara lain Haai, Dawlr, Asa, Hababuk, Injama, Afaar, Mano dan Itar.

Perubahan Fungsi, Makna dan Bentuk Pada Arsitektur Rumah Tradisional Tobati
Perubahan di dafam masyarakat akan mempengaruhi fungsi dan makna dalam arsitektur ternpat tinggal. Akan tetapi cukup sulit untuk menentukan secara tepat faktor penyebab terjadinya perubahan tersebut, karena ditengah-tengah kompleksitas eksistensi niali, norma, pengetahuan dan teknologi baru. Beberapa ahli berpendapat bahwa terjadinya perubatan dalam masyarakat karena tumbuhnya ketidak-puasaan terhadap kondisi budaya tertentu, sebagian masyarakat lagi mengatakan bahwa adanya perkembangan teknologi baru. Kesemuanya ini adalah wajar, maka untuk menghindari pertentangan pendapat ini diambil secara umum saja.
Secara umum, perubahan yang terjadi dalam masyarakat Suku Tobati dapat -,sebabkan oleh :
1.Penemuan baru (inventation)
2.Pertumbuhan penduduk (population)
3.Kebudayaan ( cultural)
Akibat dari hal tersebut yang terjadi saat ini di desa Tobati dan Engros, rumah tradisional banyak yang telah mengalami perubahan dan bahkan hilang, adapun ­perubahan adalah sbb :
1.Rumah dengan bentuk dan material, kcnstruksi yang digunakan asli
2.Rumah dengan bentuk asli, tapi material sebagian hasil industrialisasi, konstruksi asli
3.Rumah dengan bentuk asli, material asli, tapi konstruksi berubah/modern.
4.Rumah dengan bentuk mengalami perubahan, material berubah, konstruksi asli. Rumah dengan bentuk berubah sama sekali, material berubah, konstruksi berubah


Sumber: http//.www.Muisblog.blogspot.com

seleNGKAPNYA......

14 Desember, 2008

Tangisan arsitektur papua; RUANG HAMPA YANG SEDIKIT BERARTI BAGIMU


Oleh: Erina Kora

Tiada waktu yang dapat aku hitung dalam WAKTU kita bersama
Tiada yang pasti...walau kadang berarti, hingga kini!
Tak dapat aku siratkan senyum manisku dalam benakmu

Sejauh kau kukenang, ku harap kau terkenang
Sejauh kurindu, ku harap kau pun merindukanku
Merangkai sejuta rasa, menghadirkan sejuta MAKNA
Memoleskan kesejukan di tengah kegalauan hatiku
Memberikan kepastian di dalam kebimbangan

Kini kubertanya...
Akankah ada pelabuhan hatiku?
Akankah luka yang selama ini membekas di hatiku sembuh?
Akankah engkau yang terakhir di kehidupanku ini?
Memberikan sejuta warna di depan mataku

Aku hanya sesosok RUANG hampa yang mencoba berarti bagimu
Menjadi penerang di setiap gelap hatimu
Menghampirimu di setiap sela-sela kejenuhanmu
Aku ada jika kau bersedih
Dan aku akan BERLALU jika kau tak lagi MEMBUTUHKANKU

Di hatimu...
Di hidupmu...
Di setiap hembusan nafasmu
Serta di setiap detakan jantungmu

Untuk semua yang ada bisakah kau menjaga
Aku tak sanggup jika ku terluka dan sendiri
Aku hanya berusaha kuat di tengah kelemahanku
Biarlah aku ada di HATIMU dan kau di HATIKU
Berusaha sepenuh, sejauh kita sanggup


(Disadur dari Puisi yang ditulis oleh Erina Kora, 2008)

seleNGKAPNYA......

POLITIK ARSITEKTUR DAN RUANG KOTA DI PAPUA; Catatan Untuk Para “Perencana” Kota, dan Bangunan di Papua


Oleh: Yunus E. Yeimo

Pemekaran Provinsi dan Kabupaten di tanah Papua yang sedang giat dilakukan saat ini adalah jawaban atas kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Papua. Namun dipihak lain, pemekaran itu adalah sebuah lahan “subur” untuk “menanam, meninggalkan, membangun” politik penguasa di bidang arsitektur dan ruang-ruang kota di Papua. Baik di tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kecamatan. Dan pemekaran adalah “bukan politik jabatan semata”. Tetapi persoalan mendasar adalah politik arsitektur dan penataan ruang-ruang kota tanpa identitas. Undang-undang no 21 Tahun 2001, tentang otonomi khusus Papua, tidak mengatur tentang bagaimana kota-kota dan bangunan di Papua itu dirancang (ditata). Tetapi, didalam undang-undang itu hanya mengatur bagaimna dana otonomi khusus [triliun rupiah] itu digunakan. Hal ini menandakan bahwa tanah dan manusia Papua, akan kehilangan dan krisis identitas (arsitektur dan ruang kota). Kota-kota dan bangunan hadir tanpa suatu metode dan indetitas yang jelas. Sehingga konsep yang digunakan itupun kaku, keliru berbau akulturasi, politis dan tanpa acuan yang jelas. Dimanapun dan kapanpun hal ini akan terjadi. Pemekaran kota dan wilayah adalah menata ruang kota dan citra bangsa (penguasa). Namun yang menjadi pertanyaan adalah menata bangsa apa? Apa konsep perancagan dalam perencanaan kota dan bangunan? Mengapa harus mengadopsi arsitektur Joglo? Bukankah setiap daerah memiliki kultur (letak geografis) yang berbeda? Karena ia merupakan suatu jawaban atas persoalan politik. Produk yang akan dihasilkan dari konsep perancangan dan perencanaan (arsitektur maupun ruang kota) akan terbentuk seperti orang (desainer) yang akan merenacakan itu. Entah siapa, arsitek, politikus, antropolg, atau pun dengan konsep kearifan lokal. Produk itu adalah ruang kota dan wilayah yang didalamnya hadir berbagai ”ciri” dan ”bentuk arsitektur”. Kota itu akan berbicara dan berdiri sebagai identitas suatu bangsa untuk membedakan "kami" dari "kamu".

Siapapun pemimpin bangsa Papua (Gubernur, DPR, Bupati, Camat) semua itu adalah penggagas, penyalur, dan pewujud atas terjadinya politik arstektur dan ruang kota. Baik putra daerah walau sering mengatakan “tuan diatas tanah sendiri” maupun pendatang akan terbentuk “karaternya penguasa” karena semua itu telah memiliki landasan hukum yang harus dipatahui oleh semua warga negara. Beberapa darinya adalah undang-undang Republik Indonesia No. 18/1999 tentang jasa konstruksi, undang-undang Republik Indonesia No. 28/2002 tentang bangunan gedung, dan Peraturan pemerintah No. 15 / 2004 tentang perusahan Umum (perum) pembangunan nasional (perumnas). Dalam kehidupan (kenyataan bahwa) undang-undang ini tanpa perduli dengan keragaman bangsa (kesukuan), letak geografis, karakter dan perilaku manusia dengan lingkungan sekitar. Kehidupan manusia (Papua) yang ruang geraknya yang telah dibingkai oleh negara (penguasa). Dengan demikian, slogan "demi bangsa" adalah gabungan politis, yang mendorong sejenis pembayangan yang mudah diperdaya oleh penyusun strategis untuk mencapai tujuannya (tinggalkan pesan politik arsitektur dan ruang kota). Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah tanpa gagasan bangsa, arsitektur dan ruang kota di Papua tidak akan bermakna? Mengapa arsitektur dan ruang kota sebagai gagasan bangsa dalam politik penguasa? Apakah manusia Papua tidak memiliki konsep penataan kota dan kampung? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan penting yang perlu kita jawab bersama.

Apa itu arsitektur?
Kebanyakan orang, terutama mahasiswa arsitektur bila ditanya, barangkali akan berkata bahwa arsitektur itu ilmu seni, arsitektur itu ilmu bangunan, arsitektur itu ilmu merancang, arsitektur itu ilmu yang belajar tentang kota, jalan, jembatan dan rumah, bahkan sampai ada yang berpendapat arsitektur itu gabungan dari semua ilmu yang ada. Dan masih banyak pendapat lain tentang definisi arsitektur. Arsitektur adalah “indeks budaya” yang mempunyai “wujud berbeda” pada “masyarakat” yang “berbeda” (A.C. Antoniades),. Sementara itu, J.C. Snyder. Berpendapat arsitektur merupakan tempat “bernaung” dari yang paling “sederhana” hingga yang paling “rumit”. Pernyataaan Snyder secara jelas memberi gambaran dimana arsitektur sebagai bagian dari rumah (sederhana) sampai melihat dan memecahkan persoalan-persoalan di kota (rumit). Arsitektur adalah lingkungan binaan (built environment) yang berfungsi untuk perlindungan dari bahaya dan untuk menampung kegiatan manusia serta sebagai “identitas status sosial”. Arsitektur berkaitan dengan perancangan, yakni suatu konstruksi yang dibuat dengan “sengaja” untuk menggubah lingkungan fisik melalui suatu cara/ sistem penataan tertentu. Arsitektur berkaitan dengan “budaya”, memiliki sistem “lambang”, makna serta skema kognitif. Sedangkan, Edward T White, berpendapat arsitektur merupakan kegiatan merancang, yakni kegiatan mengenali dan merakit unsur bangunan dengan cara-cara tertentu. F.D.K. ChingI menyatakan, arsitektur pada umumnya “dipikirkan” (dirancang) dan “diwujudkan” (dibangun) sebagai tanggapan terhadap sekumpulan kondisi yang kadang-kadang hanya bersifat fungsional semata atau merupakan refleksi sosial, ekonomi, politik, perilaku atau tujuan-tujuan simbolis.
Pendapat F.D.K. Ching, sangat relevan dengan kenyataan yang terjadi di Papua. Dimana arsitektur itu ”dipikirkan” (dirancang) seperti “karakter” penguasa/ perancang. Dirancang dan diwujudkan, dengan pertimbangan tujuan-tujuan tertentu (simbolis). Pendapat Ching bukan merupakan sebuah teori semata. Melainkan telah nyata, dengan dibangunnya, Momumen Pembesan Irian Barat di Makasar. Deretan rumah Honai di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), selain itu, hampir 90% nama-nama jalan kota-kota dan kampung kota di Papua adalah sebutan (nama) pahlawan NKRI (Yos sudarso, Budi Utomo, Kusbini, dan seterusnya dan sebagainya). Pertanyaan penting untuk orang Papua (khususnya mahasiswa arsitektur, planologi dan teknik sipil) adalah apakah orang atau tanah Papua tidak memiliki catatan sejarah penting, atau nama yang unik, yang dapat dijadikan sebagai nama jalan atau gedung?. Tetapi semua itu bukan salah kita (manusia Papua) Mengapa? Karena arsitektur itu dirancang oleh manusia (penguasa), lalu dibangun dengan segala sumber daya (arsitek, uang dan tenaga kerja) dengan satu paket peraturan dan undang-undang. Identitas suatu suku atau bangsa bukan terlihat dari pakaian adat atau lagu daerah. Tetapi arsitektur sangat berperan dalam proses perubahan sosial dan jaman yang pada akhirnya melahirkan anak yang namanya ”krisis identitas” suatu suku bangsa. Arsitektur adalah simbol batas teritori (wilayah) pada daerah kekuasaan oleh suatu suku bangsa/ negara. Arsitektur akan tumbuh dan berkembag, seiring perkembangan jaman. Dan akan berdiri kokoh sepanjang kemampuan dan ketahanan struktur itu masih kuat (dijamin). Dengan demikian jelaslah bahwa arsitektur menggambarkan status sosial dan psikologi orang dalam permukiman atau kampung kota atau bahkan kota sekalipun. Dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa arsitektur itu sebagai “sebuah lanan politik yang subur dan permanen”. Karena, orang tidak pernah membangun rumah untuk sementara waktu. Sekalipun itu bangunan darurat, misalnya, pada saat gempa, longsor, sunami. Namun, yang terjadi di Papua adalah “semau gue” tanpa mengadopsi unsur budaya atau bahan lokal yang bisa dimanfaatkan untuk dibangun sebagai identitas budaya bangsa Papua.

Apa itu ruang kota?
Apa arti istilah “kota”? Kapan sebuah pemukiman boleh dikatakan kota? Apa kriterianya? Darimana dapat diterima standar-standar dasar yang memungkinkan suatu pendekatan terhadap kota, baik pada saat lampau sampai saat ini? Jawaban atas deretan pertanyaan diatas akan tergantung pada sudut pandang seseorang dan bidang ilmunya. Misalnya, seseorang yang berprofesi geografi akan menekankan pada permukaan kota dan lingkungannya. Seorang geolog, akan menekankan pada kota dan tanah dibawah dan bagaimana hubungannya dengan pembangunan. Adapun seorang antropolog, memangdang kota dari budaya dan sejarahnya. Lain halnya dengan seorang politikus yang menekankan pada cara mengurus kota dan bagaimana hubungan antara pihak pemerintah dan swasta. Sementara seorang sosiolog, berfokus pada klasifikasi permukiman kota dari semua aspek sosial. Sedangkan seorang kesehatan akan memperhatikan lingkungan kesehatan permukiman kota. Dan semua disiplin ilmu memiliki pandangan yang berbeda terhadap definisi kota. Dan pada akhirnya seorang arsitek memiliki beberapa sudut pandang dengan memertimbangkan berbagai persoalan yang terkait didalamnya. Dengan memperhatikan hubungan antara ruang dan massa perkotaan serta bentuk dan polanya dan bagaimanakah semua hal itu dapat tercapai. Kemudian muncul pertanyaan; apakah mungkin merumuskan kompleksitas kota dengan memasukkan semua aspek yang terlibat di dalam kota itu? (Markus P Bawole)
Urutan pertanyaan seperti di atas tidak mudah untuk dijawab (mendapat definisi kota yang jelas). Mengapa? Karena istilah “kota” secara arsitektural masih banyak aspek yang perlu diperhatikan dan masing-masing aspek berbeda dari satu daerah dengan daerah lain. Namun, kita mencoba menjawab dari beberapa pendekatan pendapat, mengenai definisi kota itu? Definisi klasik mengatakan bahwa kota adalah suatu permukiman yang relatif besar, padat, dan permanen, terdiri dari kelompok individu-individu yang heterogen dari segi sosial (Amos Rapoport). Kemudian, seiring perkembangan jaman yang disebut moderen (pascamoderen), Amos mengemukakan definisi kota dengan istilah moderen. Ia merumuskan suatu definisi baru yang dapat diterapkan pada daerah permukiman kota dimana saja. “sebuah permukiman dapat dirumuskan sebuah kota bukan dari segi ciri-ciri morfologis tertentu, atau bahkan kumpulan ciri-cirinya, melainkan, dari segi suatu fungsi khusus – yaitu menyusun sebuah wilayah dan menciptakan ruang-ruang yang efektif melalui pengorganisasian sebuah daerah pedalaman yang lebih besar bedasarkan hirarki-hirarki tertentu”.
Kemudian Amos Rapoport mengutip pendapat Joerge E. Hardoy, untuk memperjelas atas definisi kota yang ia kemukakan diatas. Hardoy, menggunakan 10 kriteria secara lebih spesifik untuk merumuskan kota kriteria kota sebagai berikut: 1). Ukuran dan jumlah penduduknya besar terhadap massa dan tempat, 2). Bersifat permanent, 3). Kepadatan minimum terhadap massa dan tempat, 4). Struktur dan tata ruang perkotaan seperti yang ditunjukan oleh jalur jalan dan ruang-ruang perkotaan yang nyata 5). Tempat dimana masyarakat tinggal dan bekerja, 6). Fungsi perkotaan minimum yang diperinci. Meliputi sebuah pasar, sebuah pusat administratif (pemerintahan), pusat militer, pusat keagamaan, pusat aktivitas intelektual, 7). Heterogenitas dan pembedaan yang berdifat hirarkis pada masyarakat, 8). Pusat ekonomi perkotaan yang menghubungkan, sebuah daerah pertanian di tepi kota dan memproses bahan menta untuk pemasaran yang lebih luas, 9). Pusat pelayanan (service) bagi daerah-daearah lingkungan setempat, 10). Pusat penyebaran informasi, memiliki suatu falsafa hidup perkotaan pada massa dan tempat itu. Sementara itu, Max Weber dalam (Pahl,1971:5). Mengemukakan ciri-ciri khas yang ada pada kota, adalah adanya “batas-batas” yang tegas. Mempunyai “pasar”. Ada pengadilan dan mempunyai “peraturan” sendiri (PERDA) disamping undang-undang secara umum. Terdapat perkumpulan dalam masyarakat yang berkaitan dengan kegiatan kota itu sendiri.
Kenyataan bahwa, kota-kota di Papua hidup dan berkembang bagaikan sebuah peluru rudal “tanpa kendali”. Pejabat dan penguasa (pihak berwenang) hanya berpikir dan mengendalikan kunci rudal “dompet rakyat”, yang berisikan hasil jualan pasar tradisional (bukan pasar moderen yang dimaksudkan dalam teori kota diatas). Tanpa memperduli rudal itu akan meledak entah kapan dan dimana. Penataan dan perencanaan kota dan kampung kota ini tidak pernah mendapat perhatian serius. Apa lagi proyek itu dilaksanakan oleh pemimpin (gubernur-bupati-camat) yang sebelumnya berbeda orang (pemimpin). Sehingga diperlukan suatu acuan pembangunan perencanaan kota (master plann city). Konsep yang dipakai dalam menangani kota di Papua saat ini adalah penataan dan perencanaan “bukan perancangan” sehingga banyak kota di Papua arah pengembangan kotanya ”tidak jelas”, ”keliru”, ”mengandung unsur politis”. Mengapa dikatakan harus menggunakan “peracangan” (bukan perencanaan) karena perancangan melibatkan semua pihak dalam proses perencanaan kota sebelum hasil akhir menjadi rencana umum kota (master plan city). Master plan city adalah perencanan dan perancangan kota dengan jangka waktu yang panjang (akan datang). Dampak yang dirakasan akibat perencanaan kota tanpa master pelnn city, seperti sebagian besar masyarakat pigir kota Jakarta terjadi “penggusuran”. Salah siapa? Apakah pemerintah, sebagai pengambil kebijakan “penguasa”? Para perancang seperti arsitek, perencana kota dan wilayah, sebagai pewujud ide dan gagasan penguasa? Ataukah masyarakat itu sendiri? Jawaban kembali pada diri kita masing-masing. Tetapi semua itu berawal dari penguasa. Karena yang meletakan “batu pertama” sebagai tanda untuk membangun atau memulai suatu proyek (pembangunan kota, jalan, jembatan, dan gedung) adalah pemerintah (penguasa).
Salah satu budaya pejabat (penguasa/ pemimpin) Papua, siapapun dia (putra daerah/ pendatang) yang menurut hemat saya perlu ditinggalkan adalah memiliki visi dan misi yang berbeda (pada setiap periode kepemimpinan). Tetapi tujuan semua itu adalah hanya satu masyarakat dan satu tanah air (Papua). Mulai dari tingkat provinsi sampai dengan Desa. Dan leibh jauh dari itu, adalah pada saat pemelihan kepala daerah (PILKADA) itu dilaksanakan. Semua partai politik memiliki paradikma (strategi) yang berbeda. Untuk memenangkan suara pada akar rumput (yang tidak tahu dengan yang namanya pembangunan) dalam PILKADA itu dilaksanakan. Hal itu diperparah dengan, pertarungan elit politik lokal. Yang memiliki beda visi tapi satu tujuan. Hal yang menyangkan adalah jika seseorang kandidat tidak terpilih sebagai Gubernur atau Bupati, maka terjadi konflik horisontal (tidak berjiwa besar) atas proses demokrasi itu. Semua itu boleh terjadi, dan siapa pun boleh memimpin Papua. Tetapi yang terpenting adalah semua unsur (pemerintah, masyarakat adat, akademisi, gereja) yang ada di Papua duduk bersama dan merancang sebuah konsep pembangunan yang berkelanjutan (pada waktu yang akan dantang). Dengan moto, ”Jaman dan pemimpin boleh berganti dan berubah tetapi tujuan pembangunan tetap satu (jelas, terarah, transparan, mempunyai jati diri, berlandaskan pada hukum adat dan agama).

Arsitektur sebagai pesan politik yang permanen
Arsitektur tidak hanya mampu memenuhi hasrat dasar berkegiatan manusia dalam batas ruang yang dihasilkannya, tetapi juga mampu menyampaikan makna apabila para pemakai mampu menafsirkannya. Karya arsitektur dan ruang perkotaan mudah menjadi media penyampaian pesan politis seorang penguasa (penjajah). Sejarah mencatat bahwa kaisar, diktator, dan penguasa mendirikan bangunan dan ruang kota monumental untuk membangkitkan suasana khusus dalam menjaga wibawa, membina semangat, atau bahkan mengancam rakyatnya. Kebiasaan ingin meninggalkan suatu proyek sebagai prestasi selama menjabat hingga kini masih menghantui para penguasa di Indonesia. Arsitektur dan ruang perkotaan itu hasil tata olah sosial budaya suatu masyarakat dengan arsitek berada di dalamnya. Arsitek, pada gilirannya “terbingkai” di dalam keadaan politik masyarakat saat dia berkarya. Arsitek Indonesia boleh saja menempatkan diri sebagai profesional yang tak berpolitik, namun mereka tak ”berdaya” melepaskan diri dari iklim politik penguasa meski berupaya kuat untuk menghindar dari pengaruh kepentingan pemerintah.
Melalui karya arsitektur, gagasan kebangsaan dan kenegaraan menjelma mendekati kenyataan sehingga mudah dirasakan oleh masyarakat Papua dalam kehidupan sehari-hari. Dalam mengangkat gagasan kebangsaan, Ben Anderson menganggap bangsa merupakan suatu pembayangan tentang sebentuk masyarakat yang wujudnya tak pernah nyata. Melalui kacamata khusus, Abidin Kusno meneropong gagasan yang terkandung dalam diri para penguasa melalui proyek-proyek khusus selama menjabat. Dengan jeli dia membedah budaya berarsitektur para arsitek sebagai penyalur gagasan politik yang dihadirkan oleh penguasa. Pemerintah sebagai pihak penjajah yang merasa berkewajiban mengangkat harkat hidup obyek jajahan, sambil tetap memegang teguh statusnya sebagai pihak pemberi dana, dan gagasan pembangunan.
Perubahan sosial dapat berlangsung melalui tata ruang kota dan dan bangunan. Perubahan pemerintahan dari yang berdasarkan kelompok ras dan suku bangsa ke pengelompokan berdasarkan status sosial. Orientasi baru ini memberi kesempatan kepada arsitek Indonesia yang lebih berorientasi sosial berpaling ke sumber-sumber lokal. Dengan meneliti segi teknis yang terukur dan lebih ilmiah, arsitek kelompok ini menghasilkan wujud bangunan tertentu yang mengacu pada sumber kebudayaan lokal tanpa menghadirkan sisi spiritual tak terukur. Wujud bangunan tersebut merupakan suatu hasil campuran (joglonisasi) yang menunjukkan perhatian dan pengakuan terhadap keberadaan perbedaan, namun sekaligus mengabaikannya (yang ada disana). Dalam membangun bumi jajahan, kelompok yang peduli unsur lokal adalah putra-putra daerah yang memiliki pengetahuan sebagai penanding, bagi penguasa dengan menghadirkan arsitektur berwawasan lokalitas Papua. Mereka (mahasiswa jurusan arsitektur sebagai calon arsitek masa depan asal Papua) perlu menganut paham modern yang menghargai identitas lokal. Pengutamaan ke"modern"an sebagai ukuran keilmiahan cenderung merendahkan mereka yang "tertinggal" atau dianggap berada di masa lalu (kuno, kampungan, tradisional dan primitif). Sementara itu, penghargaan atas warna lokal belum tentu mengangkat harga diri terjajah karena yang merintis juga dari luar, bukan dari dalam.
Gedung Bandar Udara Enarotali, ibu kota Kabupaten Paniai, Kantor PDAM Kabupaten Nabire, Mesdjid Agung Timika, Gedung DPRD Papua di Jayapura adalah contoh-contoh pesan politik bangsa dalam arsitektur di Papua. Dengan jelas bahwa pada beberapa bangunan ini memperlihatkan bangunan dengan bentuk rumah adat Jawa (Joglo). Dalam UUD 1945 mengatakan “yang menjadi presiden adalah orang Indonesia asli”. ”Indosesia asli” adalah orang Jawa, karena sejak Indonesia merdeka sampai saat ini yang menjadi presiden adalah orang Jawa (bukan; Sumatra, Sulawaesi, Kalimantan, Papua). Ini berarti bahwa pejajahan atas rakyat telah terjadi di Indonesia. Lebih jauh dari itu, daerah yang ingin memisahkan diri (Aceh, Poso, Maluku, dan Papua) dari NKRI penguasa betul-betul akan pembangunan dengan maksud meninggalkan pesan politik dalam arsitektur dan ruang kota. Sehingga semua bangunan ataupun perencanaan ruang perkotaan tidak memperdulikan kondisi dan lingkungan setempat. Satu program, satu konsep, satu arsitek untuk semua daerah di Indonesia adalah moto pembanguan dalam pesan politik arsitektur dan ruang kota.
Sejarah mencatat bahwa arsitektur dan ruang kota menjadi icon dan pesan politk bagi penjajah (penguasa) yang permanen dan monumental. Siapapun pemimpin (penguasa) (Presiden, Gubernur dan Bupati) ketika menjadi pemimpin adalah merupakan penyumbang atau penyalur gagasan bangsa yang amat berperan dalam perkembangan arsitektur di kota dan daerah. Politk dalam arsitektur dan ruang kota berjalan secara dinamis dan transparan, tetapi sulit untuk mengetahui maksud dibalik semua itu. Penjajah (penguasa) selalu mementingkan kepentingan jati diri bangsanya dari pada mengangkat identitas bagi yang dijajah. Mereka menggangap apa yang ada di daerah jajahan (kekuasaan) adalah tidak berharga, tidak bernilai, kuno, tradisional, dan ketinggalan. Sehingga, dengan muda membuat Undang-undang dan peraturan, agar semua daerah kekuasaan dapat mematuhui aturan dan undang-undang itu. Karena gagasan politik arsitektur merupakan suatu proyeksi yang perlu bagi penguasa untuk mencapai suatu cita-cita untuk menghilankan identitas lokal (arsitektur Papua).
Papua dengan heterogenitas arsitektur kesukuan (arsitektur tradisional), tidak lagi mengindahkan sejalan perkembangan jaman. Karena setiap manusia Papua di jaman digital ini, telah mengidap virus ”ikut-ikutan” ”yang baru itu yang terbaik”. Dan sebaliknya, sudah mengidap virus dengan anggapan yang lama itu ”kuno, tradisional, ketinggalan, kampungan, dan lain-lain. Tetapi perlu ketahui bahwa yang baru itu belum tentu baik dan bermakana filosofis. Dou-Gaii-Ekowai (melihat-berpikir dan melakukan).

Asrama Mahasiswa Papua “Kamasan I” Yogyakarta, 12 Maret 2008, pukul 00:00 WIB
[Emigita Yeimo Amoye Yunus/ EYAY]


seleNGKAPNYA......
Template by : kendhin x-template.blogspot.com