Custom Search

19 Desember, 2008

MEMBANGUN PERMUKIMAN; MEMBANGUN KEHIDUPAN RAKYAT PAPUA?

catatan refleksi terhadap berbagai proyek pembangunan penyediaan sarana “permukiman rakyat di Papua”,sebagai upaya pemerintah untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat kurang mampu,berdasarkan kearifan lokal (alam, budaya dan masyarakat).

Oleh: Yunus E. Yeimo*)

Rumah merupakan kebutuhan manusia yang prima setelah sandan dan papan terpenuhi. Rumah tradisional pada jaman dulu dibangun untuk melindungi diri dari gangguan binatang buas. Dengan konsep (desain) bangunan atau rumah menaikan lantai (panggung) dibangun diatas danau, misalnya rumah-rumah suku Sentani (Hasselt, 2002:13-14). Rumah-rumah yang dibangun di atas tanah dengan memanfaatkan kondisi alam dan ketersediaan bahan bangunan). Dengan memanfaatkan ranting dan dahan sebagai struktur rangka dan dinding (Boelaars, 1986: 85-86). Semakin tinggi pohon yang dipilih sebagai struktur utama dan sekaligus berfungsi sebagai pondasi bangunan, maka semakin terjamin pula tingkat keamanannya. Bahkan menebang pohon-pohon disekitar rumah agar memandang lingkungan sekitar dengan jelas. Bomneri laki-laki Arfak mendirikan rumah dengan pertimbanagan “utama” pada keamanan lingkungan sekitar (Hasselt, 2002:47-49). Sehingga dalam rumah-rumah inilah leluhur kita (orang Papua) melakukan segala aktivitas kehidupan mereka.
Mengapa untuk membangun kehidupan orang Papua harus “bermula” dari membangun rumah (permukiman)? Bukan berarti orang Papua itu tidur di bawah jembatan (seperti sebagian masyarakat kurang mampu secara ekonomi di Jakarta). Justru orang Papua memiliki beragam jenis bentuk arsitektur tradisional yang disesuaikan dengan alam dan manusia dari 312 suku yang ada di Papua (Kompas, 31/07/2002). Tetapi, kini keunikan rumah-rumah itu telah, dan sedang, “menuju kepunahan” karena dianggap, kuno, ketinggalan, primitif, tradisional, kampungan dan sebagainya dan seterusnya.
Membangun rumah berarti mendirikan sebuah patung yang menggambarkan identitas diri manusia (pemilik). Mengapa? Karena, rumah akan berbicara kepada orang lain dengan apa adanya. Dan ia (rumah itu) akan menunjukkan bahwa secara fisik dan psikologi pemilik itu seperti ”ini” dan ”itu”. Dengan membangun rumah, hati pemilik akan merasa tentram. Secara status sosial pemilik akan dinilai atau disebut sebagai orang dewasa (meeibo-Mee) karena telah mendirikan rumah. Membangun rumah berarti mendirikan sebuah patung yang menggambarkan identitas diri manusia (pemilik). Mengapa? Karena, rumah akan berbicara kepada orang lain dengan apa adanya. Dan ia (rumah itu) akan menunjukkan bahwa secara fisik dan psikologi pemilik itu seperti ”ini” dan ”itu”. Dengan membangun rumah, hati pemilik akan merasa tentram. Secara status sosial pemilik akan dinilai atau disebut sebagai orang dewasa (meeibo-Mee) karena telah mendirikan rumah.
Rumah adalah nafas kehidupan, dimana hati pemilik berdiam. Dalam rumah manusia melangsungkan hidup atau menciptakan keturunan. Dengan rumah kita dapat mengetahui, baik secara fasad (tampak) maupun interior (ruang dalam) rumah terlihat status sosial secara ekonomi dan pendidikan pemilik. Penggunaan bahan, dan ukuran (luasan) bangunan menjadi salah satu contoh yang menjelaskan kepada lingkungan sekitar dimana rumah itu dibangun. Selain itu, rumah adalah penjaga dan pelindung setia atas segala isi rumah. Dan sebagai dompet yang paling besar dan dan permanen yang tidak dapat dipindah-pindah.

Membangun “permukiman” berarti mengatur
Romo Mangun (Y.B. Mangunwijaya) adalah salah satu arsitek (ahli bangunan) Indonesia yang paling dikenal oleh masyarakat Yogyakarta, khususnya masyarakat di pinggir kali Code. Dia dikenal dengan konsep tektonikanya. Tektonika adalah pengembangan struktur yang digunakan untuk menghadirkan ruang dan sebagai pengolahan sistem bangunan pada konstruksi yang meningkatkan ekspresi bangunan dengan menggunakan nilai seni (Canagama, 2002). Romo Mangun, bukan hanya membangun arsitekturnya, tetapi lebih pada pembangunan manusia yang hidup dibawah garis kemiskinan.
Selain Romo Mangun, adalah Eko Prawoto seorang arsitek dan pengajar (dosen) yang banyak berhubungan dengan Romo Mangun, sehingga banyak orang menyebut sebagai “murid” nya. Menurut Eko Prawoto, “arsitektur, seharusnya tidak memisahkan diri dari ekosistem. Ia harus menjadi bagian integral dari alam sekitarnya karena rumah bukan entitas otonom. Sedangkan inti dari desain arsitektur ada dua hal, sebagai produk engineering atau juga produk budaya”. Itu tergantung pada paradigmanya. Dan arsitektur kita tidak terlepas dari akar budayanya. Tapi juga bukan berarti hanya sekadar memoles dan mengambil dari masa lalu. Harus ada kompromi, menjadi modern, tapi masih tertancap pada akarnya. Metodenya adalah nilai – nilai lokal yang masih bisa diambil”. (Kompas, 5/11/ 2006).
Konsep yang digunakan oleh Romo Mangun dan Eko Prawoto, merupakan konsep pembangunan (arsitektur dan SDM) berbasis lokalitas budaya dan sosial. Seringkali, pemerintah “mengabaikan” kedua konsep ini. Misalnya, pemerintah menyediakan (membangun) permukiman rakyat, selalu mengutamakan sisi arsitektur (membangun rumahnya saja) sedang sisi membangun kehidupan (penghuni/ sosialnya) diabaikan. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa contoh kasus, seperti di Timika, masyarakat suku Kamoro, meninggalkan rumah (permukiman) yang dibangun oleh pemerintah melalui Depatermen Sosial pada tahun 1988 di dekat sungai Manajerwi namun di landa banjir. Kemudian tahun 1994, atas permintaan pemerintah PT. Freeport Indonesia membangun rumah tinggal “permukiman” bagi orang Nawaripi di lokasi Nawaripi Baru. Pertimbangan pemilihan lokasi ini adalah pada dekatnya akses pasar, lapangnan kerja, dan berbagai sarana kota. Namun upaya memukimkan mereka (orang Nawaripi) ini gagal, karena tidak dipertimbangan latarbelakang budaya masyarakat suku Kamoro sebagai “peramu”. Karena lokasi ini sulit menjangkau tanah leluhur sebagai sumber kehidupan mereka. Lebih ekstrim lagi adalah bahwa sistem kekerabatan sosial (taparu- satu keluarga besar) menjdi tercerai-berai. (Baca: laporan penelitian Yayasan Sejati Jakarta, 1997). Bukti lain adalah di sepanjang jalan ”trans” Nabire-Paniai, banyak permukiman (rumah-rumah) kosong (tidak ada penghuni) (Baca: Majalah Selangkah).
Untuk itu, selain membangun rumah (permukiman rakyat) perlu juga pertimbangkan membangun kehidupan manusia (latarbelakang kebudayaan). Membangun kehidupan, adalah tanggung jawab semua pihak pemerintah, LSM dan masyarakat itu sendiri. pihak LSM menyebut membangun kehidupan masyarakat sebagai ”bina sosial, bina lingkungan dan bina usaha”. Sehingga kita (pemerintah/ para donatur) tidak hanya menyediakan (membangun) rumah tetapi lebih terpenting adalah membangun kehidupam manusia (sosial) menyediakan fasilitas lingkungan (air bersih, pembersihan sungai/ parit, menyediakan fasilitas olahraga,dan lain–lain). Sementara, membangunan usaha adalah menyediakan modal (uang) bagi masyarakat untuk membuka koperasi atau usaha-usaha lain yang lebih cocok (menurut mereka) untuk melakukan usaha itu.
Selain itu, pemekaran kota, dan wilaya dalam sebuah kabupaten adalah penataan ruang wilayah, dan membangun manusia yang ada dalam wilayah itu. Penataan ruang wilayah, bukan sekedar menarik garis “merencanakan” untuk membongkar gunung, menggusur rumah-rumah. Dan lebih jauh dari itu adalah penyerahan tanah secara cuma-cuma (gratis) yang dilakukan oleh masyarakat setempat demi pembangunan. Lalu pertanyaannya adalah apa yang diterima oleh rakyat setelah tanah ulayat mereka diberikan kepada pemerintah atas nama pembangunan? Pembagunan dalam konsep penataan ruang kota adalah penataan tanah dan manusia yang punya tanah. Walaupun ada nasehat yang mengatakan “maki akukai, koyoka kaa ko tetai” (tanah adalah mama, maka, jangan dijual), siapapun orang Papua, yang menjual tanah akan menghadapi masalah (hukum karma) orang Mee.

Membangun rumah berarti mempertahankan ciri khas
Setelah kita mengatur manusia dan lingkungan sekitar, langkah selanjutnya adalah membentuk arsitektur berbasis lokalitas Papua. Setiap suku bangsa di dunia memiliki arsitektur dengan bentuk dan ciri khas masing-masing. Bentuk-bentuk yang berbeda ini di dipengaruhi oleh kondisi lingkungan setempat (sosial budaya, geografis, ikllim dan lain sebagainya). Sehingga rumah (arsitektur) yang mereka (leluhur) hadirkan juga sesuai dengan kondisi lingkungan ini. Untuk itu, dalam membangun dan membentuk arsitektur Papua, tidak perlu “mengadopsi” bentuk-bentuk dari daerah lain (luar Papua).
Seringkali manusia Papua saat ini menggangap bentuk-bentuk rumah baru “moderen” itu yang terbaik, aman, nyaman. Tetapi, dipihak lain (bagi penulis) muncul suatu kekawatiran bahwa manusia Papua sedang kehilangan bentuk dan ciri khas arsitekturnya. Hal ini, diperparah dengan belum adanya upaya pendokumentasian oleh semua pihak terkait (pemerintah, masyakarat, LSM). Lebih jauh dari itu adalah para peminat budaya, terutama mahasiswa asal Papua yang kuliah di jurusan teknik arsitektur, tidak pernah berpikir tentang hal ini.
Menurut hemat saya, satu pekerjaan rumah (PR) yang sampai saat ini kita (orang Papua) belum jawab adalah kurangnya kesadaran diri untuk menghargai (terima dengan apa adanya) terhadap hasil karya nenek moyang kita (arsitektur tradisional Papua). Selain itu, setiap suku yang ada di Papua mempunyai bentuk dan ciri kahs arsitektur yang beragam. Sehinga ini adalah kekayaan orang Papua yang perlu di jaga dan dilestarikan (bukan sama sekali bentuk tradisional secara menyeluruh). Tetapi, yang perlu dipertahankan disini adalah bentuk-ciri kahsnya. Karena kita tidak dapat dipungkiri bahwa, perkembangan jaman menutut perubahan segala aspek kehidupan manusia (termasuk didalam adalah perubahan bentuk/ atau justru kehilangan bentuk arsitektur itu).
Satu hal yang perlu diketahui orang Papua (generasi muda) adalah perlunya, kesadaran diri untuk menghargai dan mencintai hasil karya leluhur. Mengapa? Karena bentuk-bentuk arsitektur tradisional merupakan ”jati diri dan indentitas” bagi yang memilikinya (bangsa Papua). Menurut hemat saya, orang Papua saat ini telah mengidap virus budaya ”ikut ikutan” tanpa memerdulikan (memikirkan atau menanyakan) asal usul bentuk arsitektur yang baru dibangun.

Membangun rumah berarti menghuni
Perumahan pemerintah, permukiman rakyat, serta rumah dinas, yang dibangun dengan miliran rupiah adalah tempat (bangunan) untuk manusia tinggal dan hidup sesuai dengan fungsi bangunan tersebut. Sesuai dengan peraturan pemerintah No.15/2004, menyebutkan bahwa ”Permukiman dan perumahan, selain berfungsi sebagai wadah pengembangan sumber daya manusia juga kawasan yang ditata secara fungsional sebagai kesatuan sosial, ekonomi dan fisik. Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan”. Selain itu, dalam GBHN 1993, pada penjabarannya tertuang pola dasar pembangunan daerah tingkat I dan tingkat II khususnya pembangunan perumahan dan permukiman. “Di arahkan untuk meningkatkan kualitas kehidupan keluarga, masyarakat, serta terciptanya suasana kerukunan hidup keluarga, kesetiakawanan sosial masyarakat”. Tata ruang perumahan dan permukiman dilengkapi dengan prasarana lingkungan, sarana umum dan fasilitas sosial sebagai suatu kesatuan yang utuh, dengan membudidayakan sumber-sumber dana dan daya yang ada, serta pengelolaan lingkungan yang ada digunakan untuk mendukung kelangsungan dan peningkatan mutu kehidupan manusia, Suparno dan Marlina (2006).
Namun, pertanyaanya adalah mengapa banyak perumahan pemerintah, permkiman rakyat, serta rumah dinas, selalu kosong tanpa penghuni? Misalnya, Masyarakat Kamoro Timika, meninggalkan rumah bantuan dari dana 1% PT.Freeport Indonesia (Sejati 1997). Masyarakat di sepanjang jalan ”trans” Nabire-Paniai, meninggalkan permukiman yang dibangun oleh PEMDA Kabupaten Nabire. Kedua contoh ini mewakili hampir semua pembangunan permukiman dan perumahan di Papua yang disebut sebagai “rumah rakyat” kecamatan/ desa, “rumah dinas” (kabupaten) dan ditingkat provinsi disebut “perumnas”. Untuk itu, terbukti bahwa program pembangunan semacam ini masih belum menjawab kebutuhan masyarakat.
Menurut hemat saya, gejala perubahan sosial maupun perubahan bentuk arsitektur yang terjadi pada permukiman, perumahan, rumah dinas dan perumnas (di Papua), ini sangat menarik untuk dikaji lebih mendalam. Hal ini dikarenakan untuk mengetahui faktor-faktor yang terjadi dalam permukiman, perumahan, rumah dinas dan perumnas yang semakin lama semakin berubah bentuk sosial maupun arsitekturalnya. Sehingga disini diperlukan studi kelayakan bagi calon penghuni atau masyarakat mengenai arsitektur dan perilaku manusia Papua sebagai obyek penelitian (sebagai calon penghuni).

Membangun rumah berarti, menata masa depan
Membangun rumah membangun kehidupan adalah tugas setiap orang. Setiap orang perlu merencanakan kehidupan masa depan bermula dari membangun rumah sebagai sebuah infestasi masa depan bagi keluarganya. Terutama anak cucu mereka. Rumah menjadi harta waris yang sangat berharga. Dan rumah sering menjadi sebuah tempat yang menimbulkan masalah. Mengapa? Karena rumah adalah jati diri dan identas pribadi pemilik. Untuk itu, dalam membangun rumah sebagai infestasi masa depan, persoalan-persoalan yang sering terjadi perlu menjadi perhatian ”khusus”. Misalnya, pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB), persoalan tanah dimana rumah itu akan dibangun (sertifikat tanah), bencana alam (gempa bumi), kesediaan bahan bangunan (material yang akan dipakai), kemampuan finansial atau rencana anggaran biaya (RAB), dan yang tidak kalah penting adalah tukang atau ”kuli bangunan” yang akan dibangun atau mengerjakan rumah itu. Mengapa? Persoalan kuli bangunan menjadi maslah utama saat ini di Papua? Karena orang Papua telah mengidap budaya malas kerja, dan menggangap “kuli bangunan” adalah suatu pekerjaan memalukan. Yang pada gilirannya banyak orang Papua tidak mau jadi kuli bangunan (lihat: www.yamewapapua.blogspot.com/kuli bangunan)
Merencanakan rumah tahan gempa adalah upaya menata masa depan, dan menyelamatkan harta waris bagi anak cucu. Untuk itu, sebelum mendirikan rumah, faktor-faktor yang disebutkan diatas adalah hal-hal yang perlu dipikirkan. Selain itu, penataan ruang (kamar-kamar), perlu disesuaikan dengan penghuni (orang yang tinggal dalam kamar itu), agar beta tinggal di rumah (kamar). Misalnya, kamar tidur anak, memberi berbagai warna, dan dilengkapi dengan mainan dalam kamar tersebut. Hal ini membantu ”mengatasi” anak balas belajar dan bermain dengan teman sebaya di lingkungan sekitar.
Mengurangi dan membayar biaya listrik secara hemat, dilakukan dengan cara memanfaatkan pencahaayaan alami (siang hari/ pencahayaan matahari). Banyak rumah-rumah (orang Papua) lebih banyak yang menggunakan batu batako dengan pelesteren dinding dan memberi jendela apa adanya. Tanpa memikirkan kenyamanan, dan kesehatan dalam rumah. Terutama dalam pemanfaatan pencahayaan alami. Dengan kita memberi banyak bukaan (jendela) yang menghadap ke timur atau barat, akan memberikan kenyamanan dalam rumah. Ukuran jendela disesuaikan dengan besar kamar yang akan menerangi. Dengan memanfaatkan pencahayaan alami ini, maka kita sudah dapat “mengatasi” (mengurangi) dan menghemat biaya listrik.
Tanah Papua adalah tanah yang kaya (dipenuhi) dengan hutan rimba, dengan beragam jenis pohon. Satu pertanyaan yang layak diajukan bagi orang Papua adalah mengapa orang Papua lebih sering atau “suka” menggunakan batu/ batako dengan dinding masif (tertutup). Apakah itu yang disebut dengan bangunan modern? Mengapa kita (orang Papua) tidak mau atau malas tahu dengan hutan kita? Sementara, orang China (insfestor asing) berusaha mati-matian untuk mendapat kayu-kayu itu, dengan berbagai cara. Belum terlambat karena hutan kita masih banyak, yang kita bisa manfaat untuk segala keperluan, terumata dalam penggunaan bahan bangunan (rumah). Lalu pertanyaan lainnya adalah apakah sumber daya manusia sudah siap untuk mengelola hutan itu? Karena orang Papua tidak ada orang yang “mau” jadi kuli bangunan (tukang kayu)
Pemanasan global (global warming) adalah salah satu penyebabnya adalah kejahatan arsitektural. Dimana, perancang (arsitek) tanpa memerdulikan apa yang akan terjadi pada bangunan (hasil rancangan) itu akan dibangun. Hutan rimba Papua adalah “paru-paru” bagi dunia untuk mengatasi pemanasan global saat ini. Lebih jauh dari itu, menurut hemat saya orang Papua (terutama pengambil kebijakan pembanguanan) perlu “hati-hati” dalam menerima tawaran-tawan hasil rancangan para arsitek yang tidak memerdulikan budaya “arsitektur tradisioan Papua” sebagai jati diri dan identitas orang Papua dan ramah lingkungan. Mengapa? Karena, kadang banyak arsitek muda (perancang bangunan) mendesain bangunan dengan “konsep” atau “ide” awal yang tidak jelas sebagai acuan desain (suka-suka, asal jadi, semau gue dll).
Banyak perumahan dan permukiman, entah yang dibangun oleh LSM atau pun pemerintah masih belum memikirkan lingkungan sosial, lingkungan hidup, dan lingkungan pembuangan air kotor (limbah). Lebih jauh lagi, bangunan yang dibangun oleh pihak swadaya (bangun sendiri). Mengapa? Karena, membangun rumah dengan swadaya jauh lebih mementingkan diri (egoisme) dari pada lingkugnan sekitar. Tidak memikirkan saluran pembuangan air hujan, saluran pembuangan air kotor (limbah), dan kadang tidak memikirkan WC. Water closed, cukup memanfaatkan air sungai atau rumput di sekitar rumah. Mengapa hal ini terjadi sampai saat ini? Apakah ini sebuah cara hidup yang telah membudaya?
Tidak cukup sampai disini, lebih menarik lagi adalah hampir dipingir kota di Papua sedang berkembang bangunan “liar” milik pendantang untuk menjual barang dagangan. Misalnya, di Enarotali, Desa Aikai, sekitar danau Paniai (pinggir dermaga). Bangunan “liar” semacam ini perlu kita atasi. Karena, berdampak pada lingkungan akan sangat berpotensi untuk kerusakan ekosistem danau Paniai. Selain itu, bangun “liar” semacam ini secara ekonomi mematikan usaha masyarakat lokal. Ini sebagai salah satu contoh kasus dan mungkin hampir seluru Papua terjadi hal semacam ini. Sehingga, program penyediaan permukiman, dan perumahan perlu memikirkan ruang-raung publik, ruang semi publik sebagai pusat interaksi sosial dalam kawasan perubahan atau permukiman atau bahkan satu kampung sekalipun. Selain itu, penyediaan sarana dan prasana (lapagnan sepak bola, bola voli, pasar tradisional dan lain-lain), agar masyarakat dapat mengembangkan bakat yang telah lama mereka miliki.
Banyak rumah tinggal tinggal di Papua tidak pernah memikirkan utulitas bangunan (perlengkapan bangunan). Utilitas bangunan yang perlu di lengkapi adalah penyediaan air bersih, saluran pembuangan air kotor, penangkal petir, penghawaan alami (pemanfaatan angin), pencahayaan alam dan buatan (listrik), perancangan sistim plambing (pipa), pencegahan kebakaran, telepon, transpotasi dalam bangunan.
Utilitas (kelengkapan) dalam bangunan kadang menjadi pertimbangan yang terakhir “bagi bangunan di Papua”. Yang mereka (orang Papua) pikirkan adalah “yang penting rumah jadi”. Mengapa utilitas menjadi satu “kebutuhan” bahkan dikatakan “pelengkap” bangunan? Karena, rumah mewah, dengan desain arsitek yang berpengalaman, rumah tanpa utilitas bangunan tidak akan berfungsi secara maksimal.


Acuan Kepustakaan:
Frick, Henz (1996) Arsitektur dan Lingkungan, Kanisius, Yogyakarta
Hariyono, Paulus, (2007) Sosiologi Kota Untuk Arsitek, Bumi Aksara, Jakarta
Boelars, Jan (1986) Manusia Irian, Dahulu, Sekarang dan Masa Depan; Gramedia, Jakarta
Laurens Joyce Marsella, (2004) Arsitektur dan Perilaku Manusia, Grasindo, Jakarta
Konetjaraningrat, (2002) Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Pemerintah Kabupaten Mimika, (2006) Mimika Dalam 3 Dimensi Waktu, Dahulu, Kini dan Mada Datang, Kantor Bappeda Kabupaten Mimika, Timika.
Suparno Sastram M, Marlina Endy, (2006) Perencanaan dan Pengembangan Perumahan, Sebuah Konsep, Pedoman, dan Strategi Pengembangan Perumahan, Penerbit Andi, Yogyakarta
Sudarman, dkk, (laporan penelitian 1997) Menelusuri Tanah Leluhur Orang Nawaripi; Dilema dan Tantangan Kebudayaan dalam Pembangunan, Yayasan Sejati, Jakarta
Snyder, C. James, Catanese, J. Antony ; Pengantar Arsitektur, Erlangga, Jakarta


*). Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Teknik Arsitektur. Penghuni, Asrama Mahasiswa Papua ”Kamasan I”, Yogyakarta.

0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com