Custom Search

26 Februari, 2009

Penyusunan RTRW Diharapkan Perhatikan Kelestarian Alam


JAYAPURA- Gubernur Papua Barnabas Suebu, SH mengharapkan, konsep tata ruang wilayah suatu daerah mutlak memperhatikan kondisi ekonomi, sosial budaya, politik dan kelestarian lingkungan alam setempat.
Hal ini penting agar perencanaan tata ruang dalam rangka pembangunan ekonomi itu itu tidak terjadinya benturan dengan pemilik hak ulayat atau masyarakat adat.
Hal itu diungkapkan gubernur dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan Asisten I Bidang Aparatur dan Pemerintahan Setda Papua Drs. Eliezer Renmaur pada pembukaan acara Lokakarya Reviuw dan Pembelajaran Action Plan Visi Transfly Dalam Konsep Penataan Ruang Kabupaten di Swissbel Hotel Jayapura, Kamis (26/2) kemarin.
Dikatakan, persiapan penyusunan tata ruang wilayah (RTW) harus dikembangkan dengan memperhatikan berbagai aspek kehidupan, sehingga rencana tersebut nantinya akan dihasilkan setiap pemerintah daerah (Pemda) dalam bentuk dokumen milik publik.
"Saya sangat mendukung kegiatan ini karena memiliki nilai strategis karena memperkenalkan konsep visi Transfly yang selama ini telah diterapkan di Kabupaten Merauke karena sangat sinergis dengan pola ruang masyarakat adat dan keanekaragaman hayati," ujarnya.

Menurutnya, konsep ini merupakan suatu pendekatan penataan ruang terpadu yang berbasis ekosistem, serta mengakomodasi kepentingan pembangunan sosial, ekonomi, budaya dan pelestaria SDA melalui pelibatan para pemangku kepentingan termasuk didalamnya masyarakat adat pemilik ulayat.
Sesuai amanat UU nomor 26 Tahun 2007 tentang tata ruang, maka untuk menjawab ancaman terhadap lingkungan dan pemetaan keanekaragaman hayati dalam penyusunan pola dan struktur ruang, maka langkah-langkah pragmatis systematic dalam mencari solusi di Provinsi Papu, adalah segera menyelesaikan penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi dan RTRW yang telah dibuat itu segera diupayakan untuk memiliki legalitas hukum yang tetap.
Sementara itu, Direktur Program Konservasi Hutan WWF-Indonesia Dian Ahmad Kosasih menyatakan, berkaitan dengan rencana penyusunan RTRW Provinsi Papua, maka akan sangat bagus jika penyusunan RTRW itu memperhatikan pertimbangan-pertimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati dapat setara dengan pertimbangan-pertimbangan ekonomi.
Sebab kata dia, modal dasar untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan di Papua sangat ditentukan oleh pola penataan ruangnya. Karena itu diharapkan, melalui kegiatan ini dapat menghasilkan sumbangan dalam perencanaan tata ruang di Provinsi Papua. (mud)


Sumber: http://cenderawasihpos.com/27 Februari 2009 10:17:04
Sumber foto: blog.desrizal.com

seleNGKAPNYA......

22 Februari, 2009

Pengesahan Perda Tata Ruang (RTRW) Kabupaten Keerom dan Penyusunan RTRK Ibu Kota Kabupaten Dinilai Ilegal dan Sarat Kepentingan


JAYAPURA— Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRW) merupakan pedoman penyusunan rencana pembangunan jangka panjang dan pemanfatan ruang serta pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah kabupaten. Dimana penyelenggaraannya dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat yang dilandasi oleh sebuah Peraturan Daerah (Perda) sebagai Payung Hukum. Dalam proses penyusunan dokumen RTRW Kabupaten Keerom, Perda Tata Ruang Kabupaten Keerom dinilai inprosedural dan penyusunan Rencana Teknis Ruang Kawasan (RTRK) Ibukota Kabupaten di distrik Senggi dinilai Ilegal dan sarat akan kepentingan. Hal ini seperti yang disampaikan Tokoh intelektual Masyarakat Keerom, Piter Gusbager, S. Hut kepada Bintang Papua Rabu, (7/1) kemarin.
Menurut Gusbager, yang sedang menyelesaikan pendidikan Master of Urban Planning di Universitas Melbourne Australia, ada dua hal penting yang menjadi persoalan saat ini terkait perencaanaan dan pemanfaatan ruang di Kabupaten Keerom. Pertama, pengesahan Perda Tata Ruang (RTRW) sebagai payung hukum. Produk RTRW dan Peraturan Daerah (Perda) tentang Tata Ruang yang disahkan pada November tahun 2008 lalu seharusnya melewati proses konsultasi publik bersama stakeholders, namun sampai dengan pengesahannya tidak dilakukan, Perda tersebut juga tidak melewati kosultasi dengan pihak pemerintah provinsi dan pemerintah pusat sebelum pengesahan. Dengan demikian pengesahan Perda Tata Ruang ini terindikasi dilakukan dengan kompromi politik oleh Pemerintah dan DPRD Kabupaten Keerom.

Kedua, Penyusunan Rencana Teknis Teknis Ruang Kawasan (RTRK) Ibukota Kabupaten Keerom di distrik Senggi yang dilakukan oleh Pemkab dan PT. Lemtek Konsultan Indonesia milik Uninversitas Indonesia sebagai lembaga pengkaji dinilai cacat hukum dan sarat akan kepentingan dicerminkan dari adanya pengingkaran terhadap payung hukum Undang -undang 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Undang-undang 26 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Sarmi, Kabupaten Keerom, kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten raja Ampat, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Yahukimo, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Waropen, Kabupaten kaimana, Kabupaten Boven Digul, Kabupaten Mappi, Kabupaten Asmat, Kabupaten Bintuni dan Kabupaten Teluk Wondama. Akibatnya, dokumen yang menjadi landasan utama untuk penerbitan ijin dalam melakukan proses pembangunan di Kabupaten Keerom dianggap cacat hukum dan inkonsisten. RTRK Ibukota Kabupaten ini dinilai kontra produktif dengan RTRW sebagai sebuah dokumen induk dimana dalam RTRW jelas disebutkan bahwa Ibu Kota Kabupaten Keerom Berada di Distrik Waris. Pemerintah Kabupaten Keerom dalam hal ini Bappeda sebagai Badan Perencana yang bertanggung jawab melahirkan rencana-rencana pemanfaatan ruang di Kabupaten telah melakukan pembodohan kepada masyarakat. Gusbager yang sedang melakukan penelitian S2 tentang sistem perencanaan dan tata kota di Kabupaten Keerom juga menilai ada sejumlah pelanggaran terkait dengan penyusunan dan penerbitan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan Tata Ruang. Salah satu contoh pelanggaran adalah dokumen RTRK Ibukota Kabupaten Keerom di distrik Senggi telah jelas melanggar pasal 20 ayat 2 UU 26 Tahun 2002 tersebut diatas. Pelanggaran terjadi ketika Rencana strategi (strategic planning) bertentangan dengan Hukum Perencanaan (statutory planning), karena menurut teori perencanaan kota (Urban Planning) Statutory Planning adalah dasar dari penyusunan Rencana Strategi. Lebih fatal lagi dalam temuan di lapangan kegiatan fisik pembangunan Ibukota Kabupaten di distrik Senggi sedang berlangsung saat ini tanpa jaminan sebuah Payung Hukum. Dalam pembangunan perencanaan dan implementasi ibarat dua sisi mata uang logam. Kegagalan dalam perencanaan adalah indikasi kegagalan dalam implementasi pulaUntuk itu Gusbager mengaharapkan pihak Pemerintah Kabupaten agar dalam perencanaan segala aspek perlu pertimbangan yang matang dan bekerja sesuai dengan aturan yang berlaku serta dengan hati nurani jangan didasari oleh kepentingan. Pihak Universitas Indonesia sebagai lembaga pengkaji ilmiah harus bekerja secara benar dan profesional dengan memperhatikan semua aspek dalam pengambilan sebuah keputusan ilmiah. Dengan demikian pemindahan Ibukota Kabupaten Keerom dari distrik Waris ke distrik Senggi oleh pemerintah Kabupaten Keerom dengan mengabaikan Undang-undang dasar pembentukan Kabupaten Keerom dinilai sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan dan bentuk penggadaian terhadap gererasi yang akan datang.
Lebih lanjut, Gusbager yang adalah Staf Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua mengharapkan kebijakan pembangunan dilakukan dengan memperhatikan kondisi daerah dan kebutuhan mendesak masyarakat. Pembagunan Ibukota belum dirasa penting dan mendesak, karena kondisi masyarakat di Keerom saat ini masih sangat memprihatinkan. Masyarakat merupakan aset vital daerah, maka hal-hal yang menyangkut dengan kesejahteraan hidup (ekonomi, pendidikan dan kesehatan) harus mendapat perhatian serius dan konsisten.
Pembangunan di distrik dan kampung merupakan cikal bakal lahirnya sebuah kota yang beradap, sehingga fokus pembangunan harus dilakukan secara bertahap dengan mengacu pada landasan hukum yang berlaku. Kajian perencanaan Ibukota Kabupaten Keerom yang dilakukan oleh Bappeda dan UI merupakan dokumen rencana pembangunan jangka panjang sehingga jangan dieksekusi tergesa-gesa seperti yang terjadi saat ini. Terkait dengan peran DPRD Kabupaten Keerom dalam pengesahan Perda Tata Ruang Kabupaten Keerom, DPRD sebagai lembaga legislasi dengan fungsi kontrolnya memiliki tanggung jawab hukum dan sosial dinilai lalai. Ketika fungsi kontrol ini tidak berjalan semestinya, maka yang terjadi adalah pelanggaran-pelanggaran seperti yang telah disebutkan diatas. Sehingga arah pembangunan Kabupaten Keerom yang tertuang dalam visi dan misinya tidak dapat dicapai. Untuk itu kedua hal yang menjadi masalah penting dalam perencanaan dan pemanfaatan ruang di Kabupaten Keerom harus dikaji kembali sehingga tidak terjadi persoalan yang serius dikemudian hari.

Sumber: Cenderasih Pos tanggal, 19 Januari 2009

seleNGKAPNYA......

21 Februari, 2009

”Quo vadis” Arsitektur dan Kota di Papua?


Oleh: Y. Emigita Yeimo *)

Identitas suatu suku atau bangsa bukan terlihat dari pakaian adat atau lagu daerahnya. Tetapi, arsitektur sangat berperan dalam ketahanan identitas dan ciri khas pada proses perubahan sosial dan jaman yang pada akhirnya melahirkan anak yang namanya ”krisis identitas”.
Kenyataan bahwa, kota-kota di Papua hidup dan berkembang bagaikan sebuah peluru rudal “tanpa kendali”. Pejabat dan penguasa [pihak berwenang] hanya berpikir dan mengendalikan kunci rudal “dompet rakyat”, yang berisikan hasil jualan pasar tradisional [bukan pasar moderen seperti, mall, swalayan, hypermarket dll]. Tanpa memperduli rudal itu akan meledak entah kapan dan dimana. Penataan dan perencanaan kota dan kampung kota, tidak pernah mendapat perhatian serius. Apa lagi proyek itu dilaksanakan oleh pemimpin [gubernur-bupati-camat] yang sebelumnya berbeda orang [pemimpin]. Sehingga diperlukan suatu acuan pembangunan perencanaan kota [master plann city] yang berjangka panjang yang mengacu pada perwujudan dan mencari identitas diri arsitektur kepapuaan. Masyarakat pulau Bali, sampai saat ini berhasil mempertahan ciri khas kearifan arsitektur tradisional sehingga, para wisatawan menikmati bukan alam pantai saja yang menjadi obyek wisata, tetapi lebih dari itu adalah setiap rumah diwajibkan untuk memperlihatkan arsitektur tradisionalnya.

Menurut hemat saya, konsep yang sedang dipakai dalam menangani kota di Papua saat ini adalah penataan dan perencanaan “bukan perancangan” sehingga banyak kota di Papua arah pengembangan kotanya ”tidak jelas”, ”keliru”, ”mengandung unsur politis” dan lebih jauh lagi adalah menggusur indentitas lokal, terutama ciri khas arsitektur tradisionalnya. Mengapa dikatakan harus menggunakan “perancangan” [bukan perencanaan] karena perancangan melibatkan semua pihak dalam proses perencanaan kota sebelum hasil akhir menjadi rencana umum kota [master plan city]. Master plan city adalah hasil perencanaan dari perancangan kota dengan jangka waktu yang panjang [akan datang].
Dampak negatif yang akan kita [orang Papua] rasakan akibat perencanaan kota tanpa master plan city, adalah pertama, menempatkan ibukota kabupatren/ kecamatan secara sembarang, sehingga perkembangan kota menjadi lamban. Kedua, belum adanya peerencanaan kota secara partisipatif, bersama masyarakat lokal, sehingga masyarakat meminta bayar kerugian atas pembangunan jalan. Walau pembangunan jalan itu, untuk masyarakat setempat. Ketiga, belum atau tidak ada kota yang di desain dengan dengan sisitem ‘zona’ sehingga sebuah kota hadir dann dibangun secara ambur aduk, tidak jelas. Keempat, lebih dari itu hampir semua kota-kota di Papua yang telah ada dan baru berkembang tidak pernah, atau belum mendapat perhatian utnuk menggali kearifan lokal terutama arsitektur tradisional, sehingga banyak darinya sedang dan akan tiggal nama. Kelima, faktor utilitas kota, yang belum begitu serius sehingga banyak kota yang sering mengalami kebanjiran. Keenam, lebih jauh dari itu adalah masyarakat Papua pinggiran kota akan terkena penggususuran kota secara besar-besaran setelah pemerintah memahami konsep desain kota yang baik dan benar.
Menurut hemat saya, kehidupan masyarakat pigir kota di Papua suatu saat akan sama dengan masyarakat pigir kota di Jakarta, dan akan terjadi “penggusuran” secara besar-besaran setelah pemerintah memahami semua itu. Misalnya, itu terjadi, siapa yang harus disalahkan? Apakah pemerintah, sebagai pengambil kebijakan? Para perancang seperti arsitek, perencana kota dan wilayah, sebagai pewujud ide dan gagasan penguasa/ pemerintah? Atau para kontraktor yang melaksanakan proyek tersebut? Ataukah masyarakat itu sendiri? Jawabannya kembali pada diri kita masing-masing, untuk pentingnya merencanakkan kota secara partisipatif. Tetapi semua itu berawal dari penguasa. Karena yang meletakan “batu pertama” sebagai tanda untuk membangun atau memulai suatu proyek [pembangunan kota, jalan, jembatan, dan gedung] adalah pemerintah atau penguasa [baca:yamewapapua.blogspot.com].
Romo, Y.B. Mangunwijaya [almarhum] salah seorang pakar arsitek nasional, mengemukakan dua hal pokok yang perlu diperhatikan dalam merencanakan dan merancang karya yang bernilai arsitektur; yaitu guna dan citra. Guna menunjukkan pada keuntungan, pemanfaan dan pelayanan yang dapat kita peroleh dari bangunan. Guna dalam arti aslinya, tidak hanya bermanfaat tetapi juga punya daya yang menyebabkan kita bisa hidup lebih nyaman. Sedangkan citra menunjukkan suatu gambaran [image], suatu kesan penghayatan yang mempunyai arti bagi seseorang.
Pada masyarakat tradisional, kegiatan merencana, merancang, melakukan dan mengelola lingkungan buatan merupakan kegiatan swadaya dan swakarsa lokal dari penduduknya. Dengan demikian, lingkungan fisik yang terbentuk betul-betul secara wajar dan pas mewadahi aktivitas manusia yang menghuninya dengan segenap tata cara dan adat istiadatnya. Keselarasan, keserasian dan keseimbangan ekologis pun lantas muncul dengan sendirinya secara spontan tanpa kehadiran perencana formal. Karya arsitektur dan kota lebih merupakan karya komunal dari penduduknya yang saling kenal dan memiliki warisan norma, tata nilai, dan tradisi yang disepakati bersama.
Selain itu, pemekaran kota, dan wilayah dalam sebuah kabupaten adalah penataan ruang wilayah, dan membangun manusia yang ada dalam wilayah itu. Penataan ruang wilayah, bukan sekedar menarik garis “merencanakan” untuk membongkar gunung, menggusur rumah-rumah. Dan lebih jauh dari itu adalah penyerahan tanah secara cuma-cuma [gratis] yang dilakukan oleh masyarakat setempat demi pembangunan. Lalu pertanyaannya adalah apa yang diterima oleh rakyat setelah tanah ulayat mereka diberikan kepada pemerintah atas nama pembangunan? Pembangunan dalam konsep penataan ruang kota adalah penataan tanah dan manusia yang punya tanah. Walaupun ada nasehat yang mengatakan “maki akukai, kaa ko tetai” [tanah adalah mama, jangan dijual], siapapun orang Papua, yang menjual tanah akan menghadapi masalah [hukum karma].
Dalam menata lingkungan dan menatap masa depan yang lebih baik. Rumah adat [arsitektur tradisional] dibangun atas kesepakatan semua pihak [lingkungan alam, manusia, alam mistic dan ugatame; pencipta]. Mengapa? Karena, keempat unsur ini adalah dasar dan pedoman hidup manusia yang tidak dapat dipisahkan. Walaupun manusia mengelola, alam tetapi ia harus meminta kesepakatan dengan unsur yang lain. Tidak boleh salah satu unsur dirugikan atau diuntungkan.
Membangun “bangunan” di Papua bersama “kuli bangunan lokal” adalah keputusan [kebijakan] yang cocok. Mengapa? Karena mereka [orang Papua asli] tidak perlu membutuhkan waktu untuk mempelajari keadaan lingkungan sekitar [terutama mempelajari otak dan tangan alam]. Tidak seperti “kuli bangunan” orang pendatang [Ambon, Jawa, Toraja, Bugis, Batak dan lain sebagainya]. Dimana meraka dituntut untuk mempelajari “otak” dan “tangan” alam Papua. Karena, otak alam Papua tidak sama dengan otak alam di daerah Indonesia lainnya. Mengapa? Karena banyak data [buku] yang bisa dapat untuk mempelajari tentang alam di daerah lain di Indonesia. Tetapi alam Papua, selain kurangnya data [buku] tentang itu, alam Papua sangat misterius, sehingga membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk mempelajarinya.
Arsitektur tidak hanya mampu memenuhi hasrat dasar berkegiatan manusia dalam batas ruang yang dihasilkannya, tetapi juga mampu menyampaikan makna apabila para pemakai mampu menafsirkannya. Karya arsitektur dan ruang perkotaan mudah menjadi media penyampaian pesan politis seorang penguasa [penjajah]. Sejarah mencatat bahwa kaisar, diktator, dan penguasa mendirikan bangunan dan ruang kota monumental untuk membangkitkan suasana khusus dalam menjaga wibawa, membina semangat, atau bahkan mengancam rakyatnya.
Untuk mengatasi kesemrawutan arsitektur dan kota-kota di Papua yang sedang berkembang saat ini, agar serasi, selaras dan seimbang dengan iklim dan budaya bangsa Papua, maka yang perlu dilakukan adalah menggali arsitektur tradisional yang masih kita miliki. Napas dan jiwa arsitektur tradisional perlu ditangkap dan diejawantahkan kembali ke dalam wadah yang benar. Untuk mengungkapkan budaya Papua lewat karya arsitekturnya dan perencanaan kota dan mengatakan kepada dunia bahwa bahwa citra identitas dan ciri khas arsitektur kepapuaan yang pernah ada ini adalah warisan budaya leluhur yang kita perlu jaga bersama, agar kita tidak mengami krisis identitas. Semoga tetap lestari....!!!???


Referensi Buku:
1. Drs. Taringan, Robinson, MRP [2005] Perencanaan pembangunan Wilayah, Bumi Aksara, Jakarta.
2. Drs. Haryono, Paulus, MT [2007] Sosiologi Kota Untuk Arsitek, Bumi aksara, Jakarta.
3. Sinar Tanudjaja F. Christian J., [1998] Arsitektur Modern, Tradisi-tradisi dan aliran-aliran serta peranan politik-politik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta.
4. Raldi Hendro Koestoer dkk [2001] Dimensi Keruangan Kota, teori dan Kasus, UI Press, Jakarta
5. Zahnd, Markus [2006] Perancangan Kota Secara Terpadu, Kanisius, Yogyakarta.


Referensi internet
1. http//:www: google.co. id
2. http//:www: papua.go.id
3. http//:www: Cendrawasihpos.com
4. http//:www: wikimu.com
5. http//:www: sinar harapan.co.id
6. http//:www:pendidikanpapua.blogspot.com
7. http//:www:yamewapapua.blogspot.com

Keterangan foto.

Di foto oleh: Yunus E. Yeimo, rumah pos penjagaan dinas perhubungan di Terminal Jayapura Kota.

*) Penulis adalah pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Arsitektur Papua/ Yamewa Institute for Papuan Arhitecture development and Urban Studies [Yamewa-Papua]




seleNGKAPNYA......
Template by : kendhin x-template.blogspot.com