Custom Search

13 Januari, 2009

PROTEKSI ATAU KOMERSIALISASI NILAI-NILAI BUDAYA HIDUP ORANG PANIAI PAPUA, DALAM 3 DIMENSI WAKTU [Dulu-Kini-dan Masa Depan]?1.


Oleh: Yunus E. Yeimo2

Siapa orang Paniai itu? Orang Paniai adalah manusia yang hidup di daerah Paniai yang dalam etnografi Papua disebut Suku Mee dan Migani [bukan Moni3. Menurut asal suku bangsanya, suku Mee dan Suku Migani berasal dari “Pupu Papa” Bagian Timur Pegunungan Tengah Papua Barat tepatnya di lembah Baliem. Dan diperkirakan mereka tiba dan menetap di daerah Paniai sejak tahun 1100 [900 tahun yang lalu]4. Ciri khas daerah Paniai [suku Mee dan Migani] adalah di sekitar danau-danau Wissel, Dataran Kamu dan Daerah Pengunungan Mapiha/ Mapisa (Boeraars 1986:85). Namun demikian, wilayah Paniai [paniai doko] bukan hanya di diami oleh suku Mee dan Migani tetapi, ada beberapa suku lain yang telah lama hidup di daerah Paniai yaitu suku Nduga, Suku Dauwa, Suku Wolani, dan lain-lain5.
Kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari “perubahan” di segala dimensi. Proses akulturasi dan asimilasi budaya merupakan awal dari pada proses perubahan tersebut. Tak terkecuali, suku Mee dan Migani [orang Paniai] terlibat dalam proses itu. Dimana telah terbukti bahwa orang Paniai, telah menerima budaya lokal maupun budaya moderen. Entah melalui ajaran gereja [agama] maupun pemerintah [Belanda-Indonesia]. Untuk itu, tulisan ini dimaksudkan memperjelaskan “pentas budya” yang dibawahkan oleh pelajar dan mahasiwa kota studi Yogyakarta. Untuk membuka cakrawala pemikiran kita akan “proses perubahan” yang telah, sedang dan akan terjadi di Paniai secara khususnya dan Papua pada umumnya berdasarkan nilai-nilai budaya hidup orang Paniai.

Semuanya ada dan masih utuh [sebelum, tahun 1932,1940]
Bila kita telusuri sejarah dan budaya leluhur kita pada masa sebelum Misionarisi [1932] dan pemerintah Belanda [1940] semua itu masih utuh, dan begitu indah dan kaya dengan kebudayaan asli mereka. Gotai Ruben Pigai [2008] dalam buku “mungkinkah nilai-nilai budaya hidup suku Mee bersinar kembal6”? menjelaskan bahwa Ayah dari Ruben Pigai adalah generasi ke 7 dari dari silsilah keturunannya. Sedangkan, Ruben Pigai adalah generasi ke 8 dan anak dari bapak Ruben Pigai adalah generasi 9. Dan Ayah dari bapak Ruben Pigai tidak menyebutkan suatu masa [generasi] yang ke 10, sebab generasi ke 10 telah tiba “hari kiamat”7. Menurut Ayah dari Gotai Rubaen Pigai bahwa generasi ke 10 [generasi sekarang] tidak akan hidup semakmur seperti budaya hidup sebelumnya, yaitu beternak [ekina muni], berburu [woda ubai], bertani [taikeitai iyee] dan lain sebagainya8
Orang Paniai [Suku Mee dan Migani] disebut manusia karena mereka hidup diatas dua telapak kakinya sendiri dan tidak tergantung pada orang lain. Dan mereka memiliki struktur kehidupan yang jelas dan tersendiri yaitu pertama, mempunyai tatanan sosial yang jelas. Kedua, mempunyai tradisi yang tersusun rapi. Ketiga, tidak tergantung kepada siapapun dan menciptakan suasana hidupnya sendiri. Keempat, mempnyai rasa percaya diri yang sangat menonjol. Kelima, mempunyai kehidupan sosial yang sangat tinggi. Keenam, mempunyai identitas diri dan nilai-nilai budaya yang sangat jelas.
Bila ditinjauh dari kaca mata antropologi, tujuh jenis unsur kebudayaan secara umum dan tiga jenis wujud kebudayaan yang disebutkan oleh Koentjaraningrat, [2002] dalam buku Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Unsur-unsur dan nilai-nilai hidup budaya orang Paniai itu misalnya pertama, adanya sistem religi [kepercayaan] akan Tuhan [ugatame] sang pencipta. Kedua, sistem organisasi dan kemasyarakatan, seperti orang kaya [tonawi], dan mempunyai membina relasi yang baik dengan orang lain. Ketiga, sistem pengetahuan [epi dima mana] seperti, tahu membedahkan baik dan buruk. Keempat, bahasa [Mee mana ma Migani mana ma] kita [suku Mee dan Migani] mempunyai bahasa daerah [bahasa ibu]. Kelima kesenian, seperti wiyani, uga, kaido dan lain lain. Keenam, sistem mata pencahariahn hidup seperti beternak, bertani dan berburu kukus dan mencari ikan di danau. Ketujuh, sistem teknologi, dan peralatan seperti yika [kapak batu], yado/ kopa.
Orang Paniai, tidak mengenal tulisan [bentuk huruf]. Tetapi, secara lisan mereka [leluhur] telah menurunkan nilai-nilai budaya dalam bentuk bahasa lisan. Masa muda [yokaga ga] adalah masa dimana puncak kejajahan, keistimewaan, kebolehan. Sehingga, dalam kehidupan kehidupan orang Paniai [suku Mee dan Migani], menyebut masa muda adalah masa siang hari [agapi tadi/ agapi gaa]. Disisi lain, masa ini adalah masa yang diselimuti dengan perasaan “kehati-hatian” karena masa ini gampang melewati batas-batas nilai moral budaya setempat [teritory culture]. Sebagai contoh, orang tua Mee mengatakan “yoka gaga kou peukaiko tibigi koyaka gai” [hati-hati pada masa muda sebab masa itu, masa yang gampang jatuh kedalam pencobaan].
Anak muda laki-laki dan perempuan Paniai pada saat itu sangat mematuhi aturan adat. Karena, jika ada yang melanggar, akibatnya adalah dihukum sesuai dengan perbuatannya masing-masing. Sebagai contoh, perbuatan zina [mogai tai], hukuman yang diberikan adalah mencabut nyawa dengan cara digantungkan diatas pohon lalu dipanah dari berbagai arah. Mencuri, bila ada yang kedapatan melakukan pencurian, atau mengaku melakukan pencurian, maka akibatnya adalah jari-jari tangan dibelah [gane yapetai]. Sehingga setiap perbuatan dari kecil sampai besar memunyai hukuman yang berbeda berdasarkan atas perbuatannya masing-masing. Pemberian hukuman yang dianggap melanggar norma-norma budaya ini dimaksudkan untuk menyelamatkan generasi selanjutnya atau menjadi peringatan bagi orang lain yang belum melakukan “perzinahan atau pencurian”.
Nilai dan aturan maskawin, adalah salah satu nilai budaya yang berlaku di hampir tiap suku di Papua. Orang Paniai sejak dulu tidak menentukan nilai minimal dan maksimal dari harga maskwin. Besar kecilnya, ukuran untuk menentukan nilai harga maskawin adalah berdasarkan atas “perilaku hidup/ karakter” para calon suami atau istri. Misalnya, seorang laki-laki muda dituntut untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang layak dilakukan oleh para laki-laki. Sebagai contoh, mencari kayu bakar, membikin kebun, membuat pagar, dan lain sebagainya. Bila seorang pemuda mampu melakukan pekerjaan seperti diatas, maka harga/ nilai maskawin menjadi tidak mahal. Karena pihak perempuan menilai dia sebagai laki-laki bertanggung jawab, dan dengan harapan akan membantu saat melakukan pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan banyak orang dari pihak perempuan.
Dalam mencegah terjadinya perang, suku Mee, suku Mee mengenal berbagai upacara adat. Salah satu upacara adat perang [ritual perang] adalah upacara yang dilakukan pada saat peperangan [yape kamu/ yape kabo]. Dalam upaya mendamaikan peperangan itu, suku Mee mengenal dua upacara adat [ritual perang] agar perang damai atau melindungi dari bahaya perang. Kedua upacara itu diantaranya, pertama, upacara yang dilakukan dengan menggunakan batu yang disebut paikeda [paikeda mogo]. Kedua, upacara dengan menggunakan ikatan anak panah [ida boda]. Kedua upacara ini diselenggarakan pada saat perang, perkara-perkara besar, dengan tujuan agar tercipta damai, aman dan selamat [Bunai, 2007: 60-63]9.
Untuk menghidupi keluarganya, diperlukan lahan [kebun] sebagai sumber penghidupan bagi keluarganya, maka dilakukan berbagai upaya. Misalnya, memagari kebun untuk mencegah hama tikus atau babi yang sering merusak tanaman. Pada saat itu setiap keluarga dibutuhkan 3-4 lahan kebun. Orang-orang yang dulu kuat bekerja tidak seperti saat ini. Mereka membuat pagar ratusan hektar, lalu membagi petak-petak kemudian dibagikan kepada masing-masing keluarga dalam kampung itu. Ada juga kebun di sekitar [pekarangan] rumah sebagai kebun persiapan untuk dipetik [ambil hasil kebun] pada saat hujan atau sakit. Menurut Jan Boeraars [1986], orang Mee sangat kaya dengan ikatan-ikatan sosial dan ekonomi. Kemudian, setelah ia mengadakan penyelidikan lebih mendalam, maka ternyata dibalik latarbelakannya yang “miskin”10, dan dibalik kegiatan “dagang”11 yang amat tenang ini, tersembunyi suatu kehidupan rohani, yang mampu mengungkapkan nilai-nilai kemanusiaan yang mendalam dengan pemberian bentuk simbolik yang sangat kaya.

Awal perubahan budaya orang Paniai [1933, 1940]
Kontak pertama orang Paniai dengan dunia luar terjadi dengan seorang penerbangan bernama F.T. Wessel secara kebetulan yang menemukan tiga danau [Tigi, Tage, Paniai] yang terletak di pegunungan Tengah Papua, tepatnya tanggal 31 Desember 1933, merupakan kontak pertama orang Mee dan Migani dengan dunia luar. Kemudian direalisasikan melalui darat oleh para misionaris katolik dan protestan. Namun setahun sebelumnya [tahun 1932], Pastor Tilemans seorang misionaris katolik sudah mengadakan kontak awal dengan seorang tokoh orang Mee asal Mapia bernama Auky Tekege di Kokonau Mimika 12.
Orang Paniai melihat orang Barat [Waltel Post-Misionaris Kinggmi] lalu mereka heran, seketika melihat kulit putih karena mengira bahwa mereka anak kecil sebab kulitnya putih licin seperti anak bayi yang baru lahir. Begitupun sebaliknya, para Misionaris heran karena melihat kesejahteraan serta kemakmaran rakyat. Masyarakat hidup sehat karena selalu memakan makanan bergizi, yaitu daging babi, 14 jenis udang di danau dan kali, kus-kus pohon, segala macam jenis sayur mayur serta petatas dan keladi. Dan tidak ada penyakit hanya ada penyakit kulit [Frambusya]13.
Motivasi awal perubahan budaya orang Paniai, terjadi ketika orang Paniai merasa tertarik dengan benda-benda logam seperti kapak, parang, pacul, dan skop sebagai tanda awal terjadinya kontak dengan dunia luar. Selain itu para pendatang juga memperkenalkan alat masak seperti garam, kuali dan lain-lain, kepada masyarakat setempat. Dan pada saat itu muncullah istilah tuan “ogai”14. Kemudian pengawai lokal pun disebut juga disebut ogai. Sejak itulah para misionaris dan pemerintah Belanda mulai memperkealkan budaya baru 15.

Kini “budaya” orang Paniai tiba di persimpangan jalan “kebingungan” [1990-2000-an]
Dulu sebelum agama dan pemerintah Belanda, orang Paniai mengadakan pesta “yuwo” [yuwo duwai], itu bukan sebagai ajang untuk menguji dan mengukur kemampuan ekonomi dan serta jabatan. Tetapi pada saat itu pesta adat [yuwo] dilaksanakan sebagai awal menumbuhkembangkannya ekonomi rakyat [masyarakat kampung]. Orang Paniai menyelenggarakan yuwo sebagai arti bahwa menjadi “orang kaya” [tonawi16] adalah bukan barang warisan yang diturunkan oleh klen, atau totem, marga, dan keluarga. Tetapi setiap orang bisa menjadi tonawi, syaratnya adalah “bekerja keras”.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kini zaman telah berubah, sehingga semua lini kehidupan manusia pun ikut berubah, tak tekecuali budaya hidup orang Paniai. Sebagai contoh, pesta yuwo saat ini masih dilaksanakan. Tetapi, menjadi pertanyaannya adalah apakah pesta yuwo sekarang, sama makna dengan pesta yuwo dulu? Kenyataan bahwa pesta yuwo, yang dilaksanakan saat ini telah berubah arti yang sebenarnya, ia [pesta yuwo itu] merupakan awal dari kasih sayang, solider, mobu, ayii dan nilai-nilai hidup budaya lainnya.
Perubahan zaman yang berdampak pada kehilangan eksistendi budaya dan norma-norma adat menurut Yakobus F. Dumupa [2006] dalam buku Berburu Keadilan di Papua Barat, Mengungkap Dosa-dosa Politik Indonesia di Papua Barat, disebut “penyakit sosial” yang dikirim oleh Indonesia tanpa kendali. Beberapa “penyakit sosial” itu diantaranya seperti, lupa adat dan lupa diri, KKN tumbuh dengan pesat, perebutan jabatan, induvidualisme, pelacuran, budaya malas kerja, mabuk-mabukan dan kriminalitas, maraknya ijazah dan gelar palsu, bergaya hidup mewah, budaya proposal17.
Kini menurut hemat saya [Yunus Yeimo], semua kekayaan kebudayaan, nilai-nilai hidup budaya orang Mee yang pernah ada dan yang menghantar manusia Mee sampai pada saat ini telah hilang. Penyebabnya adalah kita [generasi sekarang], telah mengidap virus “ikut-ikutan”, kemudian kitalah yang menghakimi budaya kita sendiri dengan dalil budaya itu, “kuno, ketinggalan, tradisional, kampungan, primitif, masa bodoh, zaman batu” dan sebainya dan seterusnya. Disini diperlukan suatu kesadaran diri akan pentinnya, faktor budaya dalam segala aspek kehidupan manusia. Karena saat ini dimana, mana telah kehilangan diri sebagai manusia berbudaya, yang pernah ada yang dimiliki oleh setiap suku bangsa yang ada di dunia.
Lalu bagaimana dengan masa depan nilai-nilai unsur budaya yang dari setiap suku bangsa? Karena budaya adalah dasar hidup, ciri khas/ identitas, pedoman, sumber inspirasi dan lain sebagainya. Sebuah pertanyaan untuk kita [pelajar dan mahasiswa] adalah apakah kita ingin jadi pelestari budaya atau justru jadi pemusnah budaya? Karena mengangap budaya itu, “ketinggalan, kuno, tradisional, kampungan, primitivf ajaran zaman batu”, dan sebagainya dan seterusnya. Jawabanya kembali pada setiap insan sebagai orang yang menganut budaya itu apapun jenis suku dan budayanya. Aki kida/ koda gayake gai ma dou ma tai, ekowai beugakouya. “Halabok... for my culture and nature...Paniai....!!!???”

Catatan Akhir

1. Materi “Pentas Budaya” pada Acara Perayaan Natal Bersama Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Paniai-Nabire Se-Jawa, Bali dan Sulawesi, yang diselenggarakan Oleh Kota Studi Semarang, dari tanggal 28- Desemeber 2008 s/d 01 Januari 2009. Cerita [pentas budaya] yang dibawahkan oleh Kota Studi Yogyakarta itu menceritakan bahwa bagaimana eksistensi nilai-nilai hidup budaya orang Paniai itu mengalamai perubahan dan berdasarkan perkembangan zaman.
2.Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Teknik Arsitektu, Kuliah di Yogyakarta, dan Pemilik blogsite “Yamewa-Papua”
3. Disebut “Migani” layak untuk sebutan nama suku [Moni] karena Migani artinya Manusia. Istilah Migani adalh merupakan hasil diskusi yang diselenggarakan oleh IPMAPAN Yogyakarta, pada tanggal 18 April 2008.
4. Gotai Ruben Pigai, Mungkinkah Nilai-nilai Budaya Hidup Suku Mee Bersinar Kembali? [Jayapura, 2008], hal. viii.
5. Titus Christ Pekei, Manusia Mee di Papua, proteksi kondisi masa dahulu, sekarang dan masa depan diatas pedoman hidup, [Yogyakarta, 2008], hal. 206.
6. Misionaris adalah sebutan bagi para penginjil/ pendeta Kristen, yang datang dari Belanda di tanah Papua, untuk menginjili kabar keselamtan. Kontak pertama orang Mee dengan dunia luar pada tanggal 31 Desember 1933.
7. “Hari kiamat” yang dimaksud disi adalah masa hidup generasi ke 10.
8. Pigai, Op. Cit. hal.1
9. Yunus E. Yeimo [Materi Diskusi dan Nonton Film Dokumenter “Batu Paikeda”], yang diselenggarakan oleh Panitia Natal, Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Paniai-Nabire Yogyakarta. Yogyakarta, 15 Desember 2008.
10. Disebut “miskin” karena penulis adalah orang yang telah lama mengenal teknlogi, rumah mewa, mobil dan sebagainya, sehingga ia membandingkan kehidupan di dunia barat dan orang Mee. Dan dapat diakui bahwa pada saat itu kehidupan orang Mee masih primitif, tetapi bagi orang Mee tidak mengenal yang namanya pritif.
11. Orang Mee sejak dulu mengenal sistem perdagangan dengan suku lain, seperti Amungme dan Kamoro di Timika. Suku Migani di bagian timur daerah Paniai.
12. Menurut Ruben Pigai, kontak awal Auki Tekege dengan Pastor Tilemans pada tahun 1938. hal 30-31
13. Pigai, Op. Cit. hal. 29-37
14. Istilah tuan atau disebut “ogai” sendiri awalnya dipakai untuk penyebutan orang misionaris, dan pemerintah Belanda.
15.Ibid. hal 261-262.
16. Tonawi artinya sebutan bagi orang yang telah kaya secara ekonomi, dan memahami hal-hal mistik. Tetapi, bukan hanya itu, tetapi ada beberapa nama tonawi seperti, mana tonawi, dimi tonawi, agiyo tonawi, ipa tonawi dan lain-lain.
17. Dumupa F. Yakobus [2006] Berburu Keadilan di Papua Barat, Mengungkap Dosa-dosa Politik Indonesia di Papua Barat. hal.233-261.
18. Sumber foto: Yeri Degei/ Dokumen Selangkah

Acuan Kepustakaan
Adii, Geradus [2002] Bebas Dari Kuasa Kegelapan di Tanah Papua, Gereja Kemah Injil Indonesia [GKII] Wilayah Irian Jaya; Jemaat Zebaoth Jayapura.
Boelars, Jan [1986] Manusia Irian,Dahulu, Sekarang dan Masa Depan,Gramedia; Jakarta.
Bunai, Tanimoyabi Yoseph, [2007] “Mobu dan Ayii, Jalan Menuju Keselamatan Inisial dan Kekal Menurut Suku Mee di Papua; Elmasme “Gaiya” dan Dewan Adat Paniyai.
Dumupa F. Yakobus [2006] Berburu Keadilan di Papua Barat, Mengungkap Dosa-dosa Politik Indonesia di Papua Barat. Pilar Media, Yogyakarta.
Gobay, D. Mekaa [2007] Perempuan Papua Barat, Dalam Kekerasan Militer, Budaya, Ekonomi dan Kesehatan, Sumbangsih Press; Yogyakarta.
Pekei, Christ, Titus [2007] Manusia Mee di Papua, Proteksi Kondisi Masa Dahulu, Sekarang dan Masa Depan diatas Pedoman hidup, Galang Press; Yogyakarta.
Pigai, Gotai, Ruben [2008] Mungkinkah Nilai-nilai Budaya Hidup Suku Mee Bersinar Kembali?, Deiyai/ Yakama; Jayapura.
Koentjaraningrat, [2002] Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Gramedia Pustaka Utama; Jakarta.
------------------------ [1963] Penduduk Irian Barat, Penerbit Universitas; Jakarta.

0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com