Custom Search

29 Juni, 2009

BATU “PAIKEDA”, BATU AJAIB DI ZAMAN BATU, DAN PROTEKSI TERHADAP KEHIDUPAN SUKU MEE DI PAPUA1


Oleh: Yunus Amopiya Y.

Siapa suku Mee itu? Suku Mee adalah salah satu dari 312 suku yang ada di Papua [Athwa, 2004: 7]. Suku Mee mendiami di wilayah Pegunungan Tengah Papua Bagian Barat. Ciri khas wilayah suku Mee adalah di sekitar danau Paniai, danau Tage, Danau Tigi, Lembah Kamu (sekarang Dogiyai) dan pegunungan Mapiya/ Mapisa [Boelaars, 1986:85, Koentjaraningrat, 1963]. Namun, kini secara administrasi pemerintahan suku Mee berada di sepuluh distrik dari Kabupaten Paniai dan empat Distrik dari Kabupaten Nabire [Bunai, 2007:1].
Suku Mee sejak dulu tidak mengenal ukiran patung yang dibuat dari batu atau kayu yang menyerupai manusia dan binatang. Yang ada hanya berukuran kecil seperti ujung anak panah. Walaupun suku Mee itu pernah hidup di jaman batu [megalitikum], dan diwilayah mereka juga terdapat berbagai jenis batu alam. namun, itu belum disebut sebagai patung batu, karena ada dan berdiri secara alami sejak dulu. Tetapi, pada tahun 1967-1989 telah terbukti bahwa di Paniai [wilayah suku Mee dan Suku Migani] ditemukan batu yang menyerupai manusia dan binatang. Kemudian dalam bahasa Mee disebut “paikeda”.

Apa itu paikeda?
Hasil temuan patung batu yang menyerupai manusia dan binatang ini mengundang berbagai pertanyaan bagi kami sebagai orang Mee, karena sejak dulu orang Mee tidak mengenal ukiran patung dari batu dan kayu. Deretan pertanyaan yang muncul adalah bahwa mengapa patung batu yang menyerupai manusia itu ada di daerah Paniai? Apakah pernah ada orang [suku] lain hidup sebelum suku Mee datang di wilayah Paniai? Mengapa peneliti itu dengan “tegas” menyebut itu “batu paikeda” [paikeda mogo]? Ada apa makna dibalik batu paikeda? Apakah paikeda itu batu arca? Apakah benar sebagai sarana untuk melindungi diri? Dan lebih jauh lagi adalah apakah sebagai batu yang melambangkan kepercayaan adanya roh dalam batu atau kayu [animisme]?

Paikeda adalah nama sebuah jenis batu/ benda lain yang menurut suku Mee dianggap “mampu” melindungi terhadap berbagai bahaya [misalnya, perang keluaraga, marga, perang antar kampung dan perang suku], dengan cara kekuatan magis. Secara harafia, paikeda, terdiri dari tiga kata. Pai, artinya babi jantang [dialeg Kamuu], ke, artinya panggilan untuk laki-laki [dialeg Tigi], eda atinya pagar [Pekei, 2008:79-80]. Jadi, paikeda artinya sebuah babi jantang yang dianggap sebagai seorang laki-laki untuk “melindungi” seperti pagar.
Kehidupan suku Mee pada zaman dulu tidak terlepas dari perang antar keluarga, marga, kampung, klen dan suku. Agar mereka menghadapi perang dengan tanpa rasa takut, maka diperlukan sesuatu untuk dapat dipercaya sebagai pelindung. Batu paikeda bagi orang Mee adalah sebuah batu yang memiliki kekuatan magis yang mampu melindungi. Paikeda adalah sarana berupa batu yang mempunyai kekuatan magis, untuk membantu pribadi atau kelompok yang menggunakan dalam urusan perkara atau peperangan [Bunai, 2007:62].
Geradus Adii , dalam buku “Bebas Dari Kuasa Kegelapan di Tanah Papua” menyebutkan kurang labih 53 nama-nama Roh jahat yang dipercaya secara tradisi oleh masyarakat Papua. 18 dari 53 nama-nama roh jahat itu berasal dari Suku Mee [Adii, 2002:34-36]. Namun, demikian “paikeda” tidak disebutkan dalam urutan nama-nama roh jahat itu.
Selain 53 jenis roh jahat diatas, Adii juga menyebutkan 6 nama jenis setan sesuai dengan perannya. Setan-setan itu diantarnya, 1] setan dan malapetaka, 2] setan dan mencari kebenaran, 3] setan dan melindingi diri, 4] setan dan mencari rejeki, 5] setan dan pembunuhan, 6] setan dan kesembutuhan [Adii, 2002:57-109]. Batu paikeda disebutkan dalam urutan ketiga yaitu setan dan melindungi. Untuk itu, apakah “paikeda” termasuk dalam kategori roh jahat bagi musuh dan pelindung bagi yang memilikinya? Apakah sebuah “batu biasa” yang “dinamai” bukan “dipercaya” sebagai “batu paikeda”? Karena, tetua orang Mee menyebut, kegotai/ umatai, itu bukan menyuruh setan untuk membunuh [melakukan aksi jahat], tetapi mee ka dimi kou eniya [pikiran manusia itu yang setan]. Jika, demikian apakah “patung batu” yang menyerupai manusia dan binatang [yang ditemukan di Paniai 1967-1989] itu kita yakini sebagai “paikeda” atau kita sebut itu sebagai sebuah “batu biasa” yang menyerupai manusia dan binatang? Karena orang Mee yakin bahwa “setan” itu bukan batu atau binatang, tetapi pikiran manusia [mee ka dimi kou eniya], walaupun, ada 18 nama jenis roh jahat yang telah disebutkan diatas itu ada di daerah Paniai.
Untuk mengerti akan definisi tentang batu yang memiliki roh [agama suku], menurut [Koentjaraningrat,1974 dalam Ahtawa, 2004:21-28], terdapat empat orang ahli antropologi , Etnology , dan Filology dunia, yang berhasil menguraikan tentang hal itu, yaitu pertama, teori jiwa, Taylor [1873], mengatakan asal mula dari religi adalah kesadaran manusia akan adanya jiwa. Lebih lanjut, Taylor menyebutkan bahwa mereka mampu berbuat sesuatu yang tidak dapat dibuat oleh manusia. Mereka menjadi tempat yang amat penting dalam kehidupan manusai, sehingga menjadi obyek penghormatan dan penyembahan, dengan berbagai upacara berupa; doa, sajian atau korban. Bentuk religi seperti ini yang Taylor disebut dengan animisme .
Kedua, teori supranatural [kekuatan luar biasa] RR Marett [1909], mengangap teori “jiwa” adalah terlalu komples dan lampau, kemudian ia mengusulkan teori supranatural [menurut Marett teori baru]. Menurut Marett, pangkal dari peristiwa keagamaan manusia ditimbulkan karena suatu perasaan rendah diri terhadap gejala-gejala dan peristiwa yang dianggap sebagai “luar biasa” dalam hidup manusia. Dan alam tempat gejala dan peristiwa itu berada disekeliling manusia, disebut “alam supranatural”. Marett, menganggap kekuatan “supranatural” sebagai kekuatan lebih tua sebelum animisme, kemudian dia menyebut “praenimisme.
Ketiga, teori magic and religion, JG. Frazer [1890]. Menurut Frazer, manusia didalam usaha memecahkan soal-soal kehidupannya dengan akal dan pengetahuan. Akan tetapi bagaimanapun akal dan pengetahuan itu terbatas. Untuk itu, Frazer berpendapat untuk memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi dalam kehidupan manusia, maka dengan melalui magic [ilmu gaib]. Lanjut Frazer, manusia mempergunakan ilmu gaib [magic] untuk membantu memecahkan persoalan diluar batas kemampuan akal dan pengetahuan. Perbedaan antara magic dan religi menurut Frazer adalah bahwa, magic mencakup segala sistem perbuatan dan sikap manusia untuk mencapai suatu maksud dengan menguasai dan mempergunakan kekuatan-kekuatan dan hukum-hukum gaib yang ada di alam. sebaliknya religion adalah segala sistem perbuatan manusia untuk mencapai maksud dengan cara menyadarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan dari makluk-makluk halus seperti roh-roh-dewa-dewa dan sebagainya yang menempati alam.
Keempat, teori urmonothismus, Wilheem Schmidt [1869]. Setelah menyelidiki berbagai golongan suku dari masyarakat yang masih primitf, antara lain suku Negritos, Kepulauan Filipina, Suku Mycronesia dan Polynesia, di Irian Jaya [Papua], Suku Arunta Australia, Suku Pygmy dan Bushmen dari Konggo Afrika Tengah, Suku Caribin dari Hindia Barat, dan Suku Yahgan dari Ujung Selatan Amerika Serikat. Dalam penyelidikan itu, Schmidt menarik kesimpulan bahwa pada dasarnya kepercayaan yang polytheistis itu terdapat kepercayaan monotheistis. Oleh sebab itu ia mempunyai faham “ouemonotheisme” [monotheisme asli] atau primitive monotheisme. Aliran Schmidt berpendapat bahwa religi tumbuh tidak melalui evolusi, dari bertuhan banyak, kemudian bertuhan satu, akan tetapi religinya sejak dahulu adalah monotheime dan bertuhan satu. Seorang ahli sastra berkebangsaan Inggris yang sama pendapat dengan Schmidt adalah Andrew Lang. Lang [1898], berpendapat bahwa kepercayaan kepada dewa tertinggi itu suatu kepercayaan yang sudah sangat tua dan mungkin merupakan bentuk religi manusia tertua.
Dari keempat pendapat para ahli dan kemudian pendapat suku Mee memandang batu “paikeda” dapat kita menarik suatu menang merah bahwa “batu paikeda” adalah sebuah batu yang memiliki kuasa gaib, yang dapat memberikan perlindungan kepada orang Mee, agar orang Mee percaya bahwa batu mempunyai kuasa, organ, jiwa, seperti manusia yang tidak dapat dilihat oleh indra mata manusia, tetapi dapat dirasakan akibatnya. Tetapi, aliran akan Tuhan [animisme/ monoteisme] orang Mee telah membedakan atas kuasa ilahi [ugatame-pencipta], dengan kuasa setan atau alam gaib [eniya]. Meraka memandang, Tuhan [ugatame] lebih tinggi dan berkuasa dari pada kuasa setan [mistis]. Dan mereka percaya bahwa Tuhanlah yang meciptakan dunia dan segala isinya.

Batu Paikeda, Warisan Budaya Megalitik suku Mee?
Bila ditinjau dari arti kata “megalitik”, maka batu paikeda yang telah ditemukan orang Belanda di daerah Paniai adalah batu berukuran kecil [bukan batu besar seperti arti megalitik]. Tidak seperti masyarakat Sumba, Lombok Barat, sejak dulu telah mengenal teknik pembuatan batu dan yang hasil karya leluhur itu menjadi monumen-monumen sejarah dan menjadi warisan budaya mereka hingga saat ini. Batu berbentuk monumen di Sumba dapat kita menyebut batu megalitk, karena terbuat dari batu alam dan benar-benar hasil karya leluhur. Bagi orang Sumba rumah kayu/ bambu digunakan untuk tempat tinggal bagi manusia. Maka, rumah batu [megalitik] digunakan untuk melaksanakan kehidupan spritual. Kehidupan spritual berupa pemujaan arwah [Winardi, 2007:71-76].
Sebagai manusia yang memiliki akal pikiran [dimi yago bage], orang Mee melakukan berbagai upaya untuk mencari solusi agar menciptakan damai. Misalnya, dalam perang suku atau keluarga, kedua bela pihak sepakat untuk menghentikan perang. Hal ini dapat dilakukan apabila jumlah korban dari masing-masing pihak seimbang. Cara lain adalah pihak yang mengalami korban meminta denda [uang darah] kepada pihak pembunuh. Cara tuntutan model ini diberlakukan apabila perang terjadi antar hubugnan darah. Dalam mencegah terjadinya perang, suku Mee Suku Mee mengenal berbagai upacara adat. Salah satu upacara adat yang erat kaitanya dengan batu paikeda adalah upacara pada saat peperangan yang disebut ritual perang [yape kamu/ yape kabo].
Dalam upaya mendamaikan peperangan itu, suku Mee mengenal dua upacara adat [ritual perang] agar perang damai atau melindungi dari bahaya perang. Kedua upacara itu diantaranya, pertama, upacara yang dilakukan dengan menggunakan batu yang disebut paikeda [paikeda mogo]. Kedua, upacara dengan menggunakan ikatan anak panah [ida boda]. Kedua upacara ini diselenggarakan pada saat perang, perkara-perkara besar, dengan tujuan agar tercipta damai, aman dan selamat [Bunai, 2007:60-63].
Menurut Geradus Adii, [2002], paikeda disebut juga dabadiyo. Paikeda bisa berbentuk batu, kayu, pigu, dogi, obai, ida, ipa, manik-manik dan lain sebagainya. Tujuannya adalah pertama, melindungi diri dari serangan musuh. Kedua, Melindungi diri dari serangan setan. Ketiga, mencegah supaya jangan seorangpun dari keluarganya keluar dari kampung halaman. Keempat, mencegah orang lain suapaya jangan masuk di daerah tertentu. Untuk mencapai tujuan ini dilakukan upara ritual perang oleh para dukun atau orang yang dianggap tahu tentang melakukan upacara tersebut [Adii, 2002:78].
Paikeda warisan budaya orang Mee, dengan berbagai bentuk benda [batu, kayu, pigu, dogi, obai, ida, ipa, manik-manik]. Dan dapat disebut sebagai wujud kebudayaan orang Mee [Konetjaraningrat, 2002:2]. Namun, kebudayaan hidup suku Mee ini telah hilang, dengan adanya kedatangan para misionaris , dan pemerintah Belanda [Pekei, 2008:261-273]. Sebelum injil dan pemerintah Belanda masuk di daerah Paniai yaitu tahun 1940, kebudayaan orang Mee masih asli [Pigai, 2008:1-28]. Menurut Pigai, kehidupan suku Mee dengan sangat jelas terlihat dalam menghargai antara antara alam dengan manusia. Dimana, keduanya saling membutuhkan, misalnya manusia mengikuti norma-norma adat yang diturunkan oleh alam melalui mimpi atau penglihatan agar tetap mejaga keharmonisannya.
Sangat disayangkan bahwa, upacara adat yang disebut sebagai warisan budaya ini semakin hari-semakin hilang. Karena, manusia Mee saat ini telah mengidap budaya “virus” ikut-ikutan, yang pada gilirannya warisan budaya mereka itu dianggap “kuno, ketinggalan, tradisional, primitif dan kampungan. Namun, disisi lain, budaya mengawali segala ilmu pengetahuan yang sekarang kita anggap moderen dan yang terbaik itu.

Batu Paikeda, Lambang Agama Suku Mee?
Dalam kehidupan suku Mee percaya akan yang ilahi terungkap dalam beberapa sebutan. Yoseph Tanimoyabi Bunai [2007] dalam buku “Mobu dan Ayii, Jalan Menuju Keselamatan Inisial dan Kekal Menurut Suku Mee di Papua”, menyebutkan 7 [tujuh] jenis nama yang digunakan oleh orang Mee untuk menyebut Tuhan sebagai yang ilahi. Ungkapan kepercayaan akan ilahi itu diantaranya ugatame [pencipta], ipuwe me [pemilik], wadoo me [yang ada di atas], mee munetai me [pemelihara manusia], ayii me [penyelamat] ibo naitai [bapa maha besar] poya me [pribadi yang berkilau].
Sebelum para ahli antropologi, mengambil kesimpulan tentang animisme, dinamisme, monoteime dan sebagainya. Suku Mee mengenal istilah ayii [konsep keselamatan]. Kata ayii mengandung arti, hidup kekal, hidup terus, silau, kilau, aneh, mujizat, misteri, selamat, terima kasih, senang, kagum, bercahaya. Misalnya, ayii dalam hidup lama [berusia panajng]. Lolos dari bahaya peperangan atau kelaparan. Konsep keselamatan ayii, suku mee menyebut beberapa hal; seperti ayii me [pribadi yang selamat], ayii makiyo [tempat keselamatan], ayii mana [sabda keselamatan], ayii bokouto duwadoke taita [harapan akan keselamatan] ayii tai imototogo [hidup kekal], ayii taitage [terima kasih] Bunai, [2007].
Cara yang dipakai untuk memperoleh keselamatan [ayii] dalam kehidupan suku Mee adalah pertama, prinsip dasar dimi, [pikiran, akal budi, kemauan]. Dimi/ dimi mana [pikiran/ perkataan] mengandung arti yang paling utama/ pertama sebelum mengambil keputusan, berbicara, berbuat, berjalan, atau sebelum melakukan segala hal. Untuk itu, adanya unsur filosofis yang mengatakan dimi pukika gaii [berpikir dengan kesungguhan akal budi], dimi puki ka dou [melihat dengan kesungguhan akal budi], dimi puki ka ekowai [berbuat dengan kesungguhan akal budi]. Atau lebih singkat disebut dou-gaii-ekowaii [melihat, berpikir dan melakukan].
Kedua, menghayati nilai-nilai hidup. Untuk mencapai ayii, diperlukan penghayatan terhadap nilai-nilai budaya yang telah diwariskan. Dalam kehidupan suku Mee baik secara pribadi maupun kelompok, ada 4 nilai-nilai fundamental dalam hidup yang bersumber dari dimi, yakni ipa, maa, enaimo, dan ideide. Ipa artinya rasa kasihan, kasih sayang, cinta kasih. Dalam bahasa umum disebut saling membantu atau tolong menolong, mengerti akan masalah orang lain dan sebagainya. Maa artinya sunggu, benar, percaya, yakin]. Seorang Mee akan mengatakan maa/ makodo, ketika dia sudah mengalami, merasakan, mendegarkan, dan melihat dengan mata kepala sendiri. Enaimo, artinya bersama. Kata ini mengungkapkan nilai kebersamaan, persahabatan, persatuan dan kesatuan, hidup bersama, saling melengkapi satu sama lain, bersama-sama mengatasi masalah. Dalam kehidupan suku Mee, kata enaimo, dibuktikan dalam pekerjaan yang berat. Misalnya membagun rumah, menarik perahu dari hutan, dan lain-lain. Ideide, artinya gembira, bahagia, senang. Arti lain dari kata ideide adalah sukacita atau bahagia. Apabila orang menghayati nilai-nilai hidup yag disebutkan diatas, maka ideide adalah saat menikmati hasil dari pada nilai-nilai hidup itu.
Ketiga, norma-norma moral. Dalam mencari keselamatan, suku Mee mengenal norma-norma moral yang menjasi budaya hidup suku Mee. Norma-norma moral ini lebih ditekankan pada larangan-larangan, yang sama dengan 10 hukum Musa . Bagi suku Mee, kesepuluh perintah Allah [hukum Musa] itu bukan hal baru, tetapi telah ada di kalangan suku Mee jauh sebelum Injil [Agama] itu datang di daerah Paniai. Larangan-larangan itu adalah oma teyamoti [jangan mencuri], mogai tetai [jangan berzinah], akaitai-akukai ibo eyaikai, [hormatilah Ayahmu dan Ibumu], puya mana tewegai [jangan berdusta], Mee ka yagamo kibigi teyagai [Jangan mengingini istri orang lain], Mee ka owa kibigi teyagai [jangan menigini rumah orang lain], Mee tewagi [jangan membunuh orang lain], utama bagee ena ewii [menghormati semua orang], tanggungjawab dan kasih sayang orangtua, kesabaran, ketabahan dan ketidakputusasahan, kecerdikan, bersikap lapang dada, tolong menolong [akadade], tidak boleh memaksakan kehendak orang lain, kepercayaan terhadap adanya kekuatan gaib. Tidak boleh malas [Bunai, 2007:35-47].
Keempat, memelihara relasi dengan roh-roh. Orang Mee percaya bahwa Tuhan itu ada [ugatame-pencipta]. Maka, dalam kehidupan terdapat beberapa sebutan untuk menyatakan Tuhan itu ilahi. Misalnya, ugatame [pencitpta], ipuweme [maha penguasa/ pemilik], ibo/ ibo naitai [maha besar/ bapa yang agung], ayii me [maha penyelamat], mee munetai [maha pemelihara], epa maki yakitope me [maha pemegang langit dan bumi].
Dalam suku Mee terdapat empat sub-suku yang dalam bahasa Mee disebut maki tuma, wodapa, yina tuma, mogopia tuma. Sub-sub suku ini mengandung nilai totem yang hingga kini masih diyakini sesuai dengan tetomnya masing. Misalnya, wodapa, dilarang makan anjing, karena kita berasal atau diselamatkan oleh anjing [petunjuk jalan]. Maki tuma, dilarang gali tanah, atau buang tanah, karena akan hilang dalam tanah. Dan dalam satu totem ini dilarang menikah waka akabuke daa, wiyeutu/ epaa eda [dianggap satu keluarga/ keturunan] walaupun didalamnya terdaapt beberapa fam/ marga.
Kepercayaan akan roh-roh banyak disebutkan dalam suku Mee. Suku Mee mempercayai bahwa setan [makluk halus] itu ada dua jenis. Ena eniya ma peu eniya [roh jahat dan roh yang baik]. Selain kepercayaan akan adanya roh, di rumah, di hutan atau di tempat keramat. Orang Mee menyebut roh jahat itu tege/ peu eniya [iblis]. Sedangkan roh-roh yang baik itu disebut owa doutotai [roh yang menjada rumah], tai/ bugi doutotai [pemelihara kebun] buguwa/ bagodoutotai [penjaga hutan/ gunung], dan lain-sebagainya. Walaupun, itu dikategorikan ena eniya [setan yang baik], namun itu bukan ugatame. Tetapi, Tuhanlah yang memerintahkan mereka [setan-setan] itu menjaga dan melakukan yang terbaik buat manusia Mee. Karena Tuhan [ugatame] lebih berkuasa dari pada roh-roh itu.
Kelima, pelaksanaan upacara adat. Sebagai manusia yang pernah hidup sejak zaman batu. Suku Mee melakukan berbagai ritual. Menurut Yoseph Tanimotiyabi Buanai, disebutkan secara umum ada empat jenis upacara yang dilakukan oleh suku Mee diantaranya, pertama, upacara adat waktu perang. Ada dua upacara yang dilakukan pada saat perang yaitu upacara paikeda dan ida boda. Kedua, upacara-upacara pada waktu sakit. Ada lima jenis upacara yang dilakukan pada sakit orang Mee sakit sesuai dengan penyakit/ jenis setan yang ada dalam tubuh manusia. Upacara/ ritual-ritual diantarnaya tege ebakai kamu/ kabo, ibo ita takimai/ kabo, tene peka muni kamu/ kabo, madou ka duwai kamu/ kabo, pugu kabo duwai kamu/ kabo. Ketiga, upacara dalam kelaparan. Dalam upacara kelapan ini dilakukan dua jenis upacara adat yaitu, naidi kabo duwai, maki paga meni. Keempat, upacara peresmian. Ada tiga jenis upacara yang dilakukan oleh orang Mee yakni, owa gege [upacara peresmian rumah baru], tai paga meni/ bugi kabo duwai, koma gege [upacara pembuatan perahu/ peresmian perahu].

Batu paikeda masa lalu, masa kini dan masa depan
Cerita sejarah suku Mee telah mencatat dan mengakui bahwa suku Mee yang saat ini hidup di daerah Paniai adalah salah satu suku pecahan dari suku-suku yang mendiami di Pegunungan Tengah Papua. Mereka berpisah dari Lembah Balim disebuah Gua Besar Pagema. Kemudian dalam cerita sejarah suku Mee disebut pagimo peku. Sejarah asal usul suku Mee diturunkan secara turun-temurun. Diperkirakan suku Mee hidup di daerah Paniai kurang lebih 900 tahun yang lau kira-kira sejak tahun 1100 [Pigai, 2008: viii].
Sebelum agama dan pemerintah Belanda masuk di wilayah Paniai, sekitar tahun 1930-an. Suku Mee hidup dan merasa bahwa tidak ada orang lain, selain suku Mee, maka mereka berupaya berbagai cara untuk mempertahankan eksistensinya sebagai manusia sejati. Dimana mereka telah mengenal, tujuh jenis unsur-unsur kebudayaan dan tiga jenis wujud kebuyaan [Konetjaraningrat, [2002] dalam Pekei, 2008:69].
Menurut Jan Boeraars [1986], orang Mee sangat kaya dengan ikatan-ikatan sosial dan ekonomi. Kemudian, setelah ia mengadakan penyelidikan lebih mendalam, maka ternyata dibalik latarbelakannya yang “miskin” , dan dibalik kegiatan “dagang” yang amat tenang ini, tersembunyi suatu kehidupan rohani, yang mampu mengungkapkan nilai-nilai kemanusiaan yang mendalam dengan pemberian bentuk simbolik yang sangat kaya.
Kini menurut hemat saya, semua kekayaan kebudayaan, nilai-nilai hidup budaya orang Mee yang pernah ada dan yang menghantar manusia Mee sampai pada saat ini telah hilang. Penyebabnya adalah kita [generasi sekarang], telah mengidap virus “ikut-ikutan”, kemudian kitalah yang menghakimi budaya kita sendiri dengan dalil budaya itu, “kuno, ketinggalan, tradisional, kampungan, primitif, masa bodoh, zaman batu” dan sebagainya dan seterusnya. Disini diperlukan suatu kesadaran diri akan pentinnya, faktor budaya dalam segala aspek kehidupan manusia. Karena saat ini dimana, mana telah kehilangan diri sebagai manusia berbudaya, yang pernah ada yang dimiliki oleh setiap suku bangsa yang ada di dunia.
Lalu bagaimana dengan masa depan batu paikeda ataupun unsur budaya yang lain dari setiap suku bangsa? Karena budaya adalah dasar hidup, ciri khas/ identitas, pedoman, sumber inspirasi dan lain sebagainya. Batu paikeda, telah hilang atau masih ada? Jika masih ada mungkin unsur budaya tidak semurni dulu. Sebuah pertanyaan untuk kita sekarang adalah apakah kita ingin jadi pelestari budaya atau justru jadi pemusnah budaya? Jawabanya kembali pada setiap insan sebagai orang yang menganut budaya itu apapun jenis budayanya.

Kesimpulan dan saran
Budaya hidup suku Mee tentang “batu paikeda” adalah salah satu unsur kebudayaan orang Mee. Sebenarnaya masih banyak unsur kebudayaan yang ada dalam kehidupan suku Mee. Patung batu yang menyerupai manusia dan binatang yang telah ditemukan di Paniai adalah batu “biasa”, yang diberi nama “batu paikeda”, karena nama “paikeda” itu terdapat di dalam kayu, batu, pigu, ida, dan sebagainya. Batu paikeda bukan kebudayaan megalitk suku Mee karena di Paniai belum ada batu besar [patung batu yang terbuat dari batu]. Dan orang Mee tidak mengenal ukiran dari kayu dan batu. Batu paikeda, bukan lambang agama suku Mee, tetapi “sarana” untuk melindungi diri dengan “memohon” kepada ugatame melaui upacara adat dengan menyakini kuasa ilahi itu akan turun melalui ritual paikeda. Dulu batu paikeda, digunakan sebagai sarana akan adanya kuasa alam yang dinampakan melalui batu paikeda. Kini batu paikeda hanya tinggal cerita legenda orang Mee. Dan [menurut saya] di masa yang akan datang orang Mee tidak mengenal kata “paikeda”. Lebih jauh lagi bahwa kita tidak akan melakukan, mempercayai akan adanya batu paikeda. Bahkan mungkin kitalah yang akan menjadi aktor utama dalam “gerekan pemusnah” nilai-nilai budaya itu.
Saran saya untuk pribadi saya [penaji] adalah bagaimana caranya supaya budaya itu tidak hanya cerita legenda [abstrak], tetapi meyakinkan orang lain bahwa budaya itu benar-benar ada dalam kehidupan manusia. Maka, sebagai mahasiswa bagaimana kita melihat itu dari kaca mata kita [intelektualitas], sebelum kita mengambil keputusan. Untuk mengatkan “baik” dan tidak “buruk” Suku Mee yang menyebut diri sebagai “manusia sejati” [mee tuma] maka mereka tahu membedakan “baik” dan “buruk” termasuk didalamnya adalah hal-hal mistik.

Materi Diskusi dan Nonton Film Dokumenter Batu Paikeda, yang diselenggarakan oleh Panitia Natal, Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Paniai-Nabire Yogyakarta. Di Aula Asrama Kamasan I Yogyakarta, 15 Desember 2008.
Penaji adalah Mahasiswa Jurusan Teknik Arsitektur, Penghuni Asrama Mahasiswa Papua “Kamasan I” Yogyakarta. Diskusi lebih lanjut kunjungi, website. www.yamewapapua.blogspot.com.
Geradus Adii, adalah putra terbaik asal Paniai [suku Mee] yang dipakai oleh Tuhan sebagai pemimpin gereja dan masyarakat, jabatan terakhir adalah Ketua Sinode Gereja Kemah Injil [KINGMI] Papua.
Antropologi adalah ilmu tentang manusia, terutama asal usul, aneka warna, bentuk fisik, adat istiadat, dan kepercayaan pada masa lampau, KBBI, Balai Pustaka [2007] hal 58.
Etnology adalah ilmu yang mempelajari tentang unsur atau masalah kebudyaan suku bangsa dan masyarakat penduduk suatu daerah di seluruh dunia secara komparatif dengan tujuan mendapat pengertian tentang sejarah dan proses evolusi serta penyebaran kebudayaan umat manusia di muka bumi, KBBI, Balai Pustaka [2007]. Hal 309.
Filology adalah ilmu yang mempelajari tentang bahasa, kebudayaan, pranata dan sejarah suatu bangsa. KBBI, Balai Pustaka [2007]. Hal 317.
Moh. Karnawi Bajuri Farenduany, [1989] “Kamus Aliran dan Fahan” Penerbit Indah Surabaya. Hal 11-12. Meyebutkn bahwa animisme bahasa latin adalah anima artinya nyawa/ roh. Kepercayaan adanya roh, nyawa, manusia mempunyai nyawa sesudah mati [arwah]. Paham dari nenek moyang kita bahwa semua batu, pohon, bersemayam roh-roh leluhur yang menjaga. Kemudian apakah suku Mee meyakini aliran [paham] animisme? Lihat Majalah Selangkah, Edisi Juni-Agustus 2005, Hal 32-37.
Wilheem Schmit, adalah seorang penganut Katholik, dan Guru Besar Etnology dan Philology di Universitas Viena.
Istilah megalitik berasal dari bahasa Latin. Mega berarti besar dan litos berarti batu. Jadi, megalitk berarti batu besar. Megalitik adalah batu besar peninggalan masa prasejarah. Sedangkan megalitikum adalah zaman batu besar [zaman batu] yaitu salah satu zaman prasejarah. KBBI, Balai Pustaka [2007]. Hal 727.
Misionaris adalah sebutan bagi para penginjil/ pendeta Kristen, yang datang dari Belanda di tanah Papua, untuk menginjili kabar keselamtan. Kontak pertama orang Mee dengan dunia luar pada tanggal 31 Desember 1933.
Pemerintah Belanda masuk di Daerah Paniai pada tahun 1941.
Pigai, Gotai, Ruben [2008] Mungkinkah Nilai-nilai Budaya Hidup Suku Mee Bersinar Kembali?, Deiyai/ Yakama; Jayapura. Menyebutkan sebernarnya, bukan sepuluh tetapi lebih dari sepuluh. Namun ia hanya menyebutkan 10 norma-norma moral suku Mee, yang disesuaikan dengan Alkitab. Hal xii-xiii.
Totem/ Totemisme adalah sistem religi yang berkeyakinan bahwa warga kelompok unilinier adalah keturunan dewa-dewa nenek moyang, yang satu dengan yang lainnya mempunyai hubungan kekerabatan. KBBI, Balai Pustaka [2007]. Hal. 1208.
Disebut “miskin” karena penulis adalah orang yang telah lama mengenal teknlogi, rumah mewa, mobil dan sebagainya, sehingga ia membandingkan kehidupan di dunia barat dan orang Mee. Dan dapat diakui bahwa pada saat itu kehidupan orang Mee masih primitif, tetapi bagi orang Mee tidak mengenal yang namanya pritif.
Orang Mee sejak dulu mengenal sistem perdagangan dengan suku lain, seperti Amungme dan Kamoro di Timika. Suku Migani di bagian timur daerah Paniai.

Acuan Kepustakaan
1. Adii, Geradus [2002] Bebas Dari Kuasa Kegelapan di Tanah Papua, Gereja Kemah Injil Indonesia [GKII] Wilayah Irian Jaya; Jemaat Zebaoth Jayapura.
2. Athwa, Ali [2004]; Islam atau Kristenkah Agama Orang Irian, Pustaka Da’i; Jakarta.Boelaars, Jan [1986] Manusia Irian, Dahulu, Sekarang dan Masa Depan, Gramedia; Jakarta.
3. Basrowi, [2008] Pengantar Sosiologi; Galia Indonesia; Bogor.
4. Bunai, Tanimoyabi Yoseph, [2007] “Mobu dan Ayii, Jalan Menuju Keselamatan Inisial dan Kekal Menurut Suku Mee di Papua; Elmasme “Gaiya” dan Dewan Adat Paniyai.
5. Effendhie, Machmoed, [1999] Sejarah Budaya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; Jakarta.
6. Farenduany, Moh. Karnawi, Bajuri [1989] “Kamus Aliran dan Fahan” Penerbit Indah; Surabaya.
7. Gobay, D. Mekaa [2007] Perempuan Papua Barat, Dalam Kekerasan Militer, Budaya, Ekonomi dan Kesehatan, Sumbangsih Press; Yogyakarta.
8. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga [2007] Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka; Jakarta.
9. Pekei, Christ, Titus [2007] Manusia Mee di Papua, Proteksi Kondisi Masa Dahulu, Sekarang dan Masa Depan diatas Pedoman hidup, Galang Press; Yogyakarta.
10. Pigai, Gotai, Ruben [2008] Mungkinkah Nilai-nilai Budaya Hidup Suku Mee Bersinar Kembali?, Deiyai/ Yakama; Jayapura.
11. Richardson, Don, [1977] Penguasa-Penguasa Bumi, Penerbit Kalam Hidup; Bandung.
12. Konetjaraningrat, [2002] Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Gramedia Pustaka Utama; Jakarta.
13. ------------------------ [1963] Penduduk Irian Barat, Penerbit Universitas; Jakarta.
14. Winardi, L. Bambang [2007] Jejak Megalitik Arsitektur Tradisional Sumba, Graha Ilmu; Yogyakarta.


0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com