Custom Search

08 Juli, 2009

Mencari Wajah Kota dan Bangunan “ke-Papua-an”, Tugas Siapa?


[RUANG YAMEAW-PAPUA] Identitas suatu suku atau bangsa bukan terlihat dari pakaian adat atau lagu daerahnya. Tetapi, arsitektur sangat berperan dalam ketahanan identitas dan ciri khas pada proses perubahan sosial dan jaman yang pada akhirnya melahirkan anak yang namanya ”krisis identitas”.
Sejak jaman dulu orang Papua, tahu membangun rumah adat (arsitektur tradisional). Hasil karya itu adalah setiap suku dari 312 suku di Papua (Kompas, 2002) telah lama memiliki rumah adat masing-masing. Yang membedakan itu, bukan karena beda suku, tetapi beda bentuk “arsitekturnya”. Bukan hanya rumah rumah, tetapi didalamnya berbagai macam (tipologi) arsitektur lainnya, seperti jembatan, pagar, ukiran, dan lain sebagainya. Mengapa keterampilan ini kita (generasi muda Papua) tidak dikembangkan?
Arsitektur dan kota, ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan yang melambangkan atau mencerminkan masyarakat penghuninya. Bahkan arsitektur dan kota menggambarkan citra suatu kota atau bangsa. Kota Roma misalnya, sangat terkenal dengan arsitek bangunannya yang kokoh, megah yang umurnya sudah berabad-abad, merupakan warisan sejarah kejayaan bangsa Romawi. Bangunan yang kokoh dan megah itu, melambangkan citra orang Italia yang pada masa jayanya terkenal sebagai bangsa yang memiliki prajurit atau bala tentara yang tangguh tak terkalahkan di medan perang, yang berhasil menaklukkan dunia pada saat itu.

Kenyataan bahwa, saat ini kota-kota di Papua hidup dan berkembang bagaikan sebuah peluru rudal “tanpa kendali”. Pejabat dan penguasa (pihak berwenang) hanya berpikir dan mengendalikan kunci rudal “dompet rakyat”, yang berisikan hasil jualan pasar tradisional (bukan pasar moderen seperti, mall, swalayan, hypermarket dll). Tanpa memperduli rudal itu akan meledak entah kapan dan dimana. Penataan dan perencanaan kota dan kampung ini tidak pernah mendapat perhatian serius. Apa lagi proyek itu dilaksanakan oleh pemimpin (gubernur-bupati-camat) yang sebelumnya berbeda orang (pemimpin). Sehingga diperlukan suatu acuan pembangunan perencanaan kota (master plan city) yang berjangka panjang yang mengacu pada perwujudan identitas diri kota dan arsitektur ke-papua-an.

Wajah kota dan arsitektur Papua sedang menuju kemana?
Arsitektur pada umumnya “dipikirkan” (dirancang) dan “diwujudkan” (dibangun) sebagai tanggapan terhadap sekumpulan kondisi yang kadang-kadang hanya bersifat fungsional semata atau merupakan refleksi sosial, ekonomi, politik, perilaku atau tujuan-tujuan simbolis (F.D.K. Ching). Pendapat Ching, sangat relevan dengan kenyataan yang terjadi di Papua. Dimana arsitektur itu dibentuk (dibangun) seperti “karakter” penguasa/ perancang. Dirancang dan diwujudkan, dengan pertimbangan tujuan-tujuan tertentu (simbolis).
Disisi lain, pendapat Ching sangat bertolak belakang dengan kenyataan bangunan di Papua saat ini. Dimana hampir 90% nama-nama jalan, di kota-kota besar dan kampung kota di Papua adalah sebutan (nama) pahlawan orang Indonesia Bagian Barat (misalnya, Jl. Yos Sudarso, Jl. Budi Utomo, Jl. Kusbini, Lapangan Suharto dan seterusnya dan sebagainya). Pertanyaan penting untuk orang Papua (pengambil kebijakan) adalah apakah orang atau tanah Papua tidak memiliki catatan sejarah penting, yang dapat dijadikan sebagai nama jalan atau gedung? Tetapi semua itu bukan salah kita (manusia Papua) Mengapa? Karena arsitektur itu dirancang oleh manusia (penguasa), lalu dibangun dengan segala sumber daya (arsitek, uang dan tenaga kerja) dengan satu paket peraturan dan undang-undang.
Bentuk dan bahan bangunan baru belum tentu menjawab kebutuhan masyarakat (kenyaman, keamanan) dalam rumah atau kota sekali pun. Mengapa? Karena pengujian alamia yang dilakukan oleh leluhur kita memakan waktu yang sangat panjang. Mulai dari pengujian bahan bangunan, pola kampung, iklim di sekitar rumah, panas atau dingin. Rumah tradisional yang kita lihat saat ini kesimpulan daripada riset yang mereka (leluhur orang Papua) lakukan itu.
Menurut hemat saya, tidak salah bila kita (pemerintah daerah), memberikan penghargaan kepada “orangtua” yang umurnya mencapai stengah abad (50 tahun) “jika ada saat ini”. Karena, merekalah pelestari (sumber informan) budaya dan keterampilan membangun rumah. Tetapi, sebaiknya bukan hanya rumah, tetapi dari semua unsur budaya yang ada di Papua.
Dalam menata lingkungan dan menatap masa depan yang lebih baik. Rumah adat (arsitektur tradisional) dibangun atas kesepakatan semua pihak (lingkungan alam, manusia, alam mistic dan ugatame; pencipta). Mengapa? Karena, keempat unsur ini adalah dasar dan pedoman hidup manusia yang tidak dapat dipisahkan. Walaupun manusia mengelola, alam tetapi ia harus meminta kesepakatan dengan unsur yang lain. Tidak boleh salah satu unsur dirugikan atau diuntungkan.

Arsitektur sebagai pesan politik yang permanen
Arsitektur tidak hanya mampu memenuhi hasrat dasar berkegiatan manusia dalam batas ruang yang dihasilkannya, tetapi juga mampu menyampaikan makna apabila para pemakai mampu menafsirkannya. Karya arsitektur dan ruang perkotaan mudah menjadi media penyampaian pesan politis seorang penguasa (pemimpiin). Sejarah mencatat bahwa kaisar, diktator, dan penguasa mendirikan bangunan dan ruang kota monumental untuk membangkitkan suasana khusus dalam menjaga wibawa, membina semangat, atau bahkan mengancam rakyatnya.
Kebiasaan ingin meninggalkan suatu proyek sebagai prestasi selama menjabat hingga kini masih menghantui para penguasa di Indonesia. Arsitektur dan ruang perkotaan itu hasil tata olah sosial budaya suatu masyarakat dengan arsitek berada di dalamnya. Arsitek, pada gilirannya “terbingkai” di dalam keadaan politik masyarakat saat dia berkarya. Arsitek Indonesia boleh saja menempatkan diri sebagai profesional yang tak berpolitik, namun mereka tak ”berdaya” melepaskan diri dari iklim politik penguasa meski berupaya kuat untuk menghindar dari pengaruh kepentingan pemerintah.
Gedung Bandar Udara Enarotali, ibu kota Kabupaten Paniai, Kantor PDAM Kabupaten Nabire, Mesdjid Agung Timika, Gedung DPRD Papua di Jayapura adalah contoh-contoh pesan politik bangsa dalam arsitektur di Papua. Dengan jelas pada beberapa bangunan ini memperlihatkan bangunan dengan bentuk rumah adat Jawa (Joglo). Dalam UUD 1945 mengatakan “yang menjadi presiden adalah orang Indonesia asli”. ”Indosesia asli” adalah orang Jawa, karena sejak Indonesia merdeka sampai saat ini yang menjadi presiden adalah orang Jawa (bukan; Sumatra, Sulawaesi, Kalimantan, Papua).
Ini berarti bahwa pejajahan atas rakyat telah terjadi di Indonesia. Lebih jauh dari itu, daerah yang ingin memisahkan diri (Aceh, Poso, Maluku, dan Papua) dari NKRI penguasa betul-betul akan pembangunan dengan maksud meninggalkan pesan politik dalam arsitektur dan ruang kota. Sehingga semua bangunan ataupun perencanaan ruang perkotaan tidak memperdulikan kondisi dan lingkungan setempat. Satu program, satu konsep, satu arsitek untuk semua daerah di Indonesia adalah moto pembanguan dalam pesan politik arsitektur dan ruang kota.

Pesan untuk wilayah pemekaran baru
Pemekaran kota dan wilayah adalah menata ruang kota dan citra bangsa (penguasa). Namun yang menjadi pertanyaan adalah menata bangsa apa? Apa konsep perancangan dalam perencanaan kota dan bangunan? Mengapa harus berawal dari gagasan bangsa? Bukankah setiap daerah memiliki kultur (letak geografis) yang berbeda? Karena ia merupakan suatu jawaban atas persoalan politik.
Produk yang akan dihasilkan dari konsep perancangan dan perencanaan (arsitektur maupun ruang kota) akan terbentuk seperti orang (desainer) yang akan merencanakan itu. Entah siapa, arsitek, politikus, antropolog, atau pun dengan konsep kearifan lokal. Produk itu adalah ruang kota dan wilayah yang didalamnya hadir berbagai ”ciri” dan ”bentuk arsitektur”. Kota itu akan berbicara dan berdiri sebagai identitas suatu bangsa untuk membedakan “kami” dari “kamu”.
Romo Y.B. Mangunwidjaya (almarhum) salah seorang pakar arsitek nasional, mengemukakan dua hal pokok yang perlu diperhatikan dalam merencanakan dan merancang karya yang bernilai arsitektur; yaitu guna dan citra. Guna menunjukkan pada keuntungan, pemanfaan dan pelayanan yang dapat kita peroleh dari bangunan. Guna dalam arti aslinya, tidak hanya bermanfaat tetapi juga punya daya yang menyebabkan kita bisa hidup lebih nyaman. Sedangkan citra menunjukkan suatu gambaran (image), suatu kesan penghayatan yang mempunyai arti bagi seseorang.
Pada masyarakat tradisional, kegiatan merencana, merancang, melakukan dan mengelola lingkungan buatan merupakan kegiatan swadaya dan swakarsa lokal dari penduduknya. Dengan demikian, lingkungan fisik yang terbentuk betul-betul secara wajar dan pas mewadahi aktivitas manusia yang menghuninya dengan segenap tata cara dan adat istiadatnya.
Keselarasan, keserasian dan keseimbangan ekologis pun lantas muncul dengan sendirinya secara spontan tanpa kehadiran perencana formal. Karya arsitektur dan kota lebih merupakan karya komunal dari penduduknya yang saling kenal dan memiliki warisan norma, tata nilai, dan tradisi yang disepakati bersama.
Selain itu, pemekaran kota, dan wilaya dalam sebuah kabupaten adalah penataan ruang wilayah, dan membangun manusia yang ada dalam wilayah itu. Penataan ruang wilayah, bukan sekedar menarik garis “merencanakan” untuk membongkar gunung, menggusur rumah-rumah. Dan lebih jauh dari itu adalah penyerahan tanah secara cuma-cuma (gratis) yang dilakukan oleh masyarakat setempat demi pembangunan.
Pertanyaannya adalah apa yang diterima oleh rakyat setelah tanah ulayat mereka diberikan kepada pemerintah atas nama pembangunan? Pembagunan dalam konsep penataan ruang kota adalah penataan tanah dan manusia yang punya tanah. Walaupun ada nasehat yang mengatakan “maki akukai, kaa ko tetai” (tanah adalah mama, jangan dijual), siapapun orang Papua, yang menjual tanah akan menghadapi masalah (hukum karma).
Unutk itu, bagi daerah yang baru dimerkarkan dari Kabupaten Nabire (Kabupaten Dogiyai) dan dari Kabupaten Paniai (Kabupaten Intan Jaya dan Diyai) perlu dipikirkan baik-baik sebelum semuannya itu terlambat. Sebaiknya sebagai usulan saya untuk kantor kantor-kantor pemerintahan menggunakan konsep bangunan lokal (arsitektur tradisional) misalnya, Yamea owa atau Yuwa owa. Mengapa? Karena kedua bangunan ini memiliki nilai-nilai budaya orang Mee dan Migani (Moni), sejak dulu. Dan perlu diperlukan sebuah produk hukum semacam peraturan daerah (PERDA).
Manfaat yang akan kita peroleh setelah kita (para perencana kota dan bangunan) menggunakan konsep lokal (Yame Owa dan Yuwa Owa) adalah selain melestarikan wujud budaya hasil karya orang Mee dan Migani yang tersimbol dalam Yame Owa dan Yuwo Owa, kita juga akan mendapat julukan “kota budaya” dan akan menjadi tujuan wisata yang menarik sebagai aset pendapatan asli daerah (PAD) bagi Kabupaten tersebut. Enaimo Ekowai.

Catatan: Tulisan ini pernah dibuat di Harian Pagi Papua Pos Nabire/ Edisi 05 Juli 2009. Keterangan Foto..Kota Enarotali, Paniai Papua. Gambar di Ambil oleh Yunus Amopiya Yeimo.pada tanggal 28 Juni 2009.

seleNGKAPNYA......

29 Juni, 2009

BATU “PAIKEDA”, BATU AJAIB DI ZAMAN BATU, DAN PROTEKSI TERHADAP KEHIDUPAN SUKU MEE DI PAPUA1


Oleh: Yunus Amopiya Y.

Siapa suku Mee itu? Suku Mee adalah salah satu dari 312 suku yang ada di Papua [Athwa, 2004: 7]. Suku Mee mendiami di wilayah Pegunungan Tengah Papua Bagian Barat. Ciri khas wilayah suku Mee adalah di sekitar danau Paniai, danau Tage, Danau Tigi, Lembah Kamu (sekarang Dogiyai) dan pegunungan Mapiya/ Mapisa [Boelaars, 1986:85, Koentjaraningrat, 1963]. Namun, kini secara administrasi pemerintahan suku Mee berada di sepuluh distrik dari Kabupaten Paniai dan empat Distrik dari Kabupaten Nabire [Bunai, 2007:1].
Suku Mee sejak dulu tidak mengenal ukiran patung yang dibuat dari batu atau kayu yang menyerupai manusia dan binatang. Yang ada hanya berukuran kecil seperti ujung anak panah. Walaupun suku Mee itu pernah hidup di jaman batu [megalitikum], dan diwilayah mereka juga terdapat berbagai jenis batu alam. namun, itu belum disebut sebagai patung batu, karena ada dan berdiri secara alami sejak dulu. Tetapi, pada tahun 1967-1989 telah terbukti bahwa di Paniai [wilayah suku Mee dan Suku Migani] ditemukan batu yang menyerupai manusia dan binatang. Kemudian dalam bahasa Mee disebut “paikeda”.

Apa itu paikeda?
Hasil temuan patung batu yang menyerupai manusia dan binatang ini mengundang berbagai pertanyaan bagi kami sebagai orang Mee, karena sejak dulu orang Mee tidak mengenal ukiran patung dari batu dan kayu. Deretan pertanyaan yang muncul adalah bahwa mengapa patung batu yang menyerupai manusia itu ada di daerah Paniai? Apakah pernah ada orang [suku] lain hidup sebelum suku Mee datang di wilayah Paniai? Mengapa peneliti itu dengan “tegas” menyebut itu “batu paikeda” [paikeda mogo]? Ada apa makna dibalik batu paikeda? Apakah paikeda itu batu arca? Apakah benar sebagai sarana untuk melindungi diri? Dan lebih jauh lagi adalah apakah sebagai batu yang melambangkan kepercayaan adanya roh dalam batu atau kayu [animisme]?

Paikeda adalah nama sebuah jenis batu/ benda lain yang menurut suku Mee dianggap “mampu” melindungi terhadap berbagai bahaya [misalnya, perang keluaraga, marga, perang antar kampung dan perang suku], dengan cara kekuatan magis. Secara harafia, paikeda, terdiri dari tiga kata. Pai, artinya babi jantang [dialeg Kamuu], ke, artinya panggilan untuk laki-laki [dialeg Tigi], eda atinya pagar [Pekei, 2008:79-80]. Jadi, paikeda artinya sebuah babi jantang yang dianggap sebagai seorang laki-laki untuk “melindungi” seperti pagar.
Kehidupan suku Mee pada zaman dulu tidak terlepas dari perang antar keluarga, marga, kampung, klen dan suku. Agar mereka menghadapi perang dengan tanpa rasa takut, maka diperlukan sesuatu untuk dapat dipercaya sebagai pelindung. Batu paikeda bagi orang Mee adalah sebuah batu yang memiliki kekuatan magis yang mampu melindungi. Paikeda adalah sarana berupa batu yang mempunyai kekuatan magis, untuk membantu pribadi atau kelompok yang menggunakan dalam urusan perkara atau peperangan [Bunai, 2007:62].
Geradus Adii , dalam buku “Bebas Dari Kuasa Kegelapan di Tanah Papua” menyebutkan kurang labih 53 nama-nama Roh jahat yang dipercaya secara tradisi oleh masyarakat Papua. 18 dari 53 nama-nama roh jahat itu berasal dari Suku Mee [Adii, 2002:34-36]. Namun, demikian “paikeda” tidak disebutkan dalam urutan nama-nama roh jahat itu.
Selain 53 jenis roh jahat diatas, Adii juga menyebutkan 6 nama jenis setan sesuai dengan perannya. Setan-setan itu diantarnya, 1] setan dan malapetaka, 2] setan dan mencari kebenaran, 3] setan dan melindingi diri, 4] setan dan mencari rejeki, 5] setan dan pembunuhan, 6] setan dan kesembutuhan [Adii, 2002:57-109]. Batu paikeda disebutkan dalam urutan ketiga yaitu setan dan melindungi. Untuk itu, apakah “paikeda” termasuk dalam kategori roh jahat bagi musuh dan pelindung bagi yang memilikinya? Apakah sebuah “batu biasa” yang “dinamai” bukan “dipercaya” sebagai “batu paikeda”? Karena, tetua orang Mee menyebut, kegotai/ umatai, itu bukan menyuruh setan untuk membunuh [melakukan aksi jahat], tetapi mee ka dimi kou eniya [pikiran manusia itu yang setan]. Jika, demikian apakah “patung batu” yang menyerupai manusia dan binatang [yang ditemukan di Paniai 1967-1989] itu kita yakini sebagai “paikeda” atau kita sebut itu sebagai sebuah “batu biasa” yang menyerupai manusia dan binatang? Karena orang Mee yakin bahwa “setan” itu bukan batu atau binatang, tetapi pikiran manusia [mee ka dimi kou eniya], walaupun, ada 18 nama jenis roh jahat yang telah disebutkan diatas itu ada di daerah Paniai.
Untuk mengerti akan definisi tentang batu yang memiliki roh [agama suku], menurut [Koentjaraningrat,1974 dalam Ahtawa, 2004:21-28], terdapat empat orang ahli antropologi , Etnology , dan Filology dunia, yang berhasil menguraikan tentang hal itu, yaitu pertama, teori jiwa, Taylor [1873], mengatakan asal mula dari religi adalah kesadaran manusia akan adanya jiwa. Lebih lanjut, Taylor menyebutkan bahwa mereka mampu berbuat sesuatu yang tidak dapat dibuat oleh manusia. Mereka menjadi tempat yang amat penting dalam kehidupan manusai, sehingga menjadi obyek penghormatan dan penyembahan, dengan berbagai upacara berupa; doa, sajian atau korban. Bentuk religi seperti ini yang Taylor disebut dengan animisme .
Kedua, teori supranatural [kekuatan luar biasa] RR Marett [1909], mengangap teori “jiwa” adalah terlalu komples dan lampau, kemudian ia mengusulkan teori supranatural [menurut Marett teori baru]. Menurut Marett, pangkal dari peristiwa keagamaan manusia ditimbulkan karena suatu perasaan rendah diri terhadap gejala-gejala dan peristiwa yang dianggap sebagai “luar biasa” dalam hidup manusia. Dan alam tempat gejala dan peristiwa itu berada disekeliling manusia, disebut “alam supranatural”. Marett, menganggap kekuatan “supranatural” sebagai kekuatan lebih tua sebelum animisme, kemudian dia menyebut “praenimisme.
Ketiga, teori magic and religion, JG. Frazer [1890]. Menurut Frazer, manusia didalam usaha memecahkan soal-soal kehidupannya dengan akal dan pengetahuan. Akan tetapi bagaimanapun akal dan pengetahuan itu terbatas. Untuk itu, Frazer berpendapat untuk memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi dalam kehidupan manusia, maka dengan melalui magic [ilmu gaib]. Lanjut Frazer, manusia mempergunakan ilmu gaib [magic] untuk membantu memecahkan persoalan diluar batas kemampuan akal dan pengetahuan. Perbedaan antara magic dan religi menurut Frazer adalah bahwa, magic mencakup segala sistem perbuatan dan sikap manusia untuk mencapai suatu maksud dengan menguasai dan mempergunakan kekuatan-kekuatan dan hukum-hukum gaib yang ada di alam. sebaliknya religion adalah segala sistem perbuatan manusia untuk mencapai maksud dengan cara menyadarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan dari makluk-makluk halus seperti roh-roh-dewa-dewa dan sebagainya yang menempati alam.
Keempat, teori urmonothismus, Wilheem Schmidt [1869]. Setelah menyelidiki berbagai golongan suku dari masyarakat yang masih primitf, antara lain suku Negritos, Kepulauan Filipina, Suku Mycronesia dan Polynesia, di Irian Jaya [Papua], Suku Arunta Australia, Suku Pygmy dan Bushmen dari Konggo Afrika Tengah, Suku Caribin dari Hindia Barat, dan Suku Yahgan dari Ujung Selatan Amerika Serikat. Dalam penyelidikan itu, Schmidt menarik kesimpulan bahwa pada dasarnya kepercayaan yang polytheistis itu terdapat kepercayaan monotheistis. Oleh sebab itu ia mempunyai faham “ouemonotheisme” [monotheisme asli] atau primitive monotheisme. Aliran Schmidt berpendapat bahwa religi tumbuh tidak melalui evolusi, dari bertuhan banyak, kemudian bertuhan satu, akan tetapi religinya sejak dahulu adalah monotheime dan bertuhan satu. Seorang ahli sastra berkebangsaan Inggris yang sama pendapat dengan Schmidt adalah Andrew Lang. Lang [1898], berpendapat bahwa kepercayaan kepada dewa tertinggi itu suatu kepercayaan yang sudah sangat tua dan mungkin merupakan bentuk religi manusia tertua.
Dari keempat pendapat para ahli dan kemudian pendapat suku Mee memandang batu “paikeda” dapat kita menarik suatu menang merah bahwa “batu paikeda” adalah sebuah batu yang memiliki kuasa gaib, yang dapat memberikan perlindungan kepada orang Mee, agar orang Mee percaya bahwa batu mempunyai kuasa, organ, jiwa, seperti manusia yang tidak dapat dilihat oleh indra mata manusia, tetapi dapat dirasakan akibatnya. Tetapi, aliran akan Tuhan [animisme/ monoteisme] orang Mee telah membedakan atas kuasa ilahi [ugatame-pencipta], dengan kuasa setan atau alam gaib [eniya]. Meraka memandang, Tuhan [ugatame] lebih tinggi dan berkuasa dari pada kuasa setan [mistis]. Dan mereka percaya bahwa Tuhanlah yang meciptakan dunia dan segala isinya.

Batu Paikeda, Warisan Budaya Megalitik suku Mee?
Bila ditinjau dari arti kata “megalitik”, maka batu paikeda yang telah ditemukan orang Belanda di daerah Paniai adalah batu berukuran kecil [bukan batu besar seperti arti megalitik]. Tidak seperti masyarakat Sumba, Lombok Barat, sejak dulu telah mengenal teknik pembuatan batu dan yang hasil karya leluhur itu menjadi monumen-monumen sejarah dan menjadi warisan budaya mereka hingga saat ini. Batu berbentuk monumen di Sumba dapat kita menyebut batu megalitk, karena terbuat dari batu alam dan benar-benar hasil karya leluhur. Bagi orang Sumba rumah kayu/ bambu digunakan untuk tempat tinggal bagi manusia. Maka, rumah batu [megalitik] digunakan untuk melaksanakan kehidupan spritual. Kehidupan spritual berupa pemujaan arwah [Winardi, 2007:71-76].
Sebagai manusia yang memiliki akal pikiran [dimi yago bage], orang Mee melakukan berbagai upaya untuk mencari solusi agar menciptakan damai. Misalnya, dalam perang suku atau keluarga, kedua bela pihak sepakat untuk menghentikan perang. Hal ini dapat dilakukan apabila jumlah korban dari masing-masing pihak seimbang. Cara lain adalah pihak yang mengalami korban meminta denda [uang darah] kepada pihak pembunuh. Cara tuntutan model ini diberlakukan apabila perang terjadi antar hubugnan darah. Dalam mencegah terjadinya perang, suku Mee Suku Mee mengenal berbagai upacara adat. Salah satu upacara adat yang erat kaitanya dengan batu paikeda adalah upacara pada saat peperangan yang disebut ritual perang [yape kamu/ yape kabo].
Dalam upaya mendamaikan peperangan itu, suku Mee mengenal dua upacara adat [ritual perang] agar perang damai atau melindungi dari bahaya perang. Kedua upacara itu diantaranya, pertama, upacara yang dilakukan dengan menggunakan batu yang disebut paikeda [paikeda mogo]. Kedua, upacara dengan menggunakan ikatan anak panah [ida boda]. Kedua upacara ini diselenggarakan pada saat perang, perkara-perkara besar, dengan tujuan agar tercipta damai, aman dan selamat [Bunai, 2007:60-63].
Menurut Geradus Adii, [2002], paikeda disebut juga dabadiyo. Paikeda bisa berbentuk batu, kayu, pigu, dogi, obai, ida, ipa, manik-manik dan lain sebagainya. Tujuannya adalah pertama, melindungi diri dari serangan musuh. Kedua, Melindungi diri dari serangan setan. Ketiga, mencegah supaya jangan seorangpun dari keluarganya keluar dari kampung halaman. Keempat, mencegah orang lain suapaya jangan masuk di daerah tertentu. Untuk mencapai tujuan ini dilakukan upara ritual perang oleh para dukun atau orang yang dianggap tahu tentang melakukan upacara tersebut [Adii, 2002:78].
Paikeda warisan budaya orang Mee, dengan berbagai bentuk benda [batu, kayu, pigu, dogi, obai, ida, ipa, manik-manik]. Dan dapat disebut sebagai wujud kebudayaan orang Mee [Konetjaraningrat, 2002:2]. Namun, kebudayaan hidup suku Mee ini telah hilang, dengan adanya kedatangan para misionaris , dan pemerintah Belanda [Pekei, 2008:261-273]. Sebelum injil dan pemerintah Belanda masuk di daerah Paniai yaitu tahun 1940, kebudayaan orang Mee masih asli [Pigai, 2008:1-28]. Menurut Pigai, kehidupan suku Mee dengan sangat jelas terlihat dalam menghargai antara antara alam dengan manusia. Dimana, keduanya saling membutuhkan, misalnya manusia mengikuti norma-norma adat yang diturunkan oleh alam melalui mimpi atau penglihatan agar tetap mejaga keharmonisannya.
Sangat disayangkan bahwa, upacara adat yang disebut sebagai warisan budaya ini semakin hari-semakin hilang. Karena, manusia Mee saat ini telah mengidap budaya “virus” ikut-ikutan, yang pada gilirannya warisan budaya mereka itu dianggap “kuno, ketinggalan, tradisional, primitif dan kampungan. Namun, disisi lain, budaya mengawali segala ilmu pengetahuan yang sekarang kita anggap moderen dan yang terbaik itu.

Batu Paikeda, Lambang Agama Suku Mee?
Dalam kehidupan suku Mee percaya akan yang ilahi terungkap dalam beberapa sebutan. Yoseph Tanimoyabi Bunai [2007] dalam buku “Mobu dan Ayii, Jalan Menuju Keselamatan Inisial dan Kekal Menurut Suku Mee di Papua”, menyebutkan 7 [tujuh] jenis nama yang digunakan oleh orang Mee untuk menyebut Tuhan sebagai yang ilahi. Ungkapan kepercayaan akan ilahi itu diantaranya ugatame [pencipta], ipuwe me [pemilik], wadoo me [yang ada di atas], mee munetai me [pemelihara manusia], ayii me [penyelamat] ibo naitai [bapa maha besar] poya me [pribadi yang berkilau].
Sebelum para ahli antropologi, mengambil kesimpulan tentang animisme, dinamisme, monoteime dan sebagainya. Suku Mee mengenal istilah ayii [konsep keselamatan]. Kata ayii mengandung arti, hidup kekal, hidup terus, silau, kilau, aneh, mujizat, misteri, selamat, terima kasih, senang, kagum, bercahaya. Misalnya, ayii dalam hidup lama [berusia panajng]. Lolos dari bahaya peperangan atau kelaparan. Konsep keselamatan ayii, suku mee menyebut beberapa hal; seperti ayii me [pribadi yang selamat], ayii makiyo [tempat keselamatan], ayii mana [sabda keselamatan], ayii bokouto duwadoke taita [harapan akan keselamatan] ayii tai imototogo [hidup kekal], ayii taitage [terima kasih] Bunai, [2007].
Cara yang dipakai untuk memperoleh keselamatan [ayii] dalam kehidupan suku Mee adalah pertama, prinsip dasar dimi, [pikiran, akal budi, kemauan]. Dimi/ dimi mana [pikiran/ perkataan] mengandung arti yang paling utama/ pertama sebelum mengambil keputusan, berbicara, berbuat, berjalan, atau sebelum melakukan segala hal. Untuk itu, adanya unsur filosofis yang mengatakan dimi pukika gaii [berpikir dengan kesungguhan akal budi], dimi puki ka dou [melihat dengan kesungguhan akal budi], dimi puki ka ekowai [berbuat dengan kesungguhan akal budi]. Atau lebih singkat disebut dou-gaii-ekowaii [melihat, berpikir dan melakukan].
Kedua, menghayati nilai-nilai hidup. Untuk mencapai ayii, diperlukan penghayatan terhadap nilai-nilai budaya yang telah diwariskan. Dalam kehidupan suku Mee baik secara pribadi maupun kelompok, ada 4 nilai-nilai fundamental dalam hidup yang bersumber dari dimi, yakni ipa, maa, enaimo, dan ideide. Ipa artinya rasa kasihan, kasih sayang, cinta kasih. Dalam bahasa umum disebut saling membantu atau tolong menolong, mengerti akan masalah orang lain dan sebagainya. Maa artinya sunggu, benar, percaya, yakin]. Seorang Mee akan mengatakan maa/ makodo, ketika dia sudah mengalami, merasakan, mendegarkan, dan melihat dengan mata kepala sendiri. Enaimo, artinya bersama. Kata ini mengungkapkan nilai kebersamaan, persahabatan, persatuan dan kesatuan, hidup bersama, saling melengkapi satu sama lain, bersama-sama mengatasi masalah. Dalam kehidupan suku Mee, kata enaimo, dibuktikan dalam pekerjaan yang berat. Misalnya membagun rumah, menarik perahu dari hutan, dan lain-lain. Ideide, artinya gembira, bahagia, senang. Arti lain dari kata ideide adalah sukacita atau bahagia. Apabila orang menghayati nilai-nilai hidup yag disebutkan diatas, maka ideide adalah saat menikmati hasil dari pada nilai-nilai hidup itu.
Ketiga, norma-norma moral. Dalam mencari keselamatan, suku Mee mengenal norma-norma moral yang menjasi budaya hidup suku Mee. Norma-norma moral ini lebih ditekankan pada larangan-larangan, yang sama dengan 10 hukum Musa . Bagi suku Mee, kesepuluh perintah Allah [hukum Musa] itu bukan hal baru, tetapi telah ada di kalangan suku Mee jauh sebelum Injil [Agama] itu datang di daerah Paniai. Larangan-larangan itu adalah oma teyamoti [jangan mencuri], mogai tetai [jangan berzinah], akaitai-akukai ibo eyaikai, [hormatilah Ayahmu dan Ibumu], puya mana tewegai [jangan berdusta], Mee ka yagamo kibigi teyagai [Jangan mengingini istri orang lain], Mee ka owa kibigi teyagai [jangan menigini rumah orang lain], Mee tewagi [jangan membunuh orang lain], utama bagee ena ewii [menghormati semua orang], tanggungjawab dan kasih sayang orangtua, kesabaran, ketabahan dan ketidakputusasahan, kecerdikan, bersikap lapang dada, tolong menolong [akadade], tidak boleh memaksakan kehendak orang lain, kepercayaan terhadap adanya kekuatan gaib. Tidak boleh malas [Bunai, 2007:35-47].
Keempat, memelihara relasi dengan roh-roh. Orang Mee percaya bahwa Tuhan itu ada [ugatame-pencipta]. Maka, dalam kehidupan terdapat beberapa sebutan untuk menyatakan Tuhan itu ilahi. Misalnya, ugatame [pencitpta], ipuweme [maha penguasa/ pemilik], ibo/ ibo naitai [maha besar/ bapa yang agung], ayii me [maha penyelamat], mee munetai [maha pemelihara], epa maki yakitope me [maha pemegang langit dan bumi].
Dalam suku Mee terdapat empat sub-suku yang dalam bahasa Mee disebut maki tuma, wodapa, yina tuma, mogopia tuma. Sub-sub suku ini mengandung nilai totem yang hingga kini masih diyakini sesuai dengan tetomnya masing. Misalnya, wodapa, dilarang makan anjing, karena kita berasal atau diselamatkan oleh anjing [petunjuk jalan]. Maki tuma, dilarang gali tanah, atau buang tanah, karena akan hilang dalam tanah. Dan dalam satu totem ini dilarang menikah waka akabuke daa, wiyeutu/ epaa eda [dianggap satu keluarga/ keturunan] walaupun didalamnya terdaapt beberapa fam/ marga.
Kepercayaan akan roh-roh banyak disebutkan dalam suku Mee. Suku Mee mempercayai bahwa setan [makluk halus] itu ada dua jenis. Ena eniya ma peu eniya [roh jahat dan roh yang baik]. Selain kepercayaan akan adanya roh, di rumah, di hutan atau di tempat keramat. Orang Mee menyebut roh jahat itu tege/ peu eniya [iblis]. Sedangkan roh-roh yang baik itu disebut owa doutotai [roh yang menjada rumah], tai/ bugi doutotai [pemelihara kebun] buguwa/ bagodoutotai [penjaga hutan/ gunung], dan lain-sebagainya. Walaupun, itu dikategorikan ena eniya [setan yang baik], namun itu bukan ugatame. Tetapi, Tuhanlah yang memerintahkan mereka [setan-setan] itu menjaga dan melakukan yang terbaik buat manusia Mee. Karena Tuhan [ugatame] lebih berkuasa dari pada roh-roh itu.
Kelima, pelaksanaan upacara adat. Sebagai manusia yang pernah hidup sejak zaman batu. Suku Mee melakukan berbagai ritual. Menurut Yoseph Tanimotiyabi Buanai, disebutkan secara umum ada empat jenis upacara yang dilakukan oleh suku Mee diantaranya, pertama, upacara adat waktu perang. Ada dua upacara yang dilakukan pada saat perang yaitu upacara paikeda dan ida boda. Kedua, upacara-upacara pada waktu sakit. Ada lima jenis upacara yang dilakukan pada sakit orang Mee sakit sesuai dengan penyakit/ jenis setan yang ada dalam tubuh manusia. Upacara/ ritual-ritual diantarnaya tege ebakai kamu/ kabo, ibo ita takimai/ kabo, tene peka muni kamu/ kabo, madou ka duwai kamu/ kabo, pugu kabo duwai kamu/ kabo. Ketiga, upacara dalam kelaparan. Dalam upacara kelapan ini dilakukan dua jenis upacara adat yaitu, naidi kabo duwai, maki paga meni. Keempat, upacara peresmian. Ada tiga jenis upacara yang dilakukan oleh orang Mee yakni, owa gege [upacara peresmian rumah baru], tai paga meni/ bugi kabo duwai, koma gege [upacara pembuatan perahu/ peresmian perahu].

Batu paikeda masa lalu, masa kini dan masa depan
Cerita sejarah suku Mee telah mencatat dan mengakui bahwa suku Mee yang saat ini hidup di daerah Paniai adalah salah satu suku pecahan dari suku-suku yang mendiami di Pegunungan Tengah Papua. Mereka berpisah dari Lembah Balim disebuah Gua Besar Pagema. Kemudian dalam cerita sejarah suku Mee disebut pagimo peku. Sejarah asal usul suku Mee diturunkan secara turun-temurun. Diperkirakan suku Mee hidup di daerah Paniai kurang lebih 900 tahun yang lau kira-kira sejak tahun 1100 [Pigai, 2008: viii].
Sebelum agama dan pemerintah Belanda masuk di wilayah Paniai, sekitar tahun 1930-an. Suku Mee hidup dan merasa bahwa tidak ada orang lain, selain suku Mee, maka mereka berupaya berbagai cara untuk mempertahankan eksistensinya sebagai manusia sejati. Dimana mereka telah mengenal, tujuh jenis unsur-unsur kebudayaan dan tiga jenis wujud kebuyaan [Konetjaraningrat, [2002] dalam Pekei, 2008:69].
Menurut Jan Boeraars [1986], orang Mee sangat kaya dengan ikatan-ikatan sosial dan ekonomi. Kemudian, setelah ia mengadakan penyelidikan lebih mendalam, maka ternyata dibalik latarbelakannya yang “miskin” , dan dibalik kegiatan “dagang” yang amat tenang ini, tersembunyi suatu kehidupan rohani, yang mampu mengungkapkan nilai-nilai kemanusiaan yang mendalam dengan pemberian bentuk simbolik yang sangat kaya.
Kini menurut hemat saya, semua kekayaan kebudayaan, nilai-nilai hidup budaya orang Mee yang pernah ada dan yang menghantar manusia Mee sampai pada saat ini telah hilang. Penyebabnya adalah kita [generasi sekarang], telah mengidap virus “ikut-ikutan”, kemudian kitalah yang menghakimi budaya kita sendiri dengan dalil budaya itu, “kuno, ketinggalan, tradisional, kampungan, primitif, masa bodoh, zaman batu” dan sebagainya dan seterusnya. Disini diperlukan suatu kesadaran diri akan pentinnya, faktor budaya dalam segala aspek kehidupan manusia. Karena saat ini dimana, mana telah kehilangan diri sebagai manusia berbudaya, yang pernah ada yang dimiliki oleh setiap suku bangsa yang ada di dunia.
Lalu bagaimana dengan masa depan batu paikeda ataupun unsur budaya yang lain dari setiap suku bangsa? Karena budaya adalah dasar hidup, ciri khas/ identitas, pedoman, sumber inspirasi dan lain sebagainya. Batu paikeda, telah hilang atau masih ada? Jika masih ada mungkin unsur budaya tidak semurni dulu. Sebuah pertanyaan untuk kita sekarang adalah apakah kita ingin jadi pelestari budaya atau justru jadi pemusnah budaya? Jawabanya kembali pada setiap insan sebagai orang yang menganut budaya itu apapun jenis budayanya.

Kesimpulan dan saran
Budaya hidup suku Mee tentang “batu paikeda” adalah salah satu unsur kebudayaan orang Mee. Sebenarnaya masih banyak unsur kebudayaan yang ada dalam kehidupan suku Mee. Patung batu yang menyerupai manusia dan binatang yang telah ditemukan di Paniai adalah batu “biasa”, yang diberi nama “batu paikeda”, karena nama “paikeda” itu terdapat di dalam kayu, batu, pigu, ida, dan sebagainya. Batu paikeda bukan kebudayaan megalitk suku Mee karena di Paniai belum ada batu besar [patung batu yang terbuat dari batu]. Dan orang Mee tidak mengenal ukiran dari kayu dan batu. Batu paikeda, bukan lambang agama suku Mee, tetapi “sarana” untuk melindungi diri dengan “memohon” kepada ugatame melaui upacara adat dengan menyakini kuasa ilahi itu akan turun melalui ritual paikeda. Dulu batu paikeda, digunakan sebagai sarana akan adanya kuasa alam yang dinampakan melalui batu paikeda. Kini batu paikeda hanya tinggal cerita legenda orang Mee. Dan [menurut saya] di masa yang akan datang orang Mee tidak mengenal kata “paikeda”. Lebih jauh lagi bahwa kita tidak akan melakukan, mempercayai akan adanya batu paikeda. Bahkan mungkin kitalah yang akan menjadi aktor utama dalam “gerekan pemusnah” nilai-nilai budaya itu.
Saran saya untuk pribadi saya [penaji] adalah bagaimana caranya supaya budaya itu tidak hanya cerita legenda [abstrak], tetapi meyakinkan orang lain bahwa budaya itu benar-benar ada dalam kehidupan manusia. Maka, sebagai mahasiswa bagaimana kita melihat itu dari kaca mata kita [intelektualitas], sebelum kita mengambil keputusan. Untuk mengatkan “baik” dan tidak “buruk” Suku Mee yang menyebut diri sebagai “manusia sejati” [mee tuma] maka mereka tahu membedakan “baik” dan “buruk” termasuk didalamnya adalah hal-hal mistik.

Materi Diskusi dan Nonton Film Dokumenter Batu Paikeda, yang diselenggarakan oleh Panitia Natal, Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Paniai-Nabire Yogyakarta. Di Aula Asrama Kamasan I Yogyakarta, 15 Desember 2008.
Penaji adalah Mahasiswa Jurusan Teknik Arsitektur, Penghuni Asrama Mahasiswa Papua “Kamasan I” Yogyakarta. Diskusi lebih lanjut kunjungi, website. www.yamewapapua.blogspot.com.
Geradus Adii, adalah putra terbaik asal Paniai [suku Mee] yang dipakai oleh Tuhan sebagai pemimpin gereja dan masyarakat, jabatan terakhir adalah Ketua Sinode Gereja Kemah Injil [KINGMI] Papua.
Antropologi adalah ilmu tentang manusia, terutama asal usul, aneka warna, bentuk fisik, adat istiadat, dan kepercayaan pada masa lampau, KBBI, Balai Pustaka [2007] hal 58.
Etnology adalah ilmu yang mempelajari tentang unsur atau masalah kebudyaan suku bangsa dan masyarakat penduduk suatu daerah di seluruh dunia secara komparatif dengan tujuan mendapat pengertian tentang sejarah dan proses evolusi serta penyebaran kebudayaan umat manusia di muka bumi, KBBI, Balai Pustaka [2007]. Hal 309.
Filology adalah ilmu yang mempelajari tentang bahasa, kebudayaan, pranata dan sejarah suatu bangsa. KBBI, Balai Pustaka [2007]. Hal 317.
Moh. Karnawi Bajuri Farenduany, [1989] “Kamus Aliran dan Fahan” Penerbit Indah Surabaya. Hal 11-12. Meyebutkn bahwa animisme bahasa latin adalah anima artinya nyawa/ roh. Kepercayaan adanya roh, nyawa, manusia mempunyai nyawa sesudah mati [arwah]. Paham dari nenek moyang kita bahwa semua batu, pohon, bersemayam roh-roh leluhur yang menjaga. Kemudian apakah suku Mee meyakini aliran [paham] animisme? Lihat Majalah Selangkah, Edisi Juni-Agustus 2005, Hal 32-37.
Wilheem Schmit, adalah seorang penganut Katholik, dan Guru Besar Etnology dan Philology di Universitas Viena.
Istilah megalitik berasal dari bahasa Latin. Mega berarti besar dan litos berarti batu. Jadi, megalitk berarti batu besar. Megalitik adalah batu besar peninggalan masa prasejarah. Sedangkan megalitikum adalah zaman batu besar [zaman batu] yaitu salah satu zaman prasejarah. KBBI, Balai Pustaka [2007]. Hal 727.
Misionaris adalah sebutan bagi para penginjil/ pendeta Kristen, yang datang dari Belanda di tanah Papua, untuk menginjili kabar keselamtan. Kontak pertama orang Mee dengan dunia luar pada tanggal 31 Desember 1933.
Pemerintah Belanda masuk di Daerah Paniai pada tahun 1941.
Pigai, Gotai, Ruben [2008] Mungkinkah Nilai-nilai Budaya Hidup Suku Mee Bersinar Kembali?, Deiyai/ Yakama; Jayapura. Menyebutkan sebernarnya, bukan sepuluh tetapi lebih dari sepuluh. Namun ia hanya menyebutkan 10 norma-norma moral suku Mee, yang disesuaikan dengan Alkitab. Hal xii-xiii.
Totem/ Totemisme adalah sistem religi yang berkeyakinan bahwa warga kelompok unilinier adalah keturunan dewa-dewa nenek moyang, yang satu dengan yang lainnya mempunyai hubungan kekerabatan. KBBI, Balai Pustaka [2007]. Hal. 1208.
Disebut “miskin” karena penulis adalah orang yang telah lama mengenal teknlogi, rumah mewa, mobil dan sebagainya, sehingga ia membandingkan kehidupan di dunia barat dan orang Mee. Dan dapat diakui bahwa pada saat itu kehidupan orang Mee masih primitif, tetapi bagi orang Mee tidak mengenal yang namanya pritif.
Orang Mee sejak dulu mengenal sistem perdagangan dengan suku lain, seperti Amungme dan Kamoro di Timika. Suku Migani di bagian timur daerah Paniai.

Acuan Kepustakaan
1. Adii, Geradus [2002] Bebas Dari Kuasa Kegelapan di Tanah Papua, Gereja Kemah Injil Indonesia [GKII] Wilayah Irian Jaya; Jemaat Zebaoth Jayapura.
2. Athwa, Ali [2004]; Islam atau Kristenkah Agama Orang Irian, Pustaka Da’i; Jakarta.Boelaars, Jan [1986] Manusia Irian, Dahulu, Sekarang dan Masa Depan, Gramedia; Jakarta.
3. Basrowi, [2008] Pengantar Sosiologi; Galia Indonesia; Bogor.
4. Bunai, Tanimoyabi Yoseph, [2007] “Mobu dan Ayii, Jalan Menuju Keselamatan Inisial dan Kekal Menurut Suku Mee di Papua; Elmasme “Gaiya” dan Dewan Adat Paniyai.
5. Effendhie, Machmoed, [1999] Sejarah Budaya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; Jakarta.
6. Farenduany, Moh. Karnawi, Bajuri [1989] “Kamus Aliran dan Fahan” Penerbit Indah; Surabaya.
7. Gobay, D. Mekaa [2007] Perempuan Papua Barat, Dalam Kekerasan Militer, Budaya, Ekonomi dan Kesehatan, Sumbangsih Press; Yogyakarta.
8. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga [2007] Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka; Jakarta.
9. Pekei, Christ, Titus [2007] Manusia Mee di Papua, Proteksi Kondisi Masa Dahulu, Sekarang dan Masa Depan diatas Pedoman hidup, Galang Press; Yogyakarta.
10. Pigai, Gotai, Ruben [2008] Mungkinkah Nilai-nilai Budaya Hidup Suku Mee Bersinar Kembali?, Deiyai/ Yakama; Jayapura.
11. Richardson, Don, [1977] Penguasa-Penguasa Bumi, Penerbit Kalam Hidup; Bandung.
12. Konetjaraningrat, [2002] Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Gramedia Pustaka Utama; Jakarta.
13. ------------------------ [1963] Penduduk Irian Barat, Penerbit Universitas; Jakarta.
14. Winardi, L. Bambang [2007] Jejak Megalitik Arsitektur Tradisional Sumba, Graha Ilmu; Yogyakarta.


seleNGKAPNYA......

22 Maret, 2009

Pembangunan Infrastruktur Disesuaikan Kebutuhan Wilayah


SENTANI - Kabupaten Jayapura yang mempunyai karakteristik wilayah yang berbeda-beda, membutuhkan pembangunan dengan pendekatan kewilayahan. Oleh karena itu, selain pendekatan ruang dengan pemberdayaan distrik dan kampung, sejak beberapa tahun lalu, Pemkab Jayapura juga melakukan pendekatan wilayah untuk mempertajam sasaran pembangunan. Dimana pembangunan infrastruktur dan pembangunan lainnya harus menyesuaikan kebutuhan masing-masing wilayah pembangunan yang terbagi menjadi 4 Wilayah Pembangunan (WP).
Ketua Tim Infrastruktur Kabupaten Jayapura Ir. Tunggul TH Simbolon, MA mengungkapkan, untuk percepatan pembangunan infrastruktur di masing-masing wilayah, pihaknya memang sudah menyusun program sesuai kebutuhan masing-masing wilayah pembangunan. Dimana Tim Infrastruktur ini terdiri dari Dinas PU, Perhubungan, Bapedalda.
"Pembangunan infrastruktur akan lebih diarahkan ke wilayah pembangunan sesuai dengan kebutuhan dan tingkat kesulitannya,"ujar Tunggul Simbolon dalam tatap muka jajaran Pemkab dengan kepala distrik dan kepala kampung/lurah di aula lantai II Kantor Bupati, Jumat (20/3).
Seperti halnya untuk pembangunan sarana jalan dan jembatan, kebutuhan ini sangat menonjol di wilayah pembangunan IV di wilayah Nawa. Program pengairan juga sangat dibutuhkan dibeberapa wilayah pembangunan, baik untuk mendukung sektor pertanian, pengamanan dari banjir. Begitu juga untuk fasilitas umum dan aparatur juga masih sangat dibutuhkan. Untuk mendukung sektor kesehatan masyarakat,Tim Infrastruktur juga memberikanperhatian untuk penyediaan air bersih, persampahan dan penataan lingkungan.

"Perumahan layak huni bagi masyarakat juga menjadi program prioritas, namun karena banyaknya permintaan, maka pemerintah akan mendorong dengan memberikan bantuan bahan non lokal,sedangkan bahan lokal dan tenaga dari masyarakat sendiri,"ujar Tunggul yang juga Kepala Dinas Perhubungan dan Komunikasi Kabupaten Jayapura ini.
Pembangunan sarana pendukung trasnportasi darat, laut, udara dan danau ini memang menjadi perhatian serius tim Infrastruktur, supaya biosa menjangkau seluruh wilayah pembangunan yang ada, Seperti WP IV dan II, yang masih ada sejumlah kampung sulit dijangkau jalan darat. Pada tahun 2009 ini, juga telah diprogramkan untuk pembangunan dermaga, terutama untuk WP IV di sepanjang sungai mamberamo dan lapangan terbang perintis.
"Untuk sarana telekomunikasi, memang banyak usulan warga untuk bisa masuk telepon seluler, tapi dari pihak operastor seluler belum bisa langsung masuk karena masih perhitungan untung rugi. Oleh karena itu dibeberapa titik akan kami bangun sarana telepone satelit,"jelasnya.
Untuk WP I di sekitar Setani, sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Jayapura juga tetap akan mendapatkan perhatian, terutama terkait dengan fasilitas pendukung untuk menarik investor. Dimana selain kelanjutkan pembangunan jalan dua jalur, di Sentani dan sekitarnya ini butuh seperti pusat Tempat Hiburan Rakyat (THR), TPS, tempat pemakaman umum dan fasiltas lainnya.
"Karena dana terbatas, pembangunan sarana infrastruktur ini memang harus dilakukan secara bertahap,"ujar Tunggul kendala lain yang dihadapi untuk pembangunan ini adalah menyangkut persoalan tanah, dan kebijakan Pemkab tidak akan membangun sebelum tanah selesai. (tri)

Sumber: http://cenderawasihpos.com/detail.php/23 Maret 2009 10:12:42
Sumber Foto. TMI Co.Id

seleNGKAPNYA......

03 Maret, 2009

Kota Jayapura: Sebuah refleksi singkat perencanaan tata ruang dan masalah perkotaan


Oleh: Piter Gusbager *)

Sebagian besar umat manusia di Bumi abad ini, hidup di kota, jauh dari areal pertanian, hutan dan bentangan alam (natural landscape). Menurut Pertemuan Puncak Kota sedunia tahun 2008 di Singapura, lebih dari setengah penduduk bumi pada tahun ini berdomisili di didaerah perkotaan. Trend ini sudah tentu berdampak langsung pada penggunaan lahan baik di daerah perkotaan maupun sub-perkotaan. Lahan yang dahulunya dikelilingi oleh hutan, pohon dan dihuni oleh organism harus dibuka untuk membangun rumah dan berbagai jenis lingkungan buatan (built environment). Oleh sebab itu perencana kota dituntut untuk memainkan peran kunci dalam mengantisipasi meminimalkan setiap kemungkinan masalah yang akan timbul dari pertumbuhan sebuah kota. Masalah-masalah perkotaan abad ini terdiri dari masalah Sosial, Ekonomi dan Lingkungan dan Budaya yang di kendalikan oleh sebuah kekuatan besar yaitu politik. Keberlanjutan (sustainability) sebuah kota sangat ditentukan oleh perencanaan masa kini. Dalam tulisan singkat ini, fokus adalah pada situasi visual terakhir perkembangan penggunaan lahan dan tata ruang dan masalah-masalah ketersediaan kebutuhan bagi warga di kota Jayapura.
Kota adalah salah satu ungkapan kehidupan yang sangat kompleks. Menurut Lawrence Halprin (1979) seorang designer landscape kota Amerika, kota adalah sebuah kelompok kehidupan manusia (communal life) yang harmony dengan berbagai element, taman kota, kebun kota, pemukiman, areal parkir, boulevard, taman bermain, pelabuhan jaringan tranportasi, dan pusat perbelanjaan. Lebih lanjut menurutnya kota tidak hanya berarti bangunan-bangunan tapi juga sebuah bentangan alam yang terbuka (landscape of open space). Areal terbuka untuk umum (public open space) sebagai sebuah element penting dalam perencanaan tata ruang kota. Gleeson dan Law (2000) menyatakan, perencanaan sebuah kota merupakan sebuah proses aktifitas pemerintahan yang dibutuhkan untuk memastikan bahwa semua pelayanan bagi masyarakat pada sebuah kota tersedia kapan dan dimana kebutuhan-kebutuhan tersedia. Manusia beserta seluruh aspek kehidupannya merupakan bagian dari landscape itu. Banyak definisi kota dapat diberikan ketika seseorang ingin mendefinisikan ‘kota’. Sederhanya, dari parameter-parameternya, kota atau urban ‘modern’ sedangkan desa atau rural ‘traditional’.
Menurut sejarah (Wikipedia) bahwa pada tahun 1945 Pemerintah Belanda menjadikan Jayapura (Holandia) ibukota dari Netherlands Newguinea. Kemudian pada 1 Oktober 1962 Holandia diserahkan kepada PBB, kemudian dikenal sebagai “Kota Baru”. Nama Kota Baru bertahan hingga pada saat Pemerintah Indonesia mengambil alih secara resmi pada tanggal 1 Mei 1963, berubah menjadi Sukarnopura. Nama tersebut bertahan hingga akhir tahun 1968 menjadi akhirnya menjadi Jayapura sampai sekarang. Nama Jayapura berasal dari kata Sansekerta terdiri dari dua suku kata Jaya : Kemenangan dan Pura : Kota. Atau dengan kata lain kota yang rebut dengan sebuah kemengan dalam peperangan. Kota ini juga pernah bernama Port Numbay, bahkan nama ini sering digunakan dalam event-event tertentu. Sejak kota Jayapura (Holandia), ada, maka juga ada perkembagannya, baik secara keseluruhan maupun sebagian , baik kearah positif maupun negatif. Hal ini menunjukan bahwa kota bukanlah sesuatu yang bersifat statis. Markus Zanhd (2006) mengatakan kota adalah lingkungan yang dinamis karena memilki hubungan yang erat dengan kehidupan pelakunya sejalan dengan dimensi waktu. Di usia sembilan puluh delapan tahun, Jayapura boleh dikatakan dalam masa emasnya. Keemasan itu dapat diukur dan dievalusi dari dua aspek, yaitu perkembangan secara kuantitatif dan secara kualitatif. Perkembangan kota tidak dapat dilihat secara terpisah. Maka munculah pertanyaan sejauh mana perkembangan kota Jayapura, selama sembilan delapan tahun, usia hampir seabad ini. Lebih lanjut kota Jayapura diawal abad ke-21 berpenduduk 172, 723 jiwa (2000). Populasi ini mendiami areal seluas lebih kurang 9,5 km2. Kota yang indah secara alami ini memiliki topografi bergelombang dan berbukit rendah, berada pada ketinggian 0-300 m di atas permukaan laut telah menjadi pusat pemerintahan, ekonomi, pendidikan dan aktiitas sosial sejak awal sampai sekarang.
Sistem Perencanaan kota yang berlaku di Indonesia, yang dikenal dengan Rencana Tata Ruang Nasional, Propinsi dan Kabupaten atau Kota, merupakan hybrid (campuran) dari sistem yang diterapkan Belanda dalam perencanaan beberapa kota seperti Amsterdam. Hal ini berarti sistem ini tergolong sangat ideal dan collaborative dari pusat sampai ke tingkat daerah, terbukti Netherland sebagai salah satu negara dengan perancangan dan perencanaan kota terbaik di dunia. Bayangkan bagaimana merencanakan kota yang letak dibawah permukan air laut. Bagaimanapun, kenyataan menunjukan bahwa kota-kota di Indonesia seperti Jakarta tidak melaksanakan perencanaan sebaik Netherland, dimana mengalami banyak masalah akhir-akhir ini khususnya dalam tata guna lahan. Jayapura merupakan salah satu kota typical Indonesia dimana pengabaian terhadap aspek ekologi merupakan sebuah kelemahan yang mencerminkan rendahnya kualitas kota ini.
Ruang terbuka untuk umum (public open space) merupakan daerah terbuka yang disediakan oleh pemerintah yang dapat diakses secara bebas bagi semua kelompok masyarakat tanpa pengecualian yang berdomisili disebuah kota atau juga pengunjung. Public open space dapat berupa taman kota, lapangan olahraga, taman bermain, areal parkir, jalur hijau, taman pantai, sungai dan danau dan kebun raya. Penyediaan sarana-sarana ini pada sebuah kota dianggap penting karena, mereka memainkan peran penting baik dibidang sosial, lingkungan, ekonomi , pendidikan dan budaya. Dibidang lingkungan misalnya Taman kota membantu mengurangi emisi karbon dan menyerap debu dari kendaraan bermotor. Pendidikan misalnya Taman kota dapat menjadi Laboratoium dan perpustkaan hidup bagi sekolah khususnya mata ajaran seperti Biologi dan Botany. Social misalnya, fasilitas-fasilitas ini dapat menyebabkan terjadinya interaksi sosial dengan mengabaikan apapun latarbelakang dan status seseorang. Dibidang ekonomi secara sederhana fasilitas-fasilitas publik ini dapat meneyediakan lapangan kerja bagi yang membutuhkan. Ide public open space sangat berkaitan dengan keindahan wajah kota dan kesehatan kota.
Namun hal ini tidaklah muda dengan cukup merencanakan, modus terpenting adalah bagaimana mengimplementasinya. Implementasi sebuah perencanaan membutuhkan komitment dalam pengambilan keputusan dalam mengalokasikan ruang (space) terhadap kebutuhan akan ruang itu. Sepanjang pengamatan, kenyataan kota Jayapura selama 98 tahun belum merencanakan publik open space bagi warganya. Alokasi ruang lebih diperuntukan bagi perkembagan pusat-pusat perbelanjaan yang hampir nampak diseluruh kota. Pertanyaan yang muncul apakah dalam rencana tata ruang kota Jayapura belum ada taman terbuka untuk publik? Apakah implementasi pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan tata ruang yang ada? Penggunaan lahan sesuai fungsi dan nilainya merupakan hal penting untuk memecahkan persoalan ini. Seperti dikatan oleh Simonds (1983) untuk setiap ruang ada pengguanaan yang ideal, dan untuk setiap penggunaan ada tempat yang ideal.
Dalam tulisan ini ada baiknya juga disinggung beberpa masalah yang nampak. Pertama, tentang areal pesisir. Dalam tata guna lahan dan perencanaan tata ruang kedepan diharapkan juga merencanakan daerah perairan (waterfront) yang dihuni masyarakat nelayan sepanjang teluk Jayapura dan sekitarnya. Tipe pemukiman rumah berlabuh secara teknis tidak lagi memenuhi syarat keselamatan di saat ini, seperti resiko becana alam, tsunami dan arus pasang lainya. walaupun rumah berlabuh merupakan warisan budaya masyarakat pesisir Papua. Pemerintah Kota melalui Bapeda sudah harus mencari jalan keluar melalui studi-studi sosial dan ekonomi serta budaya dalam memecahkan situasi ini, Karena rumah berlabuh juga disisi lain mengurangi nilai estetika dan kesehatan lingkungan di kota Jayapura.
Kedua, masalah peneglolaan sampah. Sistem pengelolaan sampah yang umum di jayapura dengan system pembakaran (TPA) perlu dievaluasi. Bagaimanapun juga berbicara tentang masalah pengelolaan (waste management) di Kota Jayapura secara visual boleh dikatakan sangat buruk. Sampah berserakan dimana-mana. Apa yang dilakukan pemerintah Kota dapat dikatakan belum cukup untuk memecahkan masalah ini. Masyarakat perlu diberikan penyadaran terus-menerus dan pada saat yang sama perlu diterapkan aturan hukum dan koordinasi sampai ditingkat kelurahan dan RT. Berkaitan dengan sarana pendukung, juga dapat dikatan belum memadai seperti ketersediaan tempat-tempat pada seluruh pusat-pusat pemukiman dan kegiatan penduduk. Memang ini masalah yang cukup kompleks, kita di Papua membutuhkan seorang profesional perencana dan perancang (planner dan designer) yang memilki spesialis dibidang ini.
Masalah lain perencanaan tata ruang di kota Jayapura yang kelihatan adalah transportasi. Dengan meningkatnya jumlah kendaraan pribadi (private car) dan menurunnya minat masyarakat menggunakan transportasi umum sperti bis, mengakibatkan kemacetatan dan tingkat kecelakan lalu lintas. Jaringan transportasi jalan dan jembatan serta sarana transportasi lain sudah harus dipikirkan dan diputuskan. Masalah yang mungkin dihadapai dalam hal ini adalah ketersediaan lahan untuk sarana pembangunan jaringan-jaringan tersebut.
Lebih lanjut, masalah penyediaan air bersih. Ketersediaan ir bersih merupakan syarat mutlak bagi pembangunan sebuah kota. Supply air bersih di kota ini masih dapat dibilang jauh dari yang dibutuhkan. Yang diharapkan adalah air dapat mengalir selama 24 jam sehari tanpa berhenti. Namun, nampaknya itu sulit. Debit air dari sungai yang menjadi sumber mata air menjadi isu yang sering terdengar di telinga warga. Kedepan sebaiknya ada solusi karena kita sebenarnya tidak harus kesulitan air diwilayah tropis ini.
Listrik menjadi sebuah isu lain. Penadaman listrik yang terjadi di kota Jayapura merupakan sebuah masalah lain bagi warga yang mendiami kota ini. Berbagai alasan dikemukan. Keterlambatan pembayaran pelanggan merupakan salah satu alasan klasik. Ketidakstabilan aliran listrik di sebuah kota akan sangat berdampak bagi seluruh aspek kehidupan manusia di zaman ini. Pemerintah kota sebagai penyelenggara kehidupan colletive warga, diharapkan kedepan memecahkan isu ini.
Terabainya sarana telepom umum adalah salah satu masalah lain. Salah satu fasilitas publik yang juga teraibaikan adalah fasilitas telp umum. Sejak revolusi telekomonikasi dengan merebaknya penggunaan telepon genggam awal tahun 2002. Situasi ini bukan merupakan langkah maju, telepon umum bagaimanapun tetap dibutuhkan dan harus disediakan dalam sebuah kota.
Masalah lain berkaitan dengan arsitektur kota Jayapura. Dari pandangan arsitektur dan perancangan dapat dikatakan kota Jayapura belum memiliki struktur dan pola sebar yang konsisten. Struktur perkembangan kota Jayapura belum dapat di lihat dengan jelas hal ini mungkin dikarenakan pengunaan lahan yang tidak sesuai Tata Ruang yang ada dan bentuk rancang bangun, serta tipe bangunan yang dibuat sesuka hati pemilik yang ada di kota Jayapura. Secara teoritis ada tiga bentuk perkembangan kota, perkembangan horizontal, vertikal dan intertistial. Sehingga, diperlukan kajian khusus menyakut persoalan ini bentuk dan struktur perkembangan kota jayapura.
Terakhir adalah migrasi penduduk ke kota Jayapura yang tidak terkontrol. Masalah ini boleh dibilang cukup serius dalam sepuluh tahun terkhir. Masalah ini akan sangat nyata pengaruhnya dengan kepadatan penduduk dan penggunaan ruang di kota. Hal lain juga adalah meningkatnya pengannguran dan persaingan yang tidak sehat. Ada pendapat yang menyebutkan bahwa situasi mengakibatkan disebut sebagai sumber penyakit. Entah penyakit dalam kontek medis, social sperti angka kriminalitas yang meningkat atau juga dalam arti ekologi, yaitu menurunnya kualitas lingkungan. Pengendalian pergerakan masuknya penduduk baik untuk tinggal maupun kunjungan perlu dikontrol dengan baik dengan melibat semua instansi terkait.
Tulisan ini merupakan sebuah refleksi singkat, diharapkan sebagai masukan bagi masyrakat dan pembaca sehingga dapat mengambil bagian dalam pembagunan kota Jayapura. Adalah penting bagi pemerintah kota Jayapura menyiapkan Sumberdaya Manusia yang professional dibidang perencanaan dan perancangan kota atau membangun hubungan dengan negara asing yang memiliki reputasi tinggi dalam bidang ini, sehingga dapat dicari jalan keluar dalam permalahan-permasalahan perkotaan. Akhirnya diusia ke-98 sudah pasti banyak kemajuan yang ada dan telah dirasakan warga kota. Bagaimanapun sebaiknya ini kita tidak hanya melihat kelebihan-kebihan yang ada, tetapi juga merefleksi kekurangan-kekuragan yang ada. Dengan harapan, masa depan kota Jayapura dan penduduknya sangat ditentukan oleh setiap pengambilan keputusan dalam penggunaan ruang dan lahan (urban land use) saat ini.

-----------------------------------------
*)Penulis adalah: Staf Pengajar pada Universitas Negeri Papua, Mahasiswa Pasca Sarjana Master of Urban Planning , The University of Melbourne. Australia.

Sumber: Tabloid Suara Perempuan Papua No.30 Tahun IV, 7-12, April 2008
Foto : Piter Gusbager

seleNGKAPNYA......

26 Februari, 2009

Penyusunan RTRW Diharapkan Perhatikan Kelestarian Alam


JAYAPURA- Gubernur Papua Barnabas Suebu, SH mengharapkan, konsep tata ruang wilayah suatu daerah mutlak memperhatikan kondisi ekonomi, sosial budaya, politik dan kelestarian lingkungan alam setempat.
Hal ini penting agar perencanaan tata ruang dalam rangka pembangunan ekonomi itu itu tidak terjadinya benturan dengan pemilik hak ulayat atau masyarakat adat.
Hal itu diungkapkan gubernur dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan Asisten I Bidang Aparatur dan Pemerintahan Setda Papua Drs. Eliezer Renmaur pada pembukaan acara Lokakarya Reviuw dan Pembelajaran Action Plan Visi Transfly Dalam Konsep Penataan Ruang Kabupaten di Swissbel Hotel Jayapura, Kamis (26/2) kemarin.
Dikatakan, persiapan penyusunan tata ruang wilayah (RTW) harus dikembangkan dengan memperhatikan berbagai aspek kehidupan, sehingga rencana tersebut nantinya akan dihasilkan setiap pemerintah daerah (Pemda) dalam bentuk dokumen milik publik.
"Saya sangat mendukung kegiatan ini karena memiliki nilai strategis karena memperkenalkan konsep visi Transfly yang selama ini telah diterapkan di Kabupaten Merauke karena sangat sinergis dengan pola ruang masyarakat adat dan keanekaragaman hayati," ujarnya.

Menurutnya, konsep ini merupakan suatu pendekatan penataan ruang terpadu yang berbasis ekosistem, serta mengakomodasi kepentingan pembangunan sosial, ekonomi, budaya dan pelestaria SDA melalui pelibatan para pemangku kepentingan termasuk didalamnya masyarakat adat pemilik ulayat.
Sesuai amanat UU nomor 26 Tahun 2007 tentang tata ruang, maka untuk menjawab ancaman terhadap lingkungan dan pemetaan keanekaragaman hayati dalam penyusunan pola dan struktur ruang, maka langkah-langkah pragmatis systematic dalam mencari solusi di Provinsi Papu, adalah segera menyelesaikan penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi dan RTRW yang telah dibuat itu segera diupayakan untuk memiliki legalitas hukum yang tetap.
Sementara itu, Direktur Program Konservasi Hutan WWF-Indonesia Dian Ahmad Kosasih menyatakan, berkaitan dengan rencana penyusunan RTRW Provinsi Papua, maka akan sangat bagus jika penyusunan RTRW itu memperhatikan pertimbangan-pertimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati dapat setara dengan pertimbangan-pertimbangan ekonomi.
Sebab kata dia, modal dasar untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan di Papua sangat ditentukan oleh pola penataan ruangnya. Karena itu diharapkan, melalui kegiatan ini dapat menghasilkan sumbangan dalam perencanaan tata ruang di Provinsi Papua. (mud)


Sumber: http://cenderawasihpos.com/27 Februari 2009 10:17:04
Sumber foto: blog.desrizal.com

seleNGKAPNYA......

22 Februari, 2009

Pengesahan Perda Tata Ruang (RTRW) Kabupaten Keerom dan Penyusunan RTRK Ibu Kota Kabupaten Dinilai Ilegal dan Sarat Kepentingan


JAYAPURA— Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRW) merupakan pedoman penyusunan rencana pembangunan jangka panjang dan pemanfatan ruang serta pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah kabupaten. Dimana penyelenggaraannya dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat yang dilandasi oleh sebuah Peraturan Daerah (Perda) sebagai Payung Hukum. Dalam proses penyusunan dokumen RTRW Kabupaten Keerom, Perda Tata Ruang Kabupaten Keerom dinilai inprosedural dan penyusunan Rencana Teknis Ruang Kawasan (RTRK) Ibukota Kabupaten di distrik Senggi dinilai Ilegal dan sarat akan kepentingan. Hal ini seperti yang disampaikan Tokoh intelektual Masyarakat Keerom, Piter Gusbager, S. Hut kepada Bintang Papua Rabu, (7/1) kemarin.
Menurut Gusbager, yang sedang menyelesaikan pendidikan Master of Urban Planning di Universitas Melbourne Australia, ada dua hal penting yang menjadi persoalan saat ini terkait perencaanaan dan pemanfaatan ruang di Kabupaten Keerom. Pertama, pengesahan Perda Tata Ruang (RTRW) sebagai payung hukum. Produk RTRW dan Peraturan Daerah (Perda) tentang Tata Ruang yang disahkan pada November tahun 2008 lalu seharusnya melewati proses konsultasi publik bersama stakeholders, namun sampai dengan pengesahannya tidak dilakukan, Perda tersebut juga tidak melewati kosultasi dengan pihak pemerintah provinsi dan pemerintah pusat sebelum pengesahan. Dengan demikian pengesahan Perda Tata Ruang ini terindikasi dilakukan dengan kompromi politik oleh Pemerintah dan DPRD Kabupaten Keerom.

Kedua, Penyusunan Rencana Teknis Teknis Ruang Kawasan (RTRK) Ibukota Kabupaten Keerom di distrik Senggi yang dilakukan oleh Pemkab dan PT. Lemtek Konsultan Indonesia milik Uninversitas Indonesia sebagai lembaga pengkaji dinilai cacat hukum dan sarat akan kepentingan dicerminkan dari adanya pengingkaran terhadap payung hukum Undang -undang 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Undang-undang 26 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Sarmi, Kabupaten Keerom, kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten raja Ampat, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Yahukimo, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Waropen, Kabupaten kaimana, Kabupaten Boven Digul, Kabupaten Mappi, Kabupaten Asmat, Kabupaten Bintuni dan Kabupaten Teluk Wondama. Akibatnya, dokumen yang menjadi landasan utama untuk penerbitan ijin dalam melakukan proses pembangunan di Kabupaten Keerom dianggap cacat hukum dan inkonsisten. RTRK Ibukota Kabupaten ini dinilai kontra produktif dengan RTRW sebagai sebuah dokumen induk dimana dalam RTRW jelas disebutkan bahwa Ibu Kota Kabupaten Keerom Berada di Distrik Waris. Pemerintah Kabupaten Keerom dalam hal ini Bappeda sebagai Badan Perencana yang bertanggung jawab melahirkan rencana-rencana pemanfaatan ruang di Kabupaten telah melakukan pembodohan kepada masyarakat. Gusbager yang sedang melakukan penelitian S2 tentang sistem perencanaan dan tata kota di Kabupaten Keerom juga menilai ada sejumlah pelanggaran terkait dengan penyusunan dan penerbitan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan Tata Ruang. Salah satu contoh pelanggaran adalah dokumen RTRK Ibukota Kabupaten Keerom di distrik Senggi telah jelas melanggar pasal 20 ayat 2 UU 26 Tahun 2002 tersebut diatas. Pelanggaran terjadi ketika Rencana strategi (strategic planning) bertentangan dengan Hukum Perencanaan (statutory planning), karena menurut teori perencanaan kota (Urban Planning) Statutory Planning adalah dasar dari penyusunan Rencana Strategi. Lebih fatal lagi dalam temuan di lapangan kegiatan fisik pembangunan Ibukota Kabupaten di distrik Senggi sedang berlangsung saat ini tanpa jaminan sebuah Payung Hukum. Dalam pembangunan perencanaan dan implementasi ibarat dua sisi mata uang logam. Kegagalan dalam perencanaan adalah indikasi kegagalan dalam implementasi pulaUntuk itu Gusbager mengaharapkan pihak Pemerintah Kabupaten agar dalam perencanaan segala aspek perlu pertimbangan yang matang dan bekerja sesuai dengan aturan yang berlaku serta dengan hati nurani jangan didasari oleh kepentingan. Pihak Universitas Indonesia sebagai lembaga pengkaji ilmiah harus bekerja secara benar dan profesional dengan memperhatikan semua aspek dalam pengambilan sebuah keputusan ilmiah. Dengan demikian pemindahan Ibukota Kabupaten Keerom dari distrik Waris ke distrik Senggi oleh pemerintah Kabupaten Keerom dengan mengabaikan Undang-undang dasar pembentukan Kabupaten Keerom dinilai sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan dan bentuk penggadaian terhadap gererasi yang akan datang.
Lebih lanjut, Gusbager yang adalah Staf Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua mengharapkan kebijakan pembangunan dilakukan dengan memperhatikan kondisi daerah dan kebutuhan mendesak masyarakat. Pembagunan Ibukota belum dirasa penting dan mendesak, karena kondisi masyarakat di Keerom saat ini masih sangat memprihatinkan. Masyarakat merupakan aset vital daerah, maka hal-hal yang menyangkut dengan kesejahteraan hidup (ekonomi, pendidikan dan kesehatan) harus mendapat perhatian serius dan konsisten.
Pembangunan di distrik dan kampung merupakan cikal bakal lahirnya sebuah kota yang beradap, sehingga fokus pembangunan harus dilakukan secara bertahap dengan mengacu pada landasan hukum yang berlaku. Kajian perencanaan Ibukota Kabupaten Keerom yang dilakukan oleh Bappeda dan UI merupakan dokumen rencana pembangunan jangka panjang sehingga jangan dieksekusi tergesa-gesa seperti yang terjadi saat ini. Terkait dengan peran DPRD Kabupaten Keerom dalam pengesahan Perda Tata Ruang Kabupaten Keerom, DPRD sebagai lembaga legislasi dengan fungsi kontrolnya memiliki tanggung jawab hukum dan sosial dinilai lalai. Ketika fungsi kontrol ini tidak berjalan semestinya, maka yang terjadi adalah pelanggaran-pelanggaran seperti yang telah disebutkan diatas. Sehingga arah pembangunan Kabupaten Keerom yang tertuang dalam visi dan misinya tidak dapat dicapai. Untuk itu kedua hal yang menjadi masalah penting dalam perencanaan dan pemanfaatan ruang di Kabupaten Keerom harus dikaji kembali sehingga tidak terjadi persoalan yang serius dikemudian hari.

Sumber: Cenderasih Pos tanggal, 19 Januari 2009

seleNGKAPNYA......

21 Februari, 2009

”Quo vadis” Arsitektur dan Kota di Papua?


Oleh: Y. Emigita Yeimo *)

Identitas suatu suku atau bangsa bukan terlihat dari pakaian adat atau lagu daerahnya. Tetapi, arsitektur sangat berperan dalam ketahanan identitas dan ciri khas pada proses perubahan sosial dan jaman yang pada akhirnya melahirkan anak yang namanya ”krisis identitas”.
Kenyataan bahwa, kota-kota di Papua hidup dan berkembang bagaikan sebuah peluru rudal “tanpa kendali”. Pejabat dan penguasa [pihak berwenang] hanya berpikir dan mengendalikan kunci rudal “dompet rakyat”, yang berisikan hasil jualan pasar tradisional [bukan pasar moderen seperti, mall, swalayan, hypermarket dll]. Tanpa memperduli rudal itu akan meledak entah kapan dan dimana. Penataan dan perencanaan kota dan kampung kota, tidak pernah mendapat perhatian serius. Apa lagi proyek itu dilaksanakan oleh pemimpin [gubernur-bupati-camat] yang sebelumnya berbeda orang [pemimpin]. Sehingga diperlukan suatu acuan pembangunan perencanaan kota [master plann city] yang berjangka panjang yang mengacu pada perwujudan dan mencari identitas diri arsitektur kepapuaan. Masyarakat pulau Bali, sampai saat ini berhasil mempertahan ciri khas kearifan arsitektur tradisional sehingga, para wisatawan menikmati bukan alam pantai saja yang menjadi obyek wisata, tetapi lebih dari itu adalah setiap rumah diwajibkan untuk memperlihatkan arsitektur tradisionalnya.

Menurut hemat saya, konsep yang sedang dipakai dalam menangani kota di Papua saat ini adalah penataan dan perencanaan “bukan perancangan” sehingga banyak kota di Papua arah pengembangan kotanya ”tidak jelas”, ”keliru”, ”mengandung unsur politis” dan lebih jauh lagi adalah menggusur indentitas lokal, terutama ciri khas arsitektur tradisionalnya. Mengapa dikatakan harus menggunakan “perancangan” [bukan perencanaan] karena perancangan melibatkan semua pihak dalam proses perencanaan kota sebelum hasil akhir menjadi rencana umum kota [master plan city]. Master plan city adalah hasil perencanaan dari perancangan kota dengan jangka waktu yang panjang [akan datang].
Dampak negatif yang akan kita [orang Papua] rasakan akibat perencanaan kota tanpa master plan city, adalah pertama, menempatkan ibukota kabupatren/ kecamatan secara sembarang, sehingga perkembangan kota menjadi lamban. Kedua, belum adanya peerencanaan kota secara partisipatif, bersama masyarakat lokal, sehingga masyarakat meminta bayar kerugian atas pembangunan jalan. Walau pembangunan jalan itu, untuk masyarakat setempat. Ketiga, belum atau tidak ada kota yang di desain dengan dengan sisitem ‘zona’ sehingga sebuah kota hadir dann dibangun secara ambur aduk, tidak jelas. Keempat, lebih dari itu hampir semua kota-kota di Papua yang telah ada dan baru berkembang tidak pernah, atau belum mendapat perhatian utnuk menggali kearifan lokal terutama arsitektur tradisional, sehingga banyak darinya sedang dan akan tiggal nama. Kelima, faktor utilitas kota, yang belum begitu serius sehingga banyak kota yang sering mengalami kebanjiran. Keenam, lebih jauh dari itu adalah masyarakat Papua pinggiran kota akan terkena penggususuran kota secara besar-besaran setelah pemerintah memahami konsep desain kota yang baik dan benar.
Menurut hemat saya, kehidupan masyarakat pigir kota di Papua suatu saat akan sama dengan masyarakat pigir kota di Jakarta, dan akan terjadi “penggusuran” secara besar-besaran setelah pemerintah memahami semua itu. Misalnya, itu terjadi, siapa yang harus disalahkan? Apakah pemerintah, sebagai pengambil kebijakan? Para perancang seperti arsitek, perencana kota dan wilayah, sebagai pewujud ide dan gagasan penguasa/ pemerintah? Atau para kontraktor yang melaksanakan proyek tersebut? Ataukah masyarakat itu sendiri? Jawabannya kembali pada diri kita masing-masing, untuk pentingnya merencanakkan kota secara partisipatif. Tetapi semua itu berawal dari penguasa. Karena yang meletakan “batu pertama” sebagai tanda untuk membangun atau memulai suatu proyek [pembangunan kota, jalan, jembatan, dan gedung] adalah pemerintah atau penguasa [baca:yamewapapua.blogspot.com].
Romo, Y.B. Mangunwijaya [almarhum] salah seorang pakar arsitek nasional, mengemukakan dua hal pokok yang perlu diperhatikan dalam merencanakan dan merancang karya yang bernilai arsitektur; yaitu guna dan citra. Guna menunjukkan pada keuntungan, pemanfaan dan pelayanan yang dapat kita peroleh dari bangunan. Guna dalam arti aslinya, tidak hanya bermanfaat tetapi juga punya daya yang menyebabkan kita bisa hidup lebih nyaman. Sedangkan citra menunjukkan suatu gambaran [image], suatu kesan penghayatan yang mempunyai arti bagi seseorang.
Pada masyarakat tradisional, kegiatan merencana, merancang, melakukan dan mengelola lingkungan buatan merupakan kegiatan swadaya dan swakarsa lokal dari penduduknya. Dengan demikian, lingkungan fisik yang terbentuk betul-betul secara wajar dan pas mewadahi aktivitas manusia yang menghuninya dengan segenap tata cara dan adat istiadatnya. Keselarasan, keserasian dan keseimbangan ekologis pun lantas muncul dengan sendirinya secara spontan tanpa kehadiran perencana formal. Karya arsitektur dan kota lebih merupakan karya komunal dari penduduknya yang saling kenal dan memiliki warisan norma, tata nilai, dan tradisi yang disepakati bersama.
Selain itu, pemekaran kota, dan wilayah dalam sebuah kabupaten adalah penataan ruang wilayah, dan membangun manusia yang ada dalam wilayah itu. Penataan ruang wilayah, bukan sekedar menarik garis “merencanakan” untuk membongkar gunung, menggusur rumah-rumah. Dan lebih jauh dari itu adalah penyerahan tanah secara cuma-cuma [gratis] yang dilakukan oleh masyarakat setempat demi pembangunan. Lalu pertanyaannya adalah apa yang diterima oleh rakyat setelah tanah ulayat mereka diberikan kepada pemerintah atas nama pembangunan? Pembangunan dalam konsep penataan ruang kota adalah penataan tanah dan manusia yang punya tanah. Walaupun ada nasehat yang mengatakan “maki akukai, kaa ko tetai” [tanah adalah mama, jangan dijual], siapapun orang Papua, yang menjual tanah akan menghadapi masalah [hukum karma].
Dalam menata lingkungan dan menatap masa depan yang lebih baik. Rumah adat [arsitektur tradisional] dibangun atas kesepakatan semua pihak [lingkungan alam, manusia, alam mistic dan ugatame; pencipta]. Mengapa? Karena, keempat unsur ini adalah dasar dan pedoman hidup manusia yang tidak dapat dipisahkan. Walaupun manusia mengelola, alam tetapi ia harus meminta kesepakatan dengan unsur yang lain. Tidak boleh salah satu unsur dirugikan atau diuntungkan.
Membangun “bangunan” di Papua bersama “kuli bangunan lokal” adalah keputusan [kebijakan] yang cocok. Mengapa? Karena mereka [orang Papua asli] tidak perlu membutuhkan waktu untuk mempelajari keadaan lingkungan sekitar [terutama mempelajari otak dan tangan alam]. Tidak seperti “kuli bangunan” orang pendatang [Ambon, Jawa, Toraja, Bugis, Batak dan lain sebagainya]. Dimana meraka dituntut untuk mempelajari “otak” dan “tangan” alam Papua. Karena, otak alam Papua tidak sama dengan otak alam di daerah Indonesia lainnya. Mengapa? Karena banyak data [buku] yang bisa dapat untuk mempelajari tentang alam di daerah lain di Indonesia. Tetapi alam Papua, selain kurangnya data [buku] tentang itu, alam Papua sangat misterius, sehingga membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk mempelajarinya.
Arsitektur tidak hanya mampu memenuhi hasrat dasar berkegiatan manusia dalam batas ruang yang dihasilkannya, tetapi juga mampu menyampaikan makna apabila para pemakai mampu menafsirkannya. Karya arsitektur dan ruang perkotaan mudah menjadi media penyampaian pesan politis seorang penguasa [penjajah]. Sejarah mencatat bahwa kaisar, diktator, dan penguasa mendirikan bangunan dan ruang kota monumental untuk membangkitkan suasana khusus dalam menjaga wibawa, membina semangat, atau bahkan mengancam rakyatnya.
Untuk mengatasi kesemrawutan arsitektur dan kota-kota di Papua yang sedang berkembang saat ini, agar serasi, selaras dan seimbang dengan iklim dan budaya bangsa Papua, maka yang perlu dilakukan adalah menggali arsitektur tradisional yang masih kita miliki. Napas dan jiwa arsitektur tradisional perlu ditangkap dan diejawantahkan kembali ke dalam wadah yang benar. Untuk mengungkapkan budaya Papua lewat karya arsitekturnya dan perencanaan kota dan mengatakan kepada dunia bahwa bahwa citra identitas dan ciri khas arsitektur kepapuaan yang pernah ada ini adalah warisan budaya leluhur yang kita perlu jaga bersama, agar kita tidak mengami krisis identitas. Semoga tetap lestari....!!!???


Referensi Buku:
1. Drs. Taringan, Robinson, MRP [2005] Perencanaan pembangunan Wilayah, Bumi Aksara, Jakarta.
2. Drs. Haryono, Paulus, MT [2007] Sosiologi Kota Untuk Arsitek, Bumi aksara, Jakarta.
3. Sinar Tanudjaja F. Christian J., [1998] Arsitektur Modern, Tradisi-tradisi dan aliran-aliran serta peranan politik-politik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta.
4. Raldi Hendro Koestoer dkk [2001] Dimensi Keruangan Kota, teori dan Kasus, UI Press, Jakarta
5. Zahnd, Markus [2006] Perancangan Kota Secara Terpadu, Kanisius, Yogyakarta.


Referensi internet
1. http//:www: google.co. id
2. http//:www: papua.go.id
3. http//:www: Cendrawasihpos.com
4. http//:www: wikimu.com
5. http//:www: sinar harapan.co.id
6. http//:www:pendidikanpapua.blogspot.com
7. http//:www:yamewapapua.blogspot.com

Keterangan foto.

Di foto oleh: Yunus E. Yeimo, rumah pos penjagaan dinas perhubungan di Terminal Jayapura Kota.

*) Penulis adalah pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Arsitektur Papua/ Yamewa Institute for Papuan Arhitecture development and Urban Studies [Yamewa-Papua]




seleNGKAPNYA......

24 Januari, 2009

Tipologi Arsitektur Tradisional dan Kearifan Membangun Suku Mee Papua


Oleh: Yunus E. Yeimo

Siapa suku Mee itu? Suku Mee adalah salah satu suku dari 312 suku yang ada di Papua [Athwa, 2004: 7]. Suku Mee mendiami di wilayah Pegunungan Tengah Papua Bagian Barat. Ciri khas wilayah suku Mee adalah di sekitar danau Paniai, danau Tage, Danau Tigi, Lembah Kamu (sekarang Dogiyai) dan pegunungan Mapiha/ Mapisa [Boelaars, 1986:85, Koentjaraningrat, 1963]. Namun, kini secara administrasi pemerintahan suku Mee berada di sepuluh distrik dari Kabupaten Paniai dan empat Distrik dari Kabupaten Nabire [Bunai, 2007:1].
Kebudayaan universal suku Mee seperti, mata pencaharian, bahasa, sistem kekerabatan, teknologi tradisional, hukum adat, nilai-nilai budaya lainnya tidak disinggung dalam tulisan ini. Tetapi, pembahasan mengenai kebudayaan universal suku Mee ini telah banyak di bahas dan dapat dijumpai dalam Koentjaraningrat, “Penduduk Irian” (1963:300-320), Jan Boelaars, “Manusia Irian” (1986: 85-105), serta beberapa karya orang Mee itu sendiri yang telah dipublikasi seperti, Beny Giay “Zakheus Pakage and His Communities, Indegenous Religious Discourse, Socio-Political Resistance, and Ethnohistory of the Me of Irian Jaya” (1995), Yoseph Tanimotiyabi Bunai “Mobu dan Ayii Jalan Menuju Keselamatan Inisial dan Kekal Menurut Suku Mee di Papua” (2007), Titus Chist Pekei “Manusia Mee di Papua” (2008), Gotai Ruben Pigai “Mungkinkah Nilai-nilai budaya Hidup Suku Mee Bersinar Kembali? (2008).

Dalam tulisan ini penulis membatasi diri pada kajian [gambaran] mengenai, berapa tipe arsitektur tradisional dan bagaimana kearifan membangun yang dimiliki orang Mee. Dalam kaitannya dengan alam, masyarakat dan kebudayaannya.
Arsitektur tradisional adalah wujud suatu kebudayaan yang bertumbuh dan berkembang bersama dengan pertumbahan dan perkembangan suatu suku atau bangsa. Dalam arsitektur tradisional Suku Mee Papua terkandung secara terpadu wujud kebudayaan orang Mee seperti ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturann, pendangan hidup dan lain sebagainya (Koentjaraningrat, 2002:5) .
Arsitektur tradisional adalah wujud karya nyata leluhur. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah karya leluhur itu dapat di lestarikan atau dimusnahkan, karena mengangap “kuno, kampungan, ketinggalan, dan tradisional?”. Arsitektur tradisional merupakan suatu wujud kebudayaan yang bertumbuh dan berkembang bersama dengan pertumbahan dan perkembangan suatu suku atau bangsa. Dan merupakan wujud unsur kebudayaan yang bisa diraba/ dilihat [Koentjaraningrat [2002], dalam [Nurani, 2004:11-12].
Dalam arsitektur tradisional suku Mee Papua terkandung nilai-nilai budaya yang diperlihatkan melalui karya arsitektur tradisional. Arsitektur tradisional yang dapat kita lihat saat ini adalah hasil kesimpulan akhir atas pengujian alami yang di lakukan oleh leluhur orang Mee. Selain itu, yamewa merupakan kesimpulan dari apa yang dipikirkan oleh oleh Mee, dan “diwujudkan” [dibangun] sebagai tanggapan terhadap sekumpulan kondisi yang kadang-kadang hanya bersifat fungsional semata atau merupakan refleksi sosial, ekonomi, politik, perilaku atau tujuan-tujuan simbolis [Cing, 1996].
Arsitektur tradisional suku Mee Papua berikut ini adalah salah satu dari berbagai maacam suku di Papua yang memilki nilai-nilai, bentuk dan ukuran, serta ungkapan jiwa melalui arsitektur yang sangat berbeda. Tulisan berikut ini adalah salah suku yang berhasil dihimpun melalui suatu penelitian “survai” pada beberapa waktu laktu lalu. Dalam penelitian “survey” yang berjudul “Studi Tipologi dan Kearifan Arsitektur Tradisional Suku Mee Papua” itu berhasil dikumpulkan data dan fakta [gambar arsitektur] di lokasi penelitian yang dimaksud. Pada akhirnya menemukan beberapa tipe arsitektur tradisional yang dimiliki oleh suku Mee Paniai Papua yang di bahas berikut ini [baca: wikimu.com].
Tulisan berikut ini merupakan gambaran umum daripada hasil penelitian itu, yang di bahas dari sudut pandang arsitekturnya saja. Untuk, itu pembahasan yang lebih mendalam [lengkap] dengan kajian filosofi, antropologi budaya, sosial, dan lain sebagainya kita akan bahas di waktu dan lain tempat [waktu-waktu yang akan datang].

1.Tipologi arsitektur rumah tradisional
Ada 7 (tujuh) Tipe arsitektur rumah tradisional diantaranya adalah (1) Yame Owa Secara harafia Yame artinya laki-laki Owa artinya rumah. Yame Owa artinya (Rumah tinggal laki-laki). Rumah ini dibangun untuk tempat tinggal laki-laki dalam suatu kampung. Semua bangunan (Yame Owa) yang di bangun dengan pertimbangan-pertimbangan khusus.
Fungsi rumah Yame Owa bukan hanya merupakan suatu tempat tinggal laki-laki. Tetapi dalam rumah ini terjadi berbagai macam aktivitas yang perlu dilakukan oleh laki-laki secara turun-temurun. Selain sebagai tempat tinggal laki-laki, Yame owa adalah pusat komunikasi dan informasi aktual, tempat menyelesaikan persoalan (perang, maskawin), tempat menyimpang alat-alat perang (panah) pusat pembuatan alat perkebunan dan alat kesenian. Dan tempat mendapatkan pengetahuan, pengalaman, dan nasehat bagi semua laki-laki sejak usia 4/5 tahun.
Tidak ada ukuran standar yang diturunkan oleh nenek moyang. Tetapi dibangun dengan perkiraan atas kebutuhan akan ruang dan penghuni. Cara menentukan ukuran bangunan adalah dengan mengukur dengan tangan (jari-jari) atau kaki. Cara lain adalah memperkirakan dengan ukuran tinggi manusia dengan tinggi bangunan. Ukuran bangunan ini, yang telah dibangun adalah Panjang ±350cm. Lebar ±300cm. Tinggi lantai ±60cm. Dinding±150-200cm. Kemiringan Atap ±150-300. Ketinggian atap ±100-130cm.
Bahan bangunan yang dipakai pada Yame Owa adalah untuk penutup atap menggunakan kulit kayu. Panjang pohon ini diperkirakan sekitar ±30.000cm-50.000cm. Diameter pohon ini sekitar 30 – 70 centi meter. Ketebalan kulit kayu ini adalah 0,3 cm. Panjang ukuran yang sering dipakai untuk penutup atap adalah ± 60 - 200 cm. Panjang ini bukan standar yang dipakai, namun ditentukan serat pohan itu sendiri.
Jenis bahan yang di pakai untuk struktur bangunan adalah berupa tiang-tiang pancang. Pada dinding bangunan mempunyai tiga lapisan yaitu lapisan pertama dinding luar mengunakan tiang-tiang, lapisan kedua kulit kayu dan lapisan ketiga menggunakan papan cincang. Bahan yang dipakai untuk lantai terdiri dari tiang pondasi panggung, balok induk (mutaidaa), balok anak (yokaa mutaida), deretan kayu buah yang berukuran kecil yang di ikat dengan balok anak. (katage). Selanjutnya adalah lapisan paling atas yaitu kulit pohon kelapa hutan. (tibaa).
(2) Yagamo Owa, secara harafia kata Yagamo artinya perempuan Owa artinya rumah, Yagamo Owa artinya (Rumah tinggal perempuan). Fungsi rumah Yagamo Owa bukan hanya merupakan suatu tempat tinggal bagi perempuan, tetapi dalam rumah ini terjadi berbagai macam aktivitas yang dilakukan oleh perempuan secara turun-temurun. Selain sebagai tempat tinggal perempuan, fungsi lain dari Yagamo Owa adalah pusat komunikasi dan informasi aktual, serta tempat proses belajar bagi anak-anak perempuan. Tempat menyimpang alat-alat perkebunan (yadokopa), pusat pembuatan alat penangkap ikan.
Ukuran bangunan Yagamo Owa, adalah panjang 350cm. Lebar 300cm. Tinggi lantai ±60cm. Dinding ±150- 200 cm. Kemiringan atap ±150-300. Ketinggian atap ±100-130cm.
Bahan bangunan yang dipakai pada Yagamo Owa, untuk penutup atap menggunakan daun pandang dan alang-alang serta beberapa jenis bahan penutup atap lainnya. Penggunaan jenis bahan penutup atap ini disesuaikan dengan ketersediaan bahan di sekitarnya. Pada umunya, bahan penutup atap Yagamo Owa adalah yage dan widime. Kedua jenis bahan ini mampu bertahan sampai berpuluhan tahun. Secara struktural bangunan, Yagamo Owa hampir sama dengan Yame Owa. Namun, yang membedakan adalah pada ornamen-ornamen san bahan yang digunakan.
3. Tii-Daa Bega Owa (Rumah Honai), secara harafiah tii-da bega owa artinya sebuah bangunan yang membentuk gunung yang mempunyai ujung yang tajam.
Fungsi bangunan ini adalah dua yaitu difungsikan untuk tempat tinggal laki-laki dan tempat perempuan. Selain itu fungsi lain adalah tempat menyimpan barang-barang berharga dari laki-laki ataupun perempuan.
Lokasi bangunan ini berada di kampung-kampung, namun jarang di bangun dengan alasan bahwa rumah honai adalah rumah adat suku Dani (Wamena). Tetapi ada perbedaan yang dapat dilihat adalah ketinggian bangunan. Dimana bangunan rumah honai suku mee lebih tinggi dari pada dani (wamena).
Bahan yang digunakan untuk memdirikan banguan ini adalah sama dengan bangunan lain yang ada di suku mee. Tetapi pada bagian penutup atap menggunan alang-alang. Selain itu pada rangka atap banyak menggunakan kayu buah. Pada setiap dinding hanya mengunakan satu lapisan dinding. Sehingga pada malam hari terjadi kedinginan.
Ukuran bangunan ini adalah tinggi lantai 60cm, tinggi dinding 150-200cm, tinggi atap ± 100cm, lebar ± 250-300cm, panjang ± 250- ±300m. Bentuk bangunan ini sama dengan lingkaran dengan besar diameter ±250-300cm.
4. Yuwo Owa, secara harafiah dapat diartikan bahwa Yuwo artinya pesta Owa artinya rumah, sehingga rumah ini sering disebut rumah pesta adat suku Mee. Bila dipandang dari segi aktivitas dalam rumah ini, memiliki banyak “nama”. Aktivitas yang dilakukan pada saat puncak pelaksanaan pesta adat, sebelum aataupun sesudah sangat berfariasi.
Fungsi bangunan ini adalah pertama, tempat melakukan jual-beli dengan cara balter dan uang tradisional (kulit kerang). Kedua, tempat mencari jodoh, saat melakukan pesta adat laki-laki dan perempuan saling tukar gelang atau kalung sebagai tanda ungkapan cinta. Ketiga, tempat hiburan malam. Satu minggu satu kali mereka tentuykan sebagai malam hiburan, untuk mengekspresikan seni tari maupun seni suara dalam rumah ini. Untul mendirikan rumah ini perlu pertingan secara matang. Bangunan ini adalah bangunan yang paling besar yang dibangnun oleh suku Mee.
Ukuran bangunan ini adalah tinggi lantai ±40cm, tinggi dinding ±200cm, tinggi atap 150cm, lebar bangunan 1.300cm, panjang bangunan ± 2.100cm.
Bahan yang digunakan untuk mendirikan bangunan ini adalah sama dengan bahan bangunan lainya. Tetapi pada bagian penutup atap menggunakan daun pandang. Selain itu pada rangka atap banyak menggunakan tiang-tiang. Pada setiap dinding hanya mengunakan satu lapisan dinding (papan cincang). Sehingga pada malam hari terjadi kedinginan. Bentuk banguan ini sama dengan lain yaitu persegi empat.
(5) Daba Owa (Rumah Pondok), secara harafia kata Daba artinya Daba kecil Owa artinya rumah, Daba Owa artinya (Rumah pomdok kecil). Rumah pondok di bangun di kebun hutan.
Fungsi rumah Daba Owa bukan hanya merupakan suatu tempat istirahat pada siang hari, tetapi dalam rumah ini terdapat banyak fungsi yang meliputi pertama, tempat masak-masak hasil kebun. Kedua, tempat menyimpan kampak/ parang, alat-alat perkebunan, dan alat-alat perburuan. Ketiga, tempat berlindung dari hujan dan panas sinar matahari. Keempat, tempat menjaga binatang liar agar tidak mencungkil tanaman.
Ukuran bangunan Daba Owa, adalah panjang ±250cm. Lebar ±200cm. Tinggi dinding ±150-200cm. Kemiringan atap ± 150-300. Ketinggian atap ± 100-130cm.
Bahan bangunan yang dipakai pada Daba Owa, untuk penutup atap menggunakan daun pandang,alang-alang dan kulit kayu. Penggunaan jenis bahan penutup atap ini disesuaikan dengan ketersediaan bahan di sekitarnya. Secara struktural bangunan, Daba Owa tidak sebanyak lapisan seperti Yame Owa dan Yagamo Owa. Struktur dinding Daba Owa hanya satu lapisan. Deretan tiang-tiang yang membentuk dingding ini, juga berfungsi sebagai struktur utama bangunan ini.
(6) Ekina Owa (Kandang Babi), Babi merupkan jenis binatang piaraan yang sangat berharga dalam kehidupan suku Mee. Sehingga untuk menjaga agar babi itu tetap hidup dalam kandang yang aman dan nyaman maka dibangun sebuah rumah (kandang) sendiri. Bagi orang Mee babi merupakan salah satu penentu status sosial dalam kehidupan masyarakat, yang sering disebut tonawi. Seseorang bisa dikatakan tonawi karena dia memiliki kekayaan (babi banyak) dan mempunyai istri yang banyak serta mempunyai atau mengetahui hal-hal mistik.
Fungsi rumah ini adalah tempat tinggal/ kandang babi. Menurut cerita mitos, manusia (orang mee), hidup bersama dengan ekina dalam satu rumah. Sekarang lokasi rumah ini berada di pingir atau di dekat rumah laki-laki atau perempuan. Jarak antara rumah tinggal dengan ekina owa di batasi oleh pagar (wee eda). Ukuran bangunan ini adalah sekitar 1-2 meter, ukuran ini sangat berfariasi. Dan di tentukan oleh jumlah babi yang di milikinya.
Bentuk bangunan ini sama dengan bentuk-bentuk bangunan lain, yaitu persegi empat. Pada atap bangunan menggunan bentuk atap pelana, tetapi hanya sebagian.
Bahan-bahan yang di pakai untuk membangun rumah ini meliputi untuk struktur utama dan pendukung adalah kayu. Bahan penutup atap adalah kulit kayu dan alang-alang. Untuk pengikat antara struktur utama, pendukung maupun penutup adalah rotan dan beberapa jenis tali.
(7) Bedo Owa (Kandang Ayam). Orang Mee sampai saat ini meyakini bahwa ayam merupakang binatang piarahan pendantang, karana belum terdapat di daerah Paniai. Namun demikian, pada saat ini yaitu sekitar tahun 1970-an ayam dipelihara sebagai salah pemberi protein bagi tubuh manusia. Ayam hadir di daerah atas bantuan pemerintah dan di bawah dari luar daerah ini.
Sesuai dengan nama rumah ini, fungsinya adalah kandang ayam. Dalam rumah ini orang Mee memelihara ayam. Ayam-ayam akan tinggal dalam rumah ini hanya pada malam hari. Karena pada siang hari ayam-ayam tersebut berkliharaan di pinggir rumah atau kebun dekat ruamh tinggal. Sistem pemeliaraan ini memberikan kesempatan pada burung-burung pemakan daging misalnya elang untuk membunuh anak ayam.
Saat ini orang Mee mengetahui dan membedahkan bagaimana mendirikan sebuah rumah untuk kandang ayam ataupun bebek, atau jenis binatang piaraan lainya. Akan tetapi sampai saat ini belum mengenal cara dan sistem pemeliharaan yang baik dan benar.
Bentuk bangunan ini sama dengan bentuk-bentuk bangunan lain, yaitu persegi empat. Pada atap bangunan menggunan bentuk atap pelana, tetapi hanya sebagian. Ukuran kandang ayam ini, memiliki panjang ±200cm, lebar ±200cm.
Bahan-bahan yang di pakai untuk membangun rumah ini meliputi untuk struktur utama dan pendukung adalah kayu. Bahan penutup atap adalah kulit kayu dan alang-alang. Untuk pengikat antara struktur utama, pendukung maupun penutup adalah rotan dan beberapa jenis tali.

2.Tipologi Arsitektur Pagar Tradisional
Pagar merupakan suatu elemen arsitektur yang di gunakan untuk melindungi kenyamanan dalam rumah maupun kebun. Ada dua fungsi utama pagar bagi orang Mee adalah; pertama memagari rumah tinggal entah itu rumah tinggal laki-laki atau rumah tinggal perempuan. Kedua mengelilingi kebun agar babi atau pencuri tidak masuk kedalam kebun.
Babi merupakan binatang piarahan yang berharga, cara memelihara babi (orang Mee) adalah malam hari di masukan kedalam kandang (ekina owa). Tetapi pada siang hari dibiarkan untuk berkeliaran di sekitar kebun atau rumah. Orang Mee hingga saat ini masih belum mengenal cara memelihara ternak secara moderen (dalam kandang).
Sistem pemeliharaan babi seperti ini membuat orang Mee, harus berpikir untuk membuat pagar, agar makanan dalam kebun tetap tumbuh dengan baik, tanpa gangguan dari binatan liar, terutama babi (ekina).
Ada tiga jenis pagar yang di buat oleh masyarakat suku Mee yang di bedakan menurut bentuk, kualiatas bahan yang digunakan, ukuran, dan cara pembuatan dari setiap pagar yang ada diantaranya;
(1)Wee eda adalah pagar ini di tanam secara vertikal. Secara kualitas bahan, bila di banding dengan kedua jenis pagar, maka pagar ini memiliki kualitas yang cukup tinggi. Pemilihan jenis pohon untuk pagar ini tidak sembarang. Telah di tentutukan beberapa jenis pohon untuk membuat pagar. Jenis pohon yang pakai untuk membuat pagar ini antara lain, Yewo (kayu besi), Digi/ Didame, Obai, Duigi, Amo.
Selain kualitas bahan yang memiliki tingkat ketahanan yang cukup lama, pagar jenis ini juga sumber pendapatan uang (mege). Apabila suatu pohon ketika di tebang atau di belah keras maka jenis pohon ini memiliki kualitas ketahanan yang baik.
Pagar ini berfungsi sebagai, pertama pembatas tanah leluhur/ kebun, kedua pembatas rumah dengan rumah, ketiga mengelilingi kebun agar babi tidak mencungkil makanan. Keempat mendirikan kandang ayam (bedo owa) atau babi (ekina owa).
Lokasi pagar ini biasanya di dataran rendah, terutama untuk kebun-kebun di sekitas rumah. Untuk kebun hutan (kebun yang di buat dengan membersikan, menebang pohon disekitarnya) jarang di gunakan jenis pagar ini. Umumnya pagar ini di gunakan untuk memagari rumah dengan kebun di sekitar rumah yang terdapat banyak keliaran babi di sekitarnya.
(2) Petu Eda (Pagar Horinsontal). Secara kualiatas bahan pagar ini masig lebih rendah dibanding wee eda. Tidak tahan lama, karena menggunkan kualitas bahan rendah. Ukuran pagar lebar±2cm, panjang ±200-300cm. Bentuk pagar ini adalah merupakan susunan papan yaang disusun dari bawah keatas. Papan-papan ini diikat pada pagar yang ditanam secara vertikal. Pagar ini muda di buat, sehingga waktu pengerjaan membutuhkan waktu relatif singkat.
Pagar ini, dibuat pada lokasi tertentu yang ditentukan dari lingkungan sekitrarnya. Misalnya, kebun hutan (bukit), lembah. Pemilihan pagar jenis ini, yang digunakan pada kebun hutan dan lembah dengan pertimbangn. Pertama, mudah mendapat bahan untuk membuat pagar. Kedua, jenis pagar yang bersifat sementara. Ketiga muda disesuaikan dengan kontur tanah. Keempat, proses pengerjaan dan pembuatan yang muda dan gampang.
(3) Tege Eda (Pagar Tiang). Pagar jenis ketiga yang dibuat oleh masyakat suku Mee adalah tege eda. Secara kualitas bahan, serta ketahanan terhadap iklim sekitar sangat relatif singkat. Bahan pembuatan pagar ini, diambil dari kayu yang masih muda (baru tumbuh). Masyarakat Papua menyebut kayu buah.
Pagar ini digunakan untuk mengelilingi kandang ayam. Tetapi, biasa digunakan untuk mengelilingi kebun atau rumah. Ukuran ketinggiannya lebih tinggi.

3.Tipologi Arsitektur Jembatan Tradisional.
(1) Goo Koto, (Jembatan Gantung). Jembatan ini merupkan jmbatan sangat panjang. Fungsi jembatan ini adalah menyebragi ke kebun hutan atau luar kampung. Bentuk jembatan ini adalah model jembatan gantung. Namun yang menjadi persoalan atau bahaya adalah ketika menyebrang jembatan ini jatuh, maka manusia tersebut tidak di selamatkan, karna hanyut dalam air.

(2) Koma Koto, (Jembatan Model Perahu). Disebut jembatan model perahu karana bentuk dan cara pembuatan jembatan ini seperti perahu tradisional. Panjangnya jembatan ini ditentukan dari besar kecilnya kali atau sungai. Membuat jembatan ini, di buat di hutan seperti perahu tradisional. Kualitas bahan (kayu yang dipakai) adalah kayu besi (yeewo piya. Jenis kayu ini adalah salah satu jenis kayu yang kuat dan besar. Panjang satu pohon mencapai 70-100meter.

(3) Tege Koto (Jembatan Tiang). Tege koto, artinya jembatang tiang karena hampir semua kayu yang dipakai adalah tiang. Bahan-bahan untuk membuat jembatan ini dipilih beberapa jenis kayu berdasarkan kuliatas kayu. Kayu yang digunakan untuk jembatan ini adalah amoo piya, digi piya, yegou dan beberapa jenis kayu yang dianggap kuat dan bertahan terhap air.
Pada zaman dulu, pengikat antar tiang-tiang pada struktur utama, tiang penyangga maupun struktur pendukung adalah tali. Jenis tali yang dipilih adalah rotan dan beberapa jenis tali laninnya. Sesuai degnan perkembangan zaman, saat dapat sangat terlihat beberapa rumah pagar dan jembatan menggunkan paku dan kabel atau kawat besi.
(4) Piyauti Koto (Jembatan Darurat), Jembatan ini di buat pada saat air sungai pasang. Letak jembatan ini adalah di hutan karena memang di gunakan hanya untuk menyebrang saat air sungai banjir. Jembatan ini juga model perahu, namun bisa dikatakan jembatan darurat sebab sering terjadi banyak banjir saat musim hujan.

Kesimpulan
Bahwa arsitektur adalah simbol yang mencerminkan dasar hidup manusia. Arsitektur tradisional suku Mee adalah SIMBOL PEMERSATU ide, perasaan, perbedaan pandangan. Suku Mee memandang Arsitektur tradisional adalah tempat dan hasil budaya . Di situ mereka memaknai setiap fenomena alam dan masyarakat yang dihadapi dalam proses hidupnya.
Pembentukan ruang pada arsitektur Suku Mee terjadi dengan memertimbangkan tradisi masyaraakat dan penggunaan bahan-bahan lokal. Karena itu arsitektur suku Mee adalah salah satu contoh timbal balik antara alam dan budaya manusianya (nature and culture) yang bagus. Hal ini perlu dikemukakan karena, perkembangan mutakhir, arsitektur tidak lagi meningindahkan tradisi dan bahan, bentuk lokal sehingga banyak darinya kehilangan identitas.

Acuan pustaka
1.Athwa, Ali [2004]; Islam atau Kristenkah Agama Orang Irian, Pustaka Da’i; Jakarta.
2.Boelars, Jan [1986] Manusia Irian,Dahulu, Sekarang dan Masa Depan,Gramedia; Jakarta.
3.Basrowi, [2008] Pengantar Sosiologi; Galia Indonesia; Bogor.
4.Bunai, Tanimoyabi Yoseph, [2007] “Mobu dan Ayii, Jalan Menuju Keselamatan Inisial dan Kekal Menurut Suku Mee di Papua; Elmasme “Gaiya” dan Dewan Adat Paniyai.
5.Catanese, Anthony J. dan James C. Syder; 1995. Pengantar Arsitektur, Erlangga, Jakarta.
6.Effendhie, Machmoed, [1999] Sejarah Budaya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; Jakarta.
7.Gobay, D. Mekaa [2007] Perempuan Papua Barat, Dalam Kekerasan Militer, Budaya, Ekonomi dan Kesehatan, Sumbangsih Press; Yogyakarta.
8.Gobay, Jhon. 2001. Membangun Kabupaten Paniai dengan Konsep Budaya Emawa/ Yamewa (skripsi) STPMD “APMD” Yogyakarta
9.Pekei, Christ, Titus [2007] Manusia Mee di Papua, Proteksi Kondisi Masa Dahulu, Sekarang dan Masa Depan diatas Pedoman hidup, Galang Press; Yogyakarta.
10.Pigai, Gotai, ruben [2008] Mungkinkah Nilai-nilai Budaya Hidup Suku Mee Bersinar Kembali?, Deiyai/ Yakama; Jayapura.
11.Don, Richardson, [1977] Penguasa-Penguasa Bumi, Penerbit Kalam Hidup; Bandung.
12.Konetjaraningrat, [2002] Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Gramedia Pustaka Utama; Jakarta.
13.------------------------ [1963] Penduduk Irian Barat, Penerbit Universitas; Jakarta.
14.------------------------- dkk; 1994. Irian Jaya, Membangun Masyarakat Majemuk, Djambatan, Jakarta.
15.Yeimo, Yunus E. 2007 [laporan awal hasil penelitian] Studi Tipologi dan Kearifan Arsitektur Tradisional Suku Mee Papua. Yamewa-Papua, Yogyakarta.

seleNGKAPNYA......
Template by : kendhin x-template.blogspot.com